Selasa, 21 November 2017

Ada Ananda di Antara Ahok dan Anies

Ada Ananda di Antara Ahok dan Anies
Iswandi Syahputra ;  Pengamat Komunikasi; 
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
                                                 REPUBLIKA, 15 November 2017



                                                           
Seperti halnya Ahok, Anies juga sesungguhnya adalah aset bangsa. Dalam skala berbeda, keduanya memberi kontribusi yang juga berbeda pada bangsa Indonesia.

Tidak ingin membandingkan, tapi ini harus diajukan untuk menjernihkan dan menetralisir fikiran.

Bahkan jauh sebelum menjadi menteri Pendidikan dan Gubernur DKI Jakarta, Anies sudah aktif memberi kontribusi pada bangsa melalui gerakan 'Indonesia Mengajar' pada tahun 2009.

Sebagai Rektor Paramadina, pada rentang 2007-2015 Anies juga dikenal memiliki kontribusi pemikiran pada berbagai persoalan bangsa. Paramadina, kampus yang mengusung gagasan tentang relasi baru Keindonesiaan-Keislaman khas pemikiran Nurkholis Madjid ini dikenal salah satu basis pemikiran sekuler. Itu pula sebabnya Anies sering diplot masuk dalam barisan intelektual sekuler-liberal.

Jauh sebelum itu, saat menjadi mahasiswa UGM, dengan kapasitas dan jabatannya sebagai Ketua Senat UGM tahun 1992, Anies dikenal memiliki pemikiran yang cemerlang. Pendirian BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) merupakan salah satu gagasan cemerlang Anies saat itu.Karena kecemerlangan dan kejernihannya Anies didapuk sebagai moderator debat Capres 2009.

Saat menjadi pelajar, pada tahun 1987, dia terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS dan tinggal selama setahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat.

Kita telisik lebih jauh lagi, Abdurrahman Baswedan kakek Anies juga merupakan diplomat cemerlang yang pernah dimiliki Indonesia. Dia seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan juga sastrawan Indonesia. AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. AR Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia yaitu dari Mesir.

Saat menjadi aktivis mahasiswa, tahun 1994 saya berkunjung ke rumah orang kakek Anies di kawasan Jalan Dagen, tidak jauh dari Malioboro terlihat sederhana tapi memiliki pustaka dengan kumpulan buku yang langka. Berbeda dengan rumah orang tua Ahok yang megah di Belitung Timur yang saya kunjungi tahun ini.

Satu-satunya yang bikin saya kecewa pada Anies saat dia masuk terperangkap dalam lembah saling menyampaikan ujaran ketidaksukaan saat Pilpres 2014 lalu. Suatu sikap yang jauh dari karakter Anies yang santun, jernih dan sejuk.
Tapi dari peristiwa itu saya memahami pelajaran bahwa "memilih teman dan lingkungan dapat mempengaruhi fikiran, ucapan dan tindakan".

Belakangan saat lakukan riset tentang polarisasi netizen di media sosial awal tahun ini, saya jadi mengerti ada 2 arus besar kelompok politik pada era post trust saat ini, konservatif dan liberal. Dua polarisasi ini nanti kelak yang akan mewarnai wajah politik domestik kita. Dari dua polarisasi ini pula kita bisa memahami sikap Walk Out Ananda saat mengikuti perayaan HUT 90 tahun Kanisius yang dihadiri Anies Baswedan.

Sekali lagi, tidak ingin membandingkan, jika diajukan pertanyaan apa yang dilakukan Ahok untuk bangsa ini pada tahun 1987, 1992, 2005, 2009, jauh saat Ahok belum menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012? Saya sendiri tidak bisa menjelaskannya.

Jernihkan fikiran dengan cara membandingkan tahun 2012 Ahok terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi. Suatu kemenangan politik yang penuh drama, mengingat saat itu Jokowi dan Ahok hanya orang daerah yang belum menjadi apa-apa. Tapi semua pihak menerimanya dengan legawa. Pilkada persitiwa politik, politik adalah permainan dan permainan sudah selesai.

Dalam pandangan saya, 100 hari pertama kepemimpinan Jokowi-Ahok publik menerima dengan penuh harap ada perubahan. Dalam pandangan saya, 100 hari pertama boleh dikata publik cukup puas (paling tidak dalam pandangan saya) dengan kepemimpinan Jokowi-Ahok.

Tiga hal saja yang paling tampak dilihat, keputusan membangun MRT, pembangunan taman kota dan berbagai kejutan birokrasi melalui blusukan Jokowi.

Polemik publik mulai mencuat saat Jokowi maju sebagai Capres. Sikap ini dianggap mengingkari janji. Tapi sudahlah, itu urusan politik. Jokowi terpilih jadi Presiden, Ahok naik menjadi Gubernur menggantikan Jokowi.

Hal ini berimplikasi pada penolakan sekelompok kecil masyarakat hingga memunculkan Gubernur DKI tandingan saat itu. Tapi ini tidak meluas, karena dianggap hanya mewakili identitas politik Islam dari kelompok tertentu di Jakarta. Publik cukup fair memberi penilaian. Artinya, umat Islam khususnya DKI Jakarta masih mampu berfikir rasional pada kepemimpinan Ahok. Hingga 100 hari pertama kerja Ahok sebagai Gubenur nyaris tidak ada hambatan dan tekanan.

Sampailah pada kasus 'Al-Maidah 51'. Ini menjadi titik puncak yang mengkonsolidasi polarisasi kelompok konservatif dan liberal. Sebelumnya muncul berbagai isu kontroversial dari kebijakan Ahok sebagai Gubernur DKI, mulai dari larangan takbir hari raya hingga larangan memotong hewan kurban di kompleks sekolah. Jadi, memang sudah ada semacam gejala memarjinalkan satu kelompok.

Momentum 'Al-Maidah 51' menjadi puncak dari keresahan yang terpendam. Ini normal, bisa terjadi pada kelompok manapun yang keyakinan religiusnya terusik.

Jika kita kembali pada kepemimpinan Anies yang dilantik 16 Oktober lalu, belum melewati 100 hari kepemimpinan, berbagai tekanan dan bully bertubi ditujukan pada Anies dan Sandi. Seakan kita lupa bagaimana 100 hari pertama Ahok jadi Gubernur atau 100 hari pertama Jokowi jadi Gubernur.

Seperti Ahok, Anies butuh Kritik bukan IntrikDalam pandangan saya, sebaik-baiknya Ahok, dia tetap manusia yang punya salah. Perlu dikritik, bukan dipuja dan dipuji. Sejak awal, kritik saya untuk Ahok pada karakter kasar dan tempramentalnya yang selalu dipamerkan. Bagi saya ini tidak baik untuk generasi mendatang.

Kritik saya untuk Anies, memang sulit menjadi negarawan berkarakter pada era post trust saat ini. Dan kelemahan Anies di mata saya adalah politik oportunis yang melekat dalam dirinya. Kelemahan ini juga sebenarnya dimiliki Ahok. Oleh sebab itu, dalam posisi sebagai aset bangsa, keduanya tetap perlu diberi kritik sebagai kritik bukan kritik sebagai intrik.

Kasus Walk Out (WO) Ananda saya menilai jauh dari kritik, ini cenderung pada aksi atau sikap politik. Bagi saya ini hal wajar, ada bagusnya sebagai pola baru sistem kontrol publik terhadap kekuasaan. Asal dilakukan dengan pertimbangan rasionalitas publik, bukan dendam politik apalagi mendasarinya dengan kebencian dan dendam politik.

Motif dan argumen WO Ananda menjadi hal penting yang harus dinilai dan diperiksa oleh publik. Berita menyebutkan bahwa Ananda WO karena sosok Anies yang diundang di acara itu dinilai tak mencerminkan nilai-nilai ajaran Kanisius.

Saya tidak paham sikap Anies yang seperti apa yang tidak mencerminkan ajaran Kanisius? Jikapun dalam pandangan Ananda, Anies tidak mencerminkan ajaran Kanisius, apakah Ananda yakin semua yang hadir dalam acara tersebut mencerminkan ajaran Kanisius? Lantas, apakah sikap WO saat tamu yang diundang resmi itu mencerminkan ajaran Kanisius?

Sebagai Canasian, Ananda seharusnya ingat motto "Ad maiorem Dei Gloriam" (Demi semakin bertambahnya kemuliaan Tuhan). Memuliakan manusia, bagian dari jalan memuliakan Tuhan.

Sebagai peneliti media sosial, saya melihat ini hanya sebagai aktualisasi gambaran dari polarisasi kelompok politik liberal yang terpersonifikasi pada sosok Ahok yang semakin mengeras di jagad media sosial. Jadi masih tidak jauh dari persoalan Pilkada DKI Jakarta.

Jika pandangan saya ini benar, tampaknya Ananda masih perlu belajar tentang toleransi (politik) dengan lebih arif dan bijak.

Republik ini butuh kejernihan politik, bukan kekeruhan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar