Mati
Ketawa Cara Setya Novanto
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
21 November
2017
“Ketua DPR Setya Novanto menghindari langkah hukum
mempertontonkan sikap tidak terpuji dari seorang pejabat negara terhadap
rakyat dan hukum”.
Jusuf Kalla, “Kompas”, Minggu (19/11).
Respons publik terhadap siasat
Setya Novanto yang berkelit dari incaran Komisi Pemberantasan Korupsi untuk
mempertanggungjawabkan dugaan skandal megakorupsi KTP elektronik menimbulkan
beragam reaksi. Tidak sedikit yang meradang, geram, gemas, jijik,
uring-uringan, serta kesal, sebagaimana diungkapkan Wakil Presiden Jusuf
Kalla pada kutipan di atas.
Beberapa hari sebelumnya,
Presiden Joko Widodo menyarankan kepada Novanto agar mengikuti hukum. Namun,
dapat dipastikan banyak anggota masyarakat terpingkal-pingkal sampai
terjungkal menyaksikan episode serial akrobat dan drama komedi, terutama
episode saat Novanto dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu, dan kemudian
kecelakaan tunggal menabrak tiang lampu pada Kamis malam lalu.
Ekspresi publik di media sosial
menunjukkan skenario viktimisasi diri sebagai kemanjen (bahasa Jawa),
jampi-jampi yang pernah mujarab, kini sudah usang, dicoba didaur ulang secara
sembarangan sehingga rakyat merasa dibodohi habis-habisan. Spekulasi skenario
loyalis Novanto mengharapkan klimaksnya, adalah yang bersangkutan dinyatakan
“gegar otak” dan mengalami amnesia permanen. Namun, yang terjadi antiklimaks.
Setelah peristiwa tabrak tiang
lampu, yang bersangkutan diperiksa penyidik sebagai tersangka dan kemudian
ditahan di Rumah Tahanan KPK pada Senin (20/11) dini hari. Ajaibnya, setelah
Novanto diperiksa, ia sanggup bangkit dari rasa sakit dan berdiri tegak
seakan siap sepenuh hati untuk diadili.
Karena itu, alih-alih
masyarakat bersimpati dan iba menyaksikan peristiwa itu, jurus itu justru
menjadi bahan tertawaan publik. Media sosial dihujani sindiran, mulai dari
mereka yang sakit hati sampai foto-foto yang membuat geli. Memang, tertawa
dan humor dekat dengan politik. Misalnya, tahun 1980-an beredar buku yang
sangat terkenal berjudul Mati Ketawa Cara Rusia (Dolgopolova (ed); 1982),
yang merupakan kumpulan cerita kegelisahan rakyat Uni Soviet terhadap para
elite politiknya.
Mungkin tahun mendatang akan
terbit buku sejenis yang merangkai drama perpaduan komedi dan tragedi yang
mengekspresikan kegelisahan rakyat Indonesia terhadap perilaku koruptor yang
sudah kehilangan urat malunya. Dalam studi filsafat, humor adalah fenomena
kemanusiaan yang mempunyai fungsi kritik sosial, maka mempunyai signifikansi
sosial. Ketika ketegangan politik, sosial, dan budaya tidak mereda, humor
menjadi salah satu senjata dan pelarian sosial. Ketika hasrat berkuasa
menggebu-gebu, kebutuhan akan tertawa jadi penting (Henri Bergson, 1914,
Laughter: An Essay on the Meaning of the Comic, terjemahan Cloudesley
Brereton & Fred Rothwell).
Menghadapi kasus dugaan korupsi
yang hampir menyentuh angka Rp 3 triliun, Novanto harus memusatkan perhatian
pada megaskandal korupsi tersebut dengan sikap kesatria. Hanya dengan
bersikap jantan dan perwira, ia dapat mengembalikan harga diri dan martabat
pribadinya. Bersedia menjadi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum
untuk membongkar kejahatannya (justice collaborator), merupakan pilihan
bijaksana, karena akan memberikan kontribusi bagi pemberantasan korupsi
politik serta mewujudkan kehidupan politik yang bermartabat.
Agenda berikutnya adalah
konsolidasi. Namun, konsolidasi tidak dilakukan alakadarnya, apalagi disertai
siasat adu cerdik berebut kekuasaan. Kekhawatiran terjadinya pertarungan
elite sudah tercium sejak dini. Karena itu, Partai Golkar sebagai partai
kelas atas tentu banyak yang berkepentingan, terutama menghadapi Pilkada 2018
dan Pemilu Serentak 2019. Hampir dapat dipastikan setelah Novanto menjadi
urusan KPK, baik mereka yang berpandangan harus taat hukum-dengan harapan
Novanto bersedia mengundurkan diri-maupun mereka yang diam-diam membela
Novanto akan berkompetisi merebut Partai Golkar sebagai bagian dari kekuatan
dalam pertarungan kekuasaan dua tahun ke depan.
Oleh karena itu, konsolidasi
harus mampu menemukan kembali roh dan cita-cita partai, yaitu merawat dan
memuliakan kebinekatunggalikaan dan berpegang teguh pada nilai-nilai
Pancasila serta berkarya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Agenda ini
sangat mendesak mengingat partai berlambang beringin itu semakin tidak
berdaya memihak rakyat karena dicengkeram kekuatan kapital dan dikendalikan
oleh para pembiak kekuasaan (political entrepreneur). Gagasan besar itu
semakin kabur karena tertutup oleh limbah polusi hasrat kuasa yang nyaris
menghalalkan cara. Karena itu, konsolidasi harus komprehensif, yaitu meliputi
konsolidasi ideologi, wawasan, dan organisasi.
Dalam melakukan konsolidasi
sebaiknya juga mengikutsertakan semua unsur yang masih mempunyai komitmen
terhadap kejayaan Partai Golkar, termasuk tokoh-tokoh senior, sesepuh, dan
pendiri. Mereka tersingkir dari Partai Golkar karena kekuatan sosial politik
yang didirikan tahun 1960-an itu semakin dicengkeram oleh kapital.
Karena itu, skandal megakorupsi
yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar dan sekaligus Ketua DPR itu harus
dijadikan momentum kembalinya Partai Golkar sebagai pembela Pancasila dan
Bhinneka Tunggal Ika, serta mampu menyejahterakan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar