Demokratis
Sejati
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA,
15 November
2017
Dalam dunia demokrasi perbedaan
tidak saja sesuatu yang pasti terjadi. Justeru perbedaan menjadi karakter
dasarnya. Demokrasi itu hidup karena adanya kebebasan. Maka kebebasan adalah
nyawa demokrasi. Ketika kebebasan dibungkam di saat itu pula demokrasi
mengalami mati suri.
Oleh karena kebebasan adalah
nyawa demokrasi maka bebas berekspresi merupakan sesuatu yang harus
diapresiasi. Melakukan protes dalam tatanan demokrasi adalah tanda bahwa
demokrasi itu hidup dan dinamis.
Yang menjadi masalah kemudian
adalah manusia seringkali tidak jujur dalam menyikapi dinamika dan kehidupan
demokrasi itu. Ketika mereka yang dianggap berseberangan melakukan protes,
karena sesuatu yang dianggap tidak sesuai protes itu dianggap “ancaman
demokrasi”. Bahkan, tidak jarang dituduh anarkis dan ekstrim.
Sebaliknya, ketika mereka yang
melakukan protes, sebagai wujud kebebasan dalam tatanan demokrasi yang hidup
dan dinamis, maka itu adalah murni demokrasi. Dipuji setinggi langit bahkan
dianggap penyelamat demokrasi.
Pada saat mendapat kehormatan
bersilaturahim dengan Gubernur DKI Dr Anies Baswesan, saya menekankan
pentingnya menjaga keragaman. Dan saya menyampaikan bahwa pak Gubernur paham
betul apa dan bagaimana hidup dalam tatanan masyarakat dengan pluralitas
tinggi, dalam tatanan masyarakat demokratis. Setuju atau sebaliknya tidak
setuju tentang suatu atau banyak hal akan menjadi sesuatu yang lumrah.
Saya memberikan apresiasi
tinggi kepada Gubernur DKI atas sikap lapang, ikhlas, dan menerima atas
perlakuan sebagian hadirin di peringatan 90 tahun Kolese Kanisius Jakarta.
Sebuah sikap demokratis sejati dari seorang pemimpin yang dipilih secara
demokratis dengan kemenangan mayoritas.
Saya tentunya juga
mengapresiasi sikap sebagian hadirin yang memprotes kehadiran Gubernur DKI
dengan melakukan walk out. Hal seperti ini dalam dunia demokrasi menjadi
biasa, bahkan boleh jadi sesuatu yang menjadi tanda dinamika demokrasi itu
sendiri.
Yang saya khawatirkan adalah
jika protes walk out ini masih merupakan indikasi ketidakmampuan untuk
melupakan perihnya kekalahan. Semoga tidak. Tapi, kalau ternyata sikap itu
adalah bentuk “dendam politik” yang berkepanjangan, maka kita sayangkan,
sekaligus dapat kita bayangkan jika kita tidak akan ke mana-mana.
Hal lain yang saya perlu
ingatkan adalah sebagai bangsa Indonesia adalah pentingnya memperhatikan
nilai-nilai dan kearifan lokal. Protes memang adalah tanda kehidupan dan
dinamika demokrasi. Tapi, bangsa Indonesia juga diikat oleh karakter
budayanya yang santun, sopan, dan menghormati tamunya. Saya yakin kedua hal
tidak harus bertabrakan. Tapi, perlu keseimbangan yang disesuikan dengan
sikonnya.
Yang paling terpenting adalah
kita jangan sampai memilah-milah dalam mengapresiasi nilai demokrasi. Seolah
praktik demokrasi itu hanya hak sekelompok orang tertentu. Ketika orang lain
mempraktekkan haknya maka nilai yang positif itu berubah menjadi sangat
negatif.
Aksi 411 maupun aksi 212 lalu
merupakan ekspresi kebebasan dan ruh demokrasi, serta menjadi hak dalam
tatanan masyarakat demokratis. Tapi kenapa aksi itu justeru dianggap radikal
dan membahayakan demokrasi?
Di sinilah saya menjadi bingung
dengan berbagai nilai yang dibanggakan oleh dunia kita. Ternyata, nilai-nilai
itu seperti demokrasi, kebebasan, HAM, dan seterusnya hanya menjadi positif
jika menguntungkan pihak tertentu. Sebaliknya, jika nilai-nilai itu memihak kepada
kelompok tertentu tiba-tiba saja menjadi negatif dan ancaman.
Apakah memang kita sedang hidup
dalam dunia kemunafikan? Wallahu a’lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar