Rabu, 01 November 2017

Mencegah Kegalauan Pemuda Milenial

Mencegah Kegalauan Pemuda Milenial
J Kristiadi ;   Peneliti Senior CSIS
                                                      KOMPAS, 31 Oktober 2017



                                                           
Sekitar sembilan dekade lalu, para pemudi dan pemuda Indonesia didorong oleh gejolak jiwa membara mengucapkan rangkaian kata-kata: Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda 1928 menjadi peristiwa sejarah menandai bangkitnya pemuda Indonesia membangun bangsa. Mereka berhasil meleburkan sedemikian banyak etno-nasionalisme menjadi satu bangsa dan tetap bersemangat merawat kebinekaan. Sumpah yang amat bertuah karena berhasil menganyam keragaman menjadi mosaik bangsa yang sangat indah laiknya hamparan taman sari yang ditumbuhi oleh bunga berwarna-warni harum mewangi yang merekah setiap hari.

Getaran sumpah yang berumur hampir satu abad itu masih menggetarkan dan terpatri pada generasi milenial. Sebab, kala itu mengucapkan sumpah disertai niat suci untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi. Kini semangat untuk bersatu sebagai bangsa masih amat signifikan. Daya getarnya merembet sampai kepada pemuda milenial sebagaimana laporan hasil survei Kompas, Senin (30/10). Tuah Sumpah Pemuda telah menghasilkan bangsa yang sangat indah.

Namun, sayangnya, sumpah yang dilakukan oleh sementara para petinggi negeri dan politisi yang diucapkan dengan gagah berani kini semakin dirasakan absennya niat suci. Sumpah tanpa nurani hanya menjadi bunyi yang tidak mempunyai makna dan arti. Alih-alih mengabdi, sumpah dan janji justru dirasakan sebagai genderang mengawali politik transaksional dan perlombaan memuaskan kepentingan pribadi sebagai prioritas tertinggi. Politik tanpa nurani membuat Sumpah Pemuda tercemari.

Akibatnya, bonus demografi, rasio semakin turunnya tingkat ketergantungan penduduk nonproduktif (usia 0-14 tahun) dengan penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang semakin menurun menjadi tidak banyak berarti. Para petinggi negeri tidak mengantisipasi dengan cermat dan teliti momentum yang sangat penting ini, terutama pesatnya perkembangan teknologi yang dapat mengancam generasi milenial menjadi mati suri.

Bonus demografi mulai dikumandangkan sebagai potensi meningkatkan martabat negeri oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2013. Namun, hal itu disertai beberapa catatan penting, antara lain sebaran jumlah penduduk yang tidak merata (terkonsentrasi di Jawa), tingginya tingkat pertumbuhan penduduk (laju tingkat pertambahan penduduk Indonesia beberapa tahun terakhir kurang lebih sama dengan jumlah penduduk negara Singapura), dan rendahnya kualitas penduduk.

Faktor terakhir ini dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM). Berita Statistik pada 6 Mei 2013 menyebutkan, penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2013 didominasi penduduk berpendidikan rendah (SD ke bawah), yaitu 54,6 juta orang (47,9 persen) dan SMP 20 juta (17,8 persen). Jika dihitung total, jumlahnya hampir 65 persen tenaga kerja dalam era persaingan global yang sangat ketat saat ini. Selain itu, masih ada sederetan data yang dapat mengungkapkan betapa besarnya permasalahan kependudukan. Jika tidak dikelola dengan niat politik yang benar, dapat diperkirakan hal itu menjadi ”bom waktu” yang akan meledak dan akan memorakporandakan kehidupan bersama.

Sinyalemen tersebut bukan hal yang mustahil. Ada sebuah artikel di majalah Der Spiegel No 2/2008 berjudul ”Junge Manner: Die Gefahrlichste Spezeis der Welt” (Orang Muda: Spesies yang Paling Berbahaya di Dunia). Pelajaran dari artikel tersebut adalah jika negara tidak hadir dan gagal memberikan pendidikan kepada generasi muda sehingga menjadi penganggur, mereka justru akan menjadi spesies yang amat membahayakan dunia. Selain itu, ancaman dan tantangan yang dihadapi oleh pemuda milenial bahwa robot dapat dipastikan semakin lama akan menggantikan tenaga kerja manusia (Martin Ford, 2015, Rise of the Robots: Technology and the Threat of a Jobless Future).

Ancaman lain yang tak kalah serius akibat dari pengangguran dan kesenjangan sosial ekonomi adalah menyuburkan berbagai doktrin dan ideologi radikal. Mereka mudah terpikat dengan janji-janji meskipun tidak masuk akal. Perilaku radikal dan intoleransi akan tumbuh subur di kalangan generasi muda. Bahkan, dewasa ini penetrasi ajaran intoleransi mulai masuk ke kalangan terdidik dan kelas menengah, aparatur negara, dan BUMN. Penetrasi ajaran-ajaran tersebut di kalangan profesional masuk melalui kajian-kajian keagamaan yang dilakukan di tempat kerja (Survei Alvara, Oktober 2017).

Oleh sebab itu, makna Sumpah Pemuda kali ini harus dapat mendorong para petinggi negeri dan politisi membuat kebijakan politik yang dapat mencegah pemuda milenial tidak terperangkap dalam kegalauan menghadapi tingkat persaingan global. Selain itu, juga mencegah dari kepesatan tingkat kecanggihan teknologi, terutama robot yang dapat menggantikan tenaga manusia. Generasi muda milenial secara individual banyak sekali yang mempunyai kreativitas yang mengagumkan dalam memanfaatkan era digital. Namun, mengingat tantangan global yang semakin kompleks dan keras, negara harus hadir dengan membuat kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar