Rabu, 22 November 2017

Tokoh Pelintas Batas Itu Telah Tiada

Tokoh Pelintas Batas Itu Telah Tiada
Musdah Mulia ;  Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
                                                    KOMPAS, 21 November 2017



                                                           
Djohan Effendi adalah nama yang tak asing di kalangan pemerhati dialog agama; bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di mancanegara. Kegigihan dan ketekunannya merajut perdamaian melalui dialog di antara berbagai penganut agama membuat dirinya pantas disebut tokoh Pelintas Batas.

Di kalangan pemikir Islam progresif, Djohan disejajarkan dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib. Mereka juga disebut pemikir neomodernis Islam.

Pada hari Jumat, 17 November, sekitar pukul 22.00 waktu Geelong, Melbourne, ia berpulang ke rahmatullah, tepatnya di Nursing Home McKellar, Centre Geelong, Melbourne, Australia, didampingi putra-putrinya yang sudah lama bermukim di sana.

Djohan lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939. Setelah menamatkan pendidikan dasar, atas biaya ikatan dinas pemerintah, ia melanjutkan ke pendidikan guru agama (PGA) di Banjarmasin. Setelah itu ia masuk Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta, lalu IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (tamat 1970). Di sana ia mendalami polemik filosofis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.

Djohan merenungkan sejumlah konsep keimanan yang sangat abstrak, seperti keabadian alam, takdir, kebebasan manusia, dan kekuasaan Tuhan. ”Itu nyaris menggoyahkan keimanan saya.”

Djohan memulai kariernya di lingkungan Kementerian Agama sebagai pegawai Departemen Agama Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962). Berturut-turut jabatannya adalah Staf Sekretaris Jenderal Departemen Agama Jakarta (1972-1973), Staf Pribadi Menteri Agama (1973-1978), Peneliti Utama Depag (sejak 1993), Staf Khusus Sekretaris Negara/Penulis Pidato Presiden (1978-1995), Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama (1998-2000), dan terakhir sebagai Menteri Sekretariat Negara (2000-2001).

Meskipun Djohan pegawai negeri sipil, ia selalu bersikap kritis terhadap pemerintah dan negara. Ia bersama Gus Dur dan sejumlah pemuka agama dari beberapa agama mendirikan Indonesian Conference on Religions for Peace (ICRP), suatu organisasi lintas agama yang memperjuangkan tegaknya demokrasi dan pemenuhan hak kebebasan beragama bagi semua warga negara tanpa kecuali. ICRP dikenal sebagai organisasi yang amat kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang diskriminatif atas nama agama.

Demikian pula ketika dikaryakan ke Sekretariat Negara. Kehadirannya di Sekretariat Negara khusus untuk membantu menyusun pidato mantan Presiden Soeharto. ”Kesepakatannya, saya jangan dipaksa menulis hal-hal yang tidak saya setujui.” Itu prinsipnya.

Pribadi terbuka

Djohan sosok yang tak banyak bicara. Ia lebih suka mendengar. Di sisi lain, ia sangat terbuka, mudah akrab. Sikap itu sudah berakar sejak kecil. Selain mengaji, Djohan kecil keranjingan baca biografi tokoh dunia. Ketekunan itu diwariskan ibunya yang, sekalipun pedagang kecil, getol membaca.

Ketika pengembaraan intelektualitas menemui kebimbangan, Djohan berkenalan dengan buku Ahmadiyah karya Muhammad Ali. Ia lalu bertemu Muhammad Irsjad dan Ahmad Djojosugito, dua tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan tertarik pada cara interpretasi Ahmadiyah yang sangat rasional, sekaligus spiritualistik. Sejak itu ia dekat dengan orang-orang Ahmadiyah.

Pada 1992 ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan profesor atau guru besar. Pidato pengukuhannya: ”Pembangunan Kehidupan Beragama dalam Perspektif Negara Pancasila”. Dalam pidato itu Djohan menyinggung keberadaan kelompok penganut minoritas yang sering mendapat perlakuan tidak adil, seperti Khonghucu dan Bahai. Ia pernah disuruh menghapus bagian pidato itu, tetapi ia tidak mau.

Ketika Tarmidzi Taher menjadi menteri agama (1993-1998), Djohan ”dikucilkan” di lingkungan Kementerian Agama. Kariernya sebagai penulis pidato presiden pun tamat ketika ia ”nekat” mendampingi Gus Dur ke Israel, 1994. Kunjungan ditentang keras sejumlah kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekretaris Negara saat itu, ikut menyesalkan.

Kulturalis

Tahun 1995 Djohan pindah ke Australia. Ia mengambil program doktor di Universitas Deakin, Geelong, Victoria. Disertasinya ”Progresif Tradisional: Studi Pemikiran Kalangan Muda NU, Kiai Muda NU, dan Wanita NU”.

Dari segi pemikiran, Djohan memang dekat dengan Gus Dur. Keduanya ”bermazhab” kulturalis dan sama-sama penganjur inklusivisme beragama. Kedekatan ini dipertegas dengan keanggotaan Djohan di Forum Demokrasi (Gus Dur sempat lama jadi ketuanya). Tak heran, Djohan kemudian menjadi salah satu menteri dalam kabinet Gus Dur.

Satu hal yang perlu dicatat dari pemikiran Djohan adalah pembangunan bidang agama. Menurut dia, pembangunan kehidupan beragama di Indonesia belum memiliki konsep yang jelas. Bagi Djohan, tanpa penjelasan konseptual tentang kata agama, arah pembangunan bisa kabur.

Ketika menjabat Kepala Badan Litbang Departemen Agama, ia sering mengingatkan para peneliti: ”Kita harus menjunjung tinggi integritas dan obyektivitas. Jangan mengorbankan integritas sekadar mencari credit point. Mengorbankan integritas kepenelitian adalah aib yang menodai kepercayaan dan mungkin pula kehormatan yang melekat dalam jabatan kepenelitian.”

Bagi saya, ia adalah tokoh yang dapat diteladani bukan hanya dalam kebersahajaan dan kesederhanaan hidup, melainkan juga dalam kegigihan menegakkan prinsip keadilan bagi semua warga negara tanpa kecuali. Dia adalah tokoh lintas agama dan pejuang kemanusiaan yang sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar