Rabu, 22 November 2017

Generasi Milenial, Modal Sosial, dan Keteladanan Politik

Generasi Milenial, Modal Sosial, dan
Keteladanan Politik
Dimas Oky Nugroho ;  Pengajar dan Pengamat Isu-Isu Sosial Politik,
Kepemudaan dan Kewirausahaan Sosial
                                                DETIKNEWS, 20 November 2017



                                                           
Pengalaman dan kearifan kita mengajarkan bahwa penekanan pada pembangunan ekonomi dan politik yang meninggalkan konsentrasi secara sungguh-sungguh pada aspek human capital (pembangunan manusia) serta aspek penguatan social capital (modal sosial) hanya akan menghasilkan dampak persoalan yang akut dan kompleks. Mulai dari kesenjangan sosial, ketidakmerataan pembangunan, ketimpangan sumber daya manusia, rendahnya partisipasi, lemahnya daya saing, dominasi elite dalam politik, eksploitasi dan korupsi, radikalisme, sampai masyarakat yang saling curiga, mudah terprovokasi, dan rentan konflik.

Inti dari model pembangunan yang esensial, berkemanusiaan dan berkelanjutan sejatinya adalah meletakkan strategi pembangunan manusia dan penguatan modal sosial sebagai dua fondasi yang terintegrasi. Kombinasi keduanya mengutamakan pentingnya aspek kapasitas-integritas individu warga negara, serta kemampuan sosial, kegotong-royongan, dalam membangun kolaborasi dan komunitas negara-bangsa.

Tujuh puluh dua tahun sudah Indonesia Merdeka. Dengan segala drama politik dan turun-naik ekonominya, satu hal secara hikmat dan bijaksana telah kita sadari. Bahwa, apapun upaya pembangunan politik dan institusionalisasi demokrasi, proses pembangunan dan produk pertumbuhan ekonomi, serta kehadiran regulasi dan usaha penegakan hukum yang dijalankan oleh sebuah sistem akan menjadi timpang, rapuh, konfliktual, inkonsisten dan nyaris sia-sia jika dilakukan tanpa strategi membangun manusia dan komunitas (setting sosial-ekonomi individu dan antarindividu) secara lebih serius, lebih fokus, lebih disiplin, dan lebih kerja keras.

Pembangunan manusia ini dalam konteks sosiologi meliputi faktor keberdayaan dan kualitas seorang manusia dalam menjalani kehidupannya secara mandiri dan bernilai positif. Hal ini khususnya meliputi aspek edukasi dan pengetahuan, bakat dan keahlian untuk aksesnya terhadap perikehidupan yang layak, serta karakter positif, kebajikan diri dan perilaku sosial yang diperlukan oleh setiap manusia secara merata tanpa terkecuali, untuk berkembang secara sehat, otonom, produktif dan dapat memberi manfaat bagi lingkungan masyarakatnya.

Dalam halnya individu atau para-individu 'berdaya' yang bertemu, berjejaring, berkumpul dan bekerja sama serta berkontribusi memberi keteladanan dan manfaat bagi masyarakatnya inilah terletak sebuah lanskap modal sosial yang dibutuhkan sebuah bangsa. Dalam perspektif sosiologis, modal sosial ini dapat bermakna jejaring sosial yang dimiliki oleh individu yang dapat membawa peningkatan kapasitas, akses, dan implikasi-implikasi sosial ekonomi dan sosial budaya pada individu atau komunitas (Anderson, 2010).

Bagi peneliti modal sosial bernama Nan Lin (2001), modal sosial harus lebih terukur. Ia terletak pada sumber-sumber yang menjadi hasil atau implikasi sosial ekonomi dari terjadinya koneksi sosial tadi. Yakni, berupa peningkatan posisi, akses informasi, dan keuntungan ekonomis yang diperoleh dari jejaring yang dibangun dan dimiliki tersebut. Namun, jika hanya merujuk pada hasil implikasi keuntungan individu semata kita akan mudah terjebak pada individualisme, pragmagtisme, dan dominasi dalam mengeksploitasi berbagai koneksi sosial yang tersedia. Semua itu pada gilirannya mengakibatkan munculnya kesenjangan, ketidakpedulian, ekstremisme, dan konflik.

Peneliti lainnya, Robert Putnam (2000), sebaliknya melihat modal sosial lebih ditekankan pada aspek keberadaan koneksi, jejaring atau relasi itu sendiri daripada aspek sumber-sumber daya atau implikasi dari koneksi sosial tadi. Persahabatan, komunitas, dan berbagai bentuk asosiasi sosial adalah sebuah wujud konkret kekayaan sosial itu sendiri. Dalam pandangan Putnam, modal sosial lebih mengutamakan aspek pembangunan relasi sosial dan keadaban publik yang terjalin di atas koneksitas positif dan tulus yang berlangsung antara suatu individu/komunitas yang satu dengan individu/komunitas yang lain.

Pancasila dan gotong royong merupakan modal sosial paling fundamental bagi negara-bangsa Indonesia. Ketika keberdayaan positif tiap-tiap individu (human capital) terjadi secara merata lalu kebersatuan, keguyuban, dan kerja sama antarwarga yang majemuk dapat dijalankan di tiap tingkat jejaring komunitas yang berkontribusi membangun penguatan kolektivitas kebangsaan secara positif (social capital), maka menurut saya pembangunan nasional Indonesia sudah berada di jalur yang benar, mendasar, dan berkelanjutan.

Teladan dan Ikhtiar Kepemimpinan

Di tengah merebaknya kesablengan dalam atmosfer politik Amerika hari-hari ini, sebuah acara digagas oleh mantan presidennya, Barrack Obama. Ikhtiar dilakukan untuk memperkuat aspek citizenship dan social capital yang mereka butuhkan untuk menjawab antagonisme politik yang berkembang.

Sejumlah civil leader atau pemimpin-pemimpin komunitas berpengaruh diundang ke Chicago untuk saling berbagi dan berdiskusi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang sosial-suku-agama-profesi yang berbeda, tak hanya dari Amerika, namun juga dari sejumlah negara. Dalam acara yang dinamakan #ObamaSummit tersebut, para peserta yang diundang –kebanyakan kaum muda– adalah individu-individu yang berkarakter positif, dan aktif berpartisipasi membangun komunitas serta merekatkan dan memajukan bangsanya.

CEO Obama Foundation, David Simas, yang juga mantan Direktur Politik di Gedung Putih era pemerintahan Obama dalam kesempatan itu menyampaikan pernyataan yang inspiratif. Bahwa, suatu perubahan hanya akan terjadi ketika tiap individu yang berdaya saling berinteraksi secara inklusif, positif, dan saling menghormati (kemajemukan) serta memperkuat satu sama lain. Dan, membawa semangat tersebut ke dalam sebuah aksi bersama.

Sekilas jika diperhatikan #ObamaSummit ini sesungguhnya sangat Pancasilais, Saudara-saudara! Di Indonesia, inisiatif-inisiatif sedemikian harus kembali kita marakkan. Untuk mewujudkannya negara harus lebih berperan, namun tak bisa lagi sendirian. Negara harus melibatkan kolaborasi dari berbagai kekuatan masyarakat sipil, dan juga inisiatif masyarakat ekonomi yang berintegritas.

Setahu saya tidak begitu banyak saat ini program masyarakat sipil yang independen, konsisten, tulus, dan berkelanjutan yang fokus dalam memperkuat akselerasi pembangunan human capital dan social capital ini.

Di tengah kesablengan atmosfer politik yang kurang lebih sama –antara lain ditandai dengan bertebarannya hoax, fitnah politik, dan integritas para politisi, sejumlah anak muda menggagas sebuah short course 'sekolah' pemimpin muda bernama Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP). Program yang telah masuk pada angkatan ketujuh ini bertujuan mengundang champion-champion muda terpilih di masing-masing komunitas, dari Aceh sampai Papua untuk diperkuat aspek human dan social capital-nya. Harapannya kelak mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang dapat menjadi teladan, bermanfaat, dan paripurna ikhtiar kepemimpinannya.

Pada KBFP Angkatan III tahun 2011, para peserta saat itu beruntung bisa beraudiensi dengan seorang wali kota inspiratif dari Solo yang mengutamakan pembangunan manusia, penguatan kewargaan, dan modal sosial sebagai ikhtiar kepemimpinannya. Wali kota itu bernama Ir. H. Joko Widodo. Saat itu pun, mendengar paparan pendekatan kepemimpinan yang dilakukannya, baik panitia maupun peserta telah menduga bahwa sosok ini layak, dan kelak —dan memang kemudian terbukti— menjadi Presiden Indonesia.

Sebagai penutup, strategi pembangunan manusia dan penguatan modal sosial ini sangat dibutuhkan dan penting ditujukan bagi anak muda kekinian. Namun, harus disadari bahwa para milenial ini tidak memerlukan basa-basi; yang utama bagi mereka adalah sebuah keteladanan, ikhtiar nyata, dan kemuliaan para pemimpin baik itu di komunitas terdekatnya, dan wawasan negara-bangsanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar