Bangsa
Pembenci
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
05 Maret
2018
Kita membenci apa yang sering kita
takuti.
(William Shakespeare, dalam Antony dan Cleopatra)
Kebencian barangkali menjadi
kosakata paling menjejali ruang pikiran kita. Sedikit-sedikit muncul
kebencian, baik berupa ujaran ataupun sikap. Kebencian bukan lagi persoalan
personal, tetapi menjadi masif di arena politik. Sekarang ini berbeda
pandangan politik, orang bisa langsung membenci.
Hal paling mencolok adalah
menyebarkan ujaran kebencian lewat media sosial. Media sosial malah
terjerumus menjadi media asosial. Media sosial bukan menjadi medium
penghubung, tetapi malah menjadi pemecah.
Sindikat penyebar berita bohong
(hoaks) dan ujaran kebencian pun digulung oleh Direktorat Tindak Pidana Siber
Bareskrim Polri. Akhir Februari 2018, kelompok itu ditangkap di empat lokasi
berbeda, yakni Jakarta, Bali, Pangkal Pinang, dan Sumedang. Mereka
menggunakan nama Muslim Cyber Army (MCA).
”Isu yang dibuat adalah
kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia), penculikan ulama, ujaran
kebencian kepada pejabat pemerintah hingga tokoh-tokoh masyarakat,” kata
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Fadil Imran di Jakarta,
Selasa (27/2).
Penggunaan identitas agama untuk
menyebarkan berita bohong itu sungguh sangat memprihatinkan. Bahkan, Ketua
Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin, yang juga Rais Aam PBNU, mengecam
tindakan masyarakat yang menyebarkan berita bohong alias hoaks yang
menggunakan identitas Islam.
Bagi Ketua Umum PBNU KH Said Aqil
Siroj, mereka mengkhianati bangsa dan agama. Padahal, agama itu kabar
gembira. Agama membawa kedamaian, bukan kebencian. Tetapi, yang justru marak
sekarang adalah kebencian dan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Ada dosen di Yogyakarta yang
mengunggah kabar seorang muazin di Majalengka dibunuh orang gila. Postingan itu
menyebar cepat dan luas (viral). Ketika ditangkap pada 26 Februari lalu,
berita bohong di laman Facebook dosen itu sudah dibagikan ribuan kali dan
mendapat ribuan komentar pula.
Padahal, berita yang benar adalah
masyarakat biasa (bukan muazin, apalagi pemuka agama) menjadi korban curas
(pencurian dengan kekerasan).
Seorang marbut masjid di Garut
juga mengaku dianiaya. Beritanya juga viral di media sosial. Tetapi, polisi
menemukan bukti bahwa pengakuannya itu adalah rekayasa gara-gara terimpit
kebutuhan ekonomi. Pelaku pun dijerat laporan palsu.
Di Sidoarjo, seorang mantan guru
yang menyebarkan kabar bohong dan kebencian termasuk terhadap Kapolri sudah
menyesali perbuatannya. Tetapi, ia wajib menghadapi tuntutan hukum akibat
perbuatannya itu.
Kalau mencermati kasus-kasus
tersebut, pikiran siapa pun akan mudah menduga bahwa ada suatu rekayasa
(mungkin juga mendompleng) yang hendak membenturkannya dengan agama
(khususnya Islam). Terlalu sederhana jika dibilang sebuah kebetulan karena
terjadi koinsiden.
Apalagi, sebelumnya juga muncul
penyerangan orang gila terhadap pemuka agama secara beruntun. Kiai NU
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Emon
Umar Basyri, diserang selepas shalat Subuh, Sabtu (27/1); Ustaz Prawoto,
Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), diserang pada Kamis
(1/2), yang mengakibatkan korban meninggal; Ustaz Abdul Basit dikeroyok di
depan rumahnya di Palmerah, Jakarta Barat, Minggu (11/2) dini hari.
Hanya berselang beberapa jam,
giliran pastor dan jemaat Gereja Santa Lidwina, Kabupaten Sleman, DI
Yogyakarta, yang diserang pada Minggu pagi. Seminggu kemudian, KH Hakam
Mubarok, Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Kabupaten
Lamongan, juga diserang pada Minggu (18/2).
Sebagian besar penyerang tersebut
diidentifikasi sebagai orang gila atau orang yang terganggu secara kejiwaan.
Tetapi, yang mengherankan, mengapa tiba-tiba orang gila melakukan penyerangan
secara beruntun?
Tensi politik makin panas
Jika merujuk pada kasus-kasus serupa, disinyalir ada tangan-tangan
tersembunyi yang bermain terutama dalam perebutan kekuasaan. Contoh paling
dekat adalah kasus pembantaian berdalih dukun santet (padahal umumnya para
guru ngaji) di Banyuwangi, awal tahun 1998.
Pada tahun itu kemudian terjadi
gemuruh reformasi yang menumbangkan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Apakah kejadian-kejadian ini terkait Pilpres 2019?
Kalau melihat modusnya, timbulnya
pikiran spekulatif itu wajar-wajar saja. Sebab, kasus penyerangan tersebut
akhir-akhir ini ibarat menambah tensi politik yang situasinya telah panas
sejak beberapa tahun terakhir ini.
Yang paling mencolok adalah
persaingan di Pilpres 2014. Hanya ada dua pasang calon (Joko Widodo-Jusuf
Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa) memang terlalu riskan karena
benar-benar head to head. Saling dukung itulah yang akhirnya
membuat masyarakat terbelah.
Setelah pilpres usai, persaingan
itu makin membatu. Justru terus terbagi secara diametral antara para
pendukung (lovers) dan pembenci (haters). Walaupun Jokowi dan
Prabowo berulang kali memperlihatkan pertemuan yang bersahabat, termasuk dengan
komunikasi berkuda, tetap saja para pendukung mereka terus-menerus
bertengkar.
Pertengkaran itu pun menemukan
momentumnya ketika Pilkada DKI Jakarta 2017. Apalagi, sejak salah satu
kandidat, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), terkena kasus penodaan agama. Sekarang,
tanda-tanda terulangnya peristiwa 2014 mulai tampak karena baru dua nama itu
yang menonjol kuat dalam bursa calon di Pilpres 2019.
Kalau benar demikian, berarti
kegaduhan panggung politik akan terus mengguncang negeri ini. Ketika
persaingan makin ketat, tidak terbendung gerakan: saling sindir, saling
hujat, saling hasut, saling fitnah, saling melontarkan kampanye buruk.
Sekarang saja sudah terasa.
Di panggung politik sekarang ini,
betapa sulit tersemai watak-watak baik, di sisi lain lebih memperlihatkan
watak galak. Politik bukan menjadi ladang menyemai kebaikan untuk
kemaslahatan publik, tetapi justru lebih terlihat sebagai ajang pertarungan
dan mengumbar kebencian.
Para politikus tidak memberikan
keteladanan. Bahkan, banyak di antara mereka tampak ikut memanas-manasi
situasi. Tidak sedikit komentar mereka (termasuk di media sosial) yang ikut
membakar emosi pendukungnya.
Media sosial dan penyesatan
informasi
Dalam konteks ini, media sosial menjadi ruang penyesatan informasi. Riset The
Omidyar Group (”Is Social Media a Threat to Democracy?”, 2017)
mengidentifikasi enam hal di mana media sosial telah menjadi ancaman terhadap
cita-cita demokrasi.
Pertama, media sosial berkombinasi
dengan media partisan sehingga memperburuk perpecahan politik dan polarisasi.
Media sosial menciptakan ruang gema yang dipenuhi informasi bias.
Kedua, media sosial menjadi
saluran distribusi informasi palsu dan menyesatkan. Hal itu menimbulkan
ancaman untuk dialog publik dan memperburuk kebenaran, fakta, dan bukti.
Ketiga, konversi popularitas
menjadi legitimasi. Respons likes atau retweets dapat
digunakan untuk mengukur dukungan massa bagi seseorang, pesan atau organisasi
menciptakan sistem terdistorsi untuk mengevaluasi informasi dan memberikan
dorongan palsu pada popularitas.
Keempat, manipulasi oleh pemimpin
populis, pemerintah, dan aktor pinggiran. Terkadang mereka berkomunikasi
langsung dengan pemilih mereka. Dengan media sosial, mereka meruntuhkan
prosedur protokoler, meminggirkan suara minoritas, membuat normal pandangan
kebencian, menampilkan momentum palsu untuk pandangan mereka, dan lain-lain.
Kelima, pengambilan data pribadi
dan target pesan atau iklan. Ada manipulasi dan perubahan perilaku. Tidak
semua pesan ini terlihat seperti iklan apa adanya, seperti iklan Facebook
yang disponsori Rusia selama pilpres AS. Model ini semakin memperluas
kesenjangan (termasuk pendapatan) dengan penerbit berita arus utama yang
memegang tanggung jawab.
Keenam, gangguan di ruang publik
dengan ujaran kebencian, seruan teroris, rasialis, dan pelecehan seksual,
hingga perdebatan yang tidak beradab.
Tidak heran bila Pierre Omidyar,
pemilik The Omidyar Group yang juga pendiri situs eBay, berharap penelitian
ini akan menjadi titik awal bagi pemimpin media sosial, pembuat kebijakan,
pejabat pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menggali lebih
dalam dampak teknologi ini terhadap bangsa. Penelitian ini juga diharapkan
dapat memberikan solusi nyata.
”Ini bukan masalah partisan dan
ini bukan sesuatu yang bisa diperbaiki oleh satu orang, perusahaan, atau
pemerintah. Namun, seseorang harus memimpin tuntutan tersebut, dan saya
dengan hormat meminta perusahaan media sosial untuk mendorong dialog kritis
ini,” ujar Omidyar (economictimes.indiatimes.com, Oktober 2017).
Hasil riset tersebut tentu menjadi
pengingat bagi mereka yang gemar bermedia sosial. Sebab, di zaman digital
sekarang, banyak orang yang tidak mencari kebenaran. Bahkan, barangkali
gerakan jemarinya lebih cepat daripada akal pikirannya.
Padahal, ada pepatah yang sangat
bagus, yaitu ”pikir itu pelita hati”. Istilah sekarang barangkali pikir dulu
sebelum membagikan di media sosial (think before share). Karenanya,
perilaku itu selama ini telah membawa bangsa ini terbelah. Demi kekuasaan,
sepertinya kita menjadi bangsa pembenci. Kita saling membenci yang justru
hanya berakhir menjadi ”arang atau abu”.
Bangsa berbudi
Padahal, ketika bangsa ini mulai menggelorakan jati dirinya pada awal abad
XX, yang menjadi landasan bergerak adalah budi, tabiat, watak yang baik.
Itulah sebabnya dipilih nama organisasi pergerakan Budi Utomo tahun 1908.
Membangun bangsa jelas merupakan
perbuatan baik dan keluhuran budi. Ketika itu, perdebatan tentang ”budi”
begitu hangat di media massa.
Pada tahun 1904, surat kabar
Melayu-Jawa Darmo Kondo yang terbit di Surakarta menulis
artikel tentang ”Hal Budi Manusia”. Artikel tersebut mengenai percakapan
beberapa hakim.
”Seandainya ada orang yang
mempunyai banyak pengetahuan tetapi tidak berbudi, maka semua pengetahuannya
itu menjadi sia-sia. Pengetahuan tanpa budi tak ada artinya…. Bahwa orang
yang berbudi tidak mungkin melakukan hal bukan-bukan. Jika terpaksa harus
melakukannya, kemudian ia akan berusaha membebaskan diri, kalau perlu dengan
muslihat, oleh karena orang berbudi selalu berhitung ke depan, apakah sesuatu
yang sedang dilakukannnya akan menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri atau
tidak” (Akira Nagazumi, ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia”, 1989).
Seabad kemudian, bangsa ini lebih
mempertontonkan sikap saling membenci, yang sangat tidak produktif bagi
perjalanan bangsa ke depan. ”Kita membenci apa yang sering kita takuti,” kata
pujangga William Shakespeare (1564-1616).
Bisa jadi mereka yang suka menebar
kebencian karena takut calonnya kalah dalam pilkada atau pilpres. Yang ketika
sudah benci, dapat melakukan tindakan apa saja.
Filsuf dan ilmuwan Ibnu Rush
(1126-1198) pun mengingatkan, ”Ketidaktahuan menyebabkan rasa takut,
ketakutan menyebabkan kebencian, dan kebencian mengarah pada kekerasan.”
Mereka yang masih diliputi
kebencian barangkali telah kehilangan ”budi”. Inilah ancaman terhadap bangsa.
Ingat, bangsa ini dibangun di atas fondasi keluhuran budi pekerti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar