Anies
Baswedan, Ananda Sukarlan,
dan
Sikap Kekanakan
Abdullah Sammy ; Jurnalis Republika
|
REPUBLIKA,
16 November
2017
Akhir-akhir ini kata boikot
ramai menghiasi jagad sosial media. Ini tak terlepas aksi seorang komposer
bernama Ananda Sukarlan di tengah acara perayaan HUT almamaternya, sekolah
Kanisius.
Boikot yang dilakukan sang
pianis nyatanya merupakan cermin dari ketidaksetujuannya pada sosok gubernur
DKI, Anies Baswedan. Anies dinilai Ananda sebagai sosok yang memakai segala
cara untuk meraih kursi kuasa, bahkan dengan menyeret sentimen SARA.
Itu semua dinilai oleh kepala
dan emosi seorang Ananda sebagai bentuk sikap yang tak sesuai dengan ajaran
Kanisius. Karena itu, Ananda memilih meninggalkan ruangan ketika Anies mulai
berpidato.
Di sisi lain Anies berpidato
bukan atas permintaan pribadinya. Sebaliknya sang gubernur diundang resmi dan
diminta berpidato oleh pihak Kanisius. Anies pun menghormati undangan itu
untuk hadir dan berpidato. Ternyata yang diterima Anies saat berpidato adalah
aksi boikot dari sebagian besar hadirin.
Boikot dari alumni Kanisius,
terutama Ananda , menjadi bayaran yang harus diterima Anies yang berstatus
undangan resmi. Ada yang menyebut aksi itu sebagai ekspresi politik dan buah
dari sakit hati di Pilkada DKI. Saya sendiri tak mau buru-buru menarik
kesimpulan atas aksi boikot Ananda dan kawan-kawannya.
Yang jelas aksi boikot
sejatinya merupakan budaya yang kerap terjadi akhir-akhir ini di tengah
masyarakat. Saya ingin terlebih dahulu menarik jauh soal boikot pada konteks
sejarah.
Boikot sejatinya sebuah kata
dalam kamus bahasa Inggris yang diambil dari nama seorang mandor tanah di
daratan Inggris Raya bernama Charles Boycott. Pada 1880, di Irlandia terjadi
sebuah peristiwa yang disebut Perang Tanah Irlandia. Boycott merupakan orang
yang bertanggung jawab mengawasi tanah milik bangsawan bernama Lord Erne di
wilayah Lough Mask, Irlandia.
Karena pada 1880 hasil panen di
lahan milik Lored Erne buruk, maka sang pemilik tanah menawarkan pemotongan
biaya sewa tanah sebesar 10 persen. Para penyewa tanah masih merasa keberatan
dan meminta 25 persen pengurangan uang sewa. Erne menolak permintaan itu.
Kemudian Kapten Boycott yang merupakan 'mandor' tanah milik Erne mengusir 11
orang penyewa tanah.
Pengusiran itu kemudian
menimbulkan perlawanan dari penyewa tanah lain. Mereka kompak untuk tak
bekerja dan menolak membayar sewa. Aksi ini diikuti oleh petugas pengantar
surat yang enggan mengantar surat kepada Erne atau Boycott. Hampir seluruh
pekerja di lahan milik Erne juga enggan bekerja. Usaha Boycott dan Erne
akhirnya diisolasi. Kerugian besar harus diterima Erne akibat aksi sang
mandor, Boycott.
Reporter New York Tribune,
James Redpath kemudian menuliskan kisah itu dalam laporannya pada koran edisi
20 November 1880.
Lepas dari kisah di Irlandia
itu, the Times kemudian menciptakan terminologi bahasa baru. Setiap aksi
isolasi yang dilakukan secara terencana kemudian disebut dengan istilah
boycotted (diboikot) yang berarti dibuat seperti yang dialami Boycott pada
November 1880.
Kini, tepat menjelang ulang
tahun ke-137 dari penemuan istilah 'boikot' (20 November), terminologi ini
ramai dipakai masyarakat Indonesia. Ya, pemantiknya adalah kisah Ananda
Sukarlan.
Tapi latarbelakang dari
pemboikotan jauh berbeda dengan kisah di Irlandia 1880. Filosofinya atas aksi
Ananda pun tak sesuai dengan filosofi boikot sesungguhnya. Sebab yang terjadi
pada tahun 1880 adalah usaha untuk mencari ruang diskusi dan keadilan yang
setara.
Pada 1880, Charles Boycott
dinilai melakukan usaha isolasi usaha secara sepihak kepada 11 penyewa tanpa
ada ruang untuk berdiskusi secara setara. Karena alasan itu kemudian isolasi
yang sama dilakukan kepada Boycott.
Isolasi itu pun bukan sebagai
bentuk usaha untuk mempermalukan pribadi Charles Boycott. Sebaliknya sebagai
bentuk perundingan secara tak langsung. Sehingga akhirnya kemudian Boycott
mengendurkan sikapnya pada para penyewa tanah.
Nah, yang terjadi kepada Anies
sulit diartikan dengan filosofi yang sama. Karena setidaknya aksi yang
dilakukan adalah sepihak oleh Ananda tanpa membuka ruang diskusi yang setara.
Ananda cs pun seakan sengaja menunggu momentum keluar ruangan saat Anies
berpidato.
Jika dia keberatan terhadap
sikap Anies, bukankah lebih gentle kalau disampaikan langsung ke yang
bersangkutan tanpa harus menunggu dia pulang? Kritik atau bahkan kecaman yang
dilakukan saat muka dan muka berhadapan, niscaya jauh lebih konstruktif. Tapi
kalau tindakan itu dimaksudkan untuk mempermalukan, maka itu jadi lain soal.
Yang dilakukan Ananda pada
Anies malah lebih mirip dengan posisi seorang Boycott keada sang penyewa
lahan. Tanpa sempat membuka ruang diskusi, Ananda malah melakukan aksi
sepihak. Walhasil kemudian muncul reaksi balik dari para pendukung Anies.
Lucunya aksi balasan dari
pendukung Anies malah salah sasaran. Aksi balasan malah menyasar pada
Traveloka. Sialnya, pemilik Traveloka Derianto Kusuma dianggap ikut pada aksi
boikot pada pidato Anies di Kanisius. Sebab nama Derianto bersanding bersama
Ananda selaku penerima penghargaan malam itu. Padahal si empunya Traveloka
itu tak ada di lokasi.
Tapi hoax sudah menjadi bubur.
Derianto dianggap ikut menginisiasi tindakan 'mengisolasi' Anies sehingga
aksi isolasi balasan dilakukan pada usahanya yakni Traveloka. Sehingga muncul
kemudian gerakan uninstall pada aplikasi Traveloka yang diserukan dan
dilakukan oleh Aniser (pendukung Anies).
Pada poin ini bukan soal
hoax-nya yang ingin dijadikan benang merah. Tapi soal aksi dan reaksi yang terjadi
akibat tindakan Ananda. Ini layaknya aksi 'boycott' dan kemudian di-'boycott'
oleh para penyewa lahan.
Apa pun itu, aksi Ananda malah
membuka kembali garis demarkasi yang tegas lepas Pilkada DKI. Sebab bukan
rahasia bahwa Ananda adalah pendukung Ahok. Dan ini mengakibatkan munculnya
kembali sentimen Pilkada DKI antara kedua kubu. Dan sebagai salah satu tokoh
publik di dunia musik, sikap ini jadi kurang elok.
Sebagian besar yang mendukung
Ahok pasti memuji tindakan Ananda. Tapi, Anies pun didukung oleh 58 persen
warga di DKI. Dan bisa jadi mayoritas pemilih Anies itu marah dengan tindakan
Ananda. Walhasil ini tercermin di ranah sosial media di mana aksi Ananda
membakar kembali perseteruan Ahoker vs Aniser.
Jika apabila alasan aksi Ananda
itu dengan alasan ketidaksetujuannya pada sosok Anies yang dinilai merusak
persatuan, maka hal itu jadi paradoks. Sebab aksi yang dilakukan Ananda
sebagai tokoh publik juga jauh dari kata menyatukan, malah menebar
perseteruan.
Orang pun jadi berpikir sikap
Ananda ini bukan sebuah bentuk ideologis tapi emosi belaka. Ini ibarat
peristiwa yang kerap terjadi di sepak bola Indonesia. Saat sebuah tim yang
sedang kalah dan merasa diperlakukan tidak adil, maka tim itu mogok
bertanding dan meninggalkan lapangan begitu saja. Padahal risiko pertandingan
adalah menang dan kalah serta kontroversi yang menyulut emosi.
Dan yang terjadi kini memang
benar-benar laksana laga sepak bola Liga Indonesia. Yang mana sikap lebih
dipengaruhi sentimen sebagai suporter. Tak peduli apakah itu Ahoker atau
Aniser.
Mungkin Ahoker dulu juga
meradang saat di sejumlah kesempatan Ahok diboikot oleh sejumlah masyarakat.
Saya juga masih ingat bagaimana Ahoker dulu nyinyir ketika ada aksi boikot
pada sebuah produk roti sebagai bentuk aksi 212. Dan di sisi lain, sebagian
yang kini Aniser adalah inisiator dari aksi boikot zaman Ahok itu.
Tapi kini lakon telah beranti.
Yang dulu nyiyir karena jagonya diboikot, malah senang bukan kepalang saat
sang lawan yang diboikot. Saat Anies yang diboikot, giliran Ahoker yang
menjadi dalangnya.
Jadi atas nama logika sehat,
jangan bawa kata objektifitas dari semua aksi boikot memboikot ini. Ini bukan
bentuk keobjektivan tapi ke-baperan.
Sulit beragumentasi soal nilai
ideologis yang termuat dalam setiap tindakan boikot kepada lawan politik.
Sebab relasi yang terbangun adalah haters vs fanboy. Semua ini mirip
perseteruan antara suporter kesebelasan sepak bola.
Tapi sejauh apa pun fanboy dan
haters berseteru di sepak bola, mesti ada titik tengah bernama legawa. Sebab
pada akhirnya di setiap pertandingan ada yang menang dan kalah begitu wasit
meniup peluit. Meski menang dan kalah dalam sepak bola kerap dibumbui sebuah
kontroversi, itu adalah hal yang niscaya dan biasa-biasa saja.
Pun halnya di politik. Dalam
pemilu pasti ada silang pendapat dan jual beli artikulasi yang kerap menyulut
emosi. Tapi saat palu KPU atau MK sudah mengetuk palunya, maka semua harus
menghormatinya secara dewasa.
Tapi apa pun itu sikap Ananda
adalah haknya secara pribadi. Sebab menjadi dewasa atau kekanakan adalah
sebuah pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar