“Ali”
Rasa “Baba” Ekonomi Digital
Ajisatria Suleiman ; Direktur Eksekutif
Asosiasi FinTech Indonesia
|
KORAN
SINDO, 17 November 2017
Pada tahun 1950-an era Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo I, Indonesia pernah mencetuskan sistem ekonomi
“Ali-Baba”, di mana pengusaha pribumi (Ali) wajib menjadi mitra pengusaha
nonpribumi (Baba).
Sistem ini gagal karena dalam
praktik, Ali cen derung menjadi pemburu rente sementara keuntungan diambil
penuh oleh Baba. Yang terjadi ada lah kongkalikong: secara res mi saham
dimiliki Ali, namun secara riil bisnis tetap dikendalikan Baba. Pada tahun
2017, kekhawatiran yang sama muncul melihat perkembangan ekonomi digital di
Indonesia.
Banyak yang khawatir Indonesia
menggadaikan kedaulatan digitalnya kepada pengusaha asing, misalnya Alibaba
besutan Jack Ma. Penunjukan Jack Ma sebagai pe na si hat ekonomi digital
Indonesia disertai dengan penetrasi, akuisisi, dan kemitraan yang dilakukan
oleh Alibaba Group atau pun raksasa teknologi China lainnya seperti Tencent
secara agresif terhadap perusahaan-perusahaan teknologi lokal In do nesia
memunculkan kekha wa tiran dari pelaku industri lokal.
Benarkah ekonomi digital In
donesia dikuasai asing? Patut kah kita meragukan nasionalisme pengusaha lokal
yang bermitra dengan raksasa asing? Perlukah kita membatasi gerak Go-Jek yang
bermitra dengan Ten cent, Tokopedia yang bermitra dengan Alibaba, atau EMTEK
yang bermitra dengan Alipay? Pertanyaan lebih besarnya lagi: sejauh mana
negara perlu membatasi kepemilikan asing dalam ekosistem ekonomi digital yang
sedang berada dalam fase pertumbuhan ini?
Proteksionisme digital
Sejarah perkembangan teknologi
dunia tidak pernah lepas dari intervensi negara. Dalam bukunya “The
Entrepreneurial State“ (2012), Mariana Mazucatto memperlihatkan bagaimana
pemerintah Amerika Serikat melalui Kementerian Pertahanan (militer) berperan
dalam pengembangan teknologi internet, Global Positioning Satellite (GPS),
dan virtual assistants berbasis suara.
Tanpa militer AS, tidak akan
ada Google, iPhone, atau Siri. Kebijakan merkantilisme tek nologi pun
dilakukan oleh Jepang, melalui instansinya yang paling terkenal, Ministry of
International Trade and Industry (MITI) dimulai pada periode 1960-an. MITI
adalah arsitek dari berbagai kewajiban “kawin paksa” bagi seluruh perusahaan
teknologi yang berniat berinvestasi di Jepang.
Di periode tersebut, Texas
Instruments dipaksa bermitra dengan Sony, hing ga akhirnya Sony menjelma
menjadi raksasa teknologi dunia. Texas Instruments justru meredup pamornya.
Di era modern ekonomi digital,
pemerintahan Obama juga pernah mengeluarkan kebijakan subsidi USD25 miliar
bunga rendah dari Kementerian Energi-nya bagi perusahaan automotif lokal yang
hendak mengembangkan kendaraan ramah lingkungan. Tesla besutan Elon Musk pun
menikmati fasilitas ini.
Singkat kata, tidak ada yang
salah dengan keberpihakan negara dalam pengembangan teknologi. Justru, tanpa
negara, ino vasi teknologi tidak akan pernah berkembang. Namun di sisi lain,
keberpi hakan harus dijalankan secara hati-hati apabila tetap ingin menjaga
daya saing industri.
Indonesia pernah mengalami
kasus konkret terkait kebijakan teknologi yang tidak tepat sasaran, Industri
Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada 1976, IPTN dibangun dengan
memanfaatkan profit besar dari industri migas. Pada 10 Agustus 1995, dunia
dihentakkan dengan berhasilnya maiden flight pesawat N-2S0 hasil karya putra
terbaik bangsa Indo nesia. N-250 melibatkan 1.500 insinyur IPTN. Namun, biaya
untuk proyek ini membengkak.
Dalam kondisi kekurangan dana,
Presiden Soeharto mengizinkan IPTN mendapat kan hutang tanpa bunga sebesar
Rp400 miliar (atau sekitar USD200 juta pada masa tersebut) yang bersumber
dari Dana Reboisasi Kementerian Kehutanan. Skema ini mendapat pertentangan
masyarakat, apalagi saat itu Indonesia memasuki masa krisis.
Ditambah dengan lemahnya
manajemen, proyek N250 akhirnya ditunda. Beruntung saat ini IPTN (sekarang
PT. Dirgantara Indonesia) ber angsur sudah mulai pulih dan mulai meningkat
kinerjanya. Kasus IPTN membuktikan bahwa kebijakan proteksionisme tidak mudah
dan tidak murah. Apa lagi jika iklim industri belum didukung persaingan
sehat.
Pembatasan Asing
Di tengah serbuan modal asing
ke dalam ekonomi digital Indonesia, wajar ada hasrat nasionalisme tinggi
memproteksi ekonomi digital lokal. Namun demikian, pengembangan ekosis tem
domestik tidak selalu harus berupa restriksi.
Ada berbagai format dari
berbagai negara yang berhasil mengembangkan industri digital lokal tanpa
harus bersikap ekstrem membatasi modal asing. AS berfokus pada komersialisasi
hasil penelitian militer yang menghasilkan internet, GPS, dan teknologi
lainnya.
India berfokus pada pengembang
an infrastruktur biometrik dan jaringan pembayaran Unified Payments Interface
(UPI) yang dapat dimanfaatkan seluruh perusahaan dan startups. Prancis di era
Presiden Sarkozy berfokus pada kebijakan investasi strategis melalui unit
khusus Fonds Stratégique d'Investissement (FSI). Selain itu, masih banyak
contoh lain yang dapat dijadikan referensi.
Bahkan, China yang terkenal
menerapkan kebijakan proteksionisme ekstrem pun tidak anti modal asing.
Pemegang saham terbesar Alibaba Group ada lah Softbank dari Jepang dan Yahoo
dari AS. Pemegang sa ham terbesar di Tencent adalah Naspers, perusahaan
telekomunikasi dari Afrika Selatan.
Mencari Jawara Lokal
Kesimpulannya, keberpihakan
terhadap pemain lokal te tap harus didorong, namun per saingan yang sehat
tidak boleh dimatikan. Untuk melakukan ini, ada beberapa resep yang dapat
diambil.
Pertama, pemerintah harus
berpihak kepada wirausaha lokal yang terbukti berhasil, bukan kepada pemburu
rente.
Jack Ma didukung oleh
pemerintah China setelah dia sukses, bukan sebaliknya. Ingat, di awal
2000-an, Jack Ma masih di pandang sebelah mata oleh pemerintah pusat China
yang saat itu masih berorientasi ekspor manufaktur melalui BUMN-nya. Baru
setelah berhasil dan didukung oleh Hangzhou, dia kemudian didukung penuh oleh
pemerintah pusatnya.
Kedua, persaingan tidak boleh
dimatikan.
Di China ada Baidu-Ali-Tencent
(BAT); di AS ada Google-Apple-Facebook- Ama zon (GAFA), di mana masing-masing
bersaing satu sama lain. Tanpa persaingan, maka per usahaan akan dimanja
pasar, dan akhirnya akan lupa (com placent) berinovasi. Keberpihakan ekstrem
kepada satu pi hak tertentu justru akan menciptakan monopoli.
Ketiga, asing tetap dibutuhkan.
Teknologi dan investasi asing
masih diperlukan untuk mendorong ekonomi lokal. Tan pa Softbank dan Yahoo,
tidak akan ada Alibaba. Tanpa Nas pers, tidak akan ada Tencent. Namun, sangat
wajar apabila diatur kewajiban untuk mempertahankan pengendalian pada
wirausaha lokal.
Keempat, fokus pada ekosistem.
Setiap industri terdiri dari
rangkaian mata rantai (value chain) yang panjang, mulai SDM, bahan mentah,
hingga pendanaan. Negara perlu melakukan intervensi untuk mengisi mata rantai
yang tidak optimal, bukan justru membatasi ruang gerak pihak-pihak yang
berkontribusi terhadap ekosistem. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar