Ibu, Kembalilah ke Rumah
Aprilina Prastari ;
Pemerhati Komunikasi Keluarga
|
KORAN SINDO, 10 Maret
2016
Pada 8 Maret lalu kita baru saja memperingati Hari Perempuan
Internasional. Isu mengenai perempuan tentu isu yang selalu menarik untuk
dibedah.
Salah satu isu yang perlu kita dalami adalah mengenai perempuan
sebagai ibu dan juga profesional yang bekerja. Ada banyak alasan bagi seorang
ibu memutuskan untuk bekerja salah satunya ingin memberi kontribusi bagi
keuangan keluarga. Hanya, tak banyak pihak peduli dengan keberadaan ibu di
dalam sebuah perusahaan.
Berapa banyak perusahaan yang peduli dengan memberikan ruangan
khusus untuk ibu yang baru melahirkan untuk memerah ASI-nya? Berapa banyak
perusahaan yang membuat regulasi untuk tidak memaksa seorang ibu bekerja
lembur?
Bagi ibu yang bekerja di kota besar seperti Jakarta yang kerap
macet, terutama di waktu berangkat dan pulang kerja, harus meninggalkan rumah
minimal 12 jam; sembilan jam untuk di kantor dan tiga jam perjalanan, masih
sempatkah mengurus keperluan anakanak setiap hari? Dengan waktu yang tidak
banyak di rumah, seberapa besar peran ibu dalam memerhatikan kondisi
anakanaknya di rumah?
Tantangan Mendidik Anak yang Makin Berat
Pada1980-an, ketika televisi swasta belum hadir, orang tua tidak
terlalu mengkhawatirkan tayangan televisi untuk anakanak. Dapat dimaklumi,
selain programnya tidak banyak, waktu mengudara pun terbatas. Sekarang dengan
semakin banyaknya TV swasta bahkan berbayar semakin banyak pula program yang
menyumbangkan tontonan tidak mendidik bagi anak-anak.
Dalam sebuah sinetron untuk remaja, di dalam salah satu
scene-nya, menceritakan sekelompok siswi SMP yang ”menghukum” salah seorang
teman mereka dengan menguncinya di gudang sekolah. Alasannya, laki-laki yang
mereka taksir memberi perhatian kepada teman yang mereka hukum tersebut. Itu
baru dari satu sinetron dan satu media bernama televisi.
Menjelang 2000-an, ketika internet mulai aktif masuk ke dalam
kehidupan kita, satu media lagi menjadi tantangan bagi orang tua.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat memang di satu sisi memberikan
banyak kemudahan meski di sisi lain dampak negatifnya pun tidak kalah besar.
Jika saat itu internet baru dapat dinikmati secara terbatas,
melalui PC atau laptop, dan masih terbatas untuk mengirimkan e-mail, sekarang
segalanya begitu mudah. Kehadiran media sosial mengambil jatah belajar anakanak,
gawai tak hanya digunakan untuk mengirim SMS dan menelepon, tapi jua lebih
dari itu, membuka seluruh akses ke media sosial.
Tidak sedikit orang tua yang mengeluhkan anak-anaknya yang lebih
aktif bermain game ketimbang bermain di luar atau membaca buku, remaja
diculik oleh teman baru yang dikenalnya melalui Facebook, hingga tayangan
berbau pornografi yang bisa dengan mudah dilihat oleh anak.
Peran Ibu dalam Keluarga
Melihat tantangan yang semakin besar, tak dapat dimungkiri lagi,
orang tua harus mampu membangun kedekatan dengan anak-anaknya. Ayah sebagai
pemimpin yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan ibu sebagai
penyeimbang di dalam keluarga.
Pengasuhan tak lagi dapat dilakukan oleh asisten rumah tangga
(ART) atau pengasuh karena kapasitas mereka hanya pada tahap membantu urusan
pekerjaan rumah tangga, bukan pendidikan anak-anak. Begitu juga dengan
kakeknenek atau anggota keluarga lain karena pendidikan anak seharusnya
dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ketiadaan ibu di rumah dalam waktu yang
lama bukan tidak mungkin akan tergantikan oleh gawai, laptop, dan video game.
Ironisnya, sebagian orang tua justru dengan mudah memberikan
alat-alat canggih ini dengan alasan agar mereka tidak rewel dan tetap update
dengan perkembangan teknologi saat ini. Orang tua seolah tidak memiliki
bargaining position yang kuat terhadap anak sehingga memberikan alat-alat
tersebut menjadi sebuah kewajiban, bahkan bagi anak yang masih duduk di
bangku sekolah dasar.
Tanpa pemahaman yang kuat, tanpa pengawasan, buah hati kita
tercinta dengan mudahnya mengakses semua kesenangan semu dari dunia maya.
Orangtua yang merasa bahwa kehadiran video call dapat menjadi solusi berkomunikasi
jarak jauh sebaiknya memahami bahwa secanggih apa pun perangkat teknologi
tidak dapat menggantikan kehadiran orang tuanya.
Dalam ilmu komunikasi, komunikasi paling kaya adalah komunikasi
tatap muka atau secara langsung. Dengan berkomunikasi langsung, orang-orang
yang terlibat dalam komunikasi bisa saling merasakan sentuhan, pelukan,
tatapan mata, dan kehangatan dari seseorang yang diajak bicara. Pelukan
secara virtual tidak akan dapat menggantikan pelukan langsung karena saat
itulah seorang anak merasakan kasih sayang dan kehangatan dari orang tuanya.
Bekerja dari Rumah
Lalu, bagaimana jika seorang ibu masih merasa perlu memberikan
kontribusi bagi keuangan keluarga? Produktif berkarya dan mengembangkan
potensi yang ada di dalam dirinya, namun memungkinkan untuk memantau
perkembangan anak? Teknologi pada akhirnya dapat menjadi ancaman dan di satu
sisi peluang bagi mereka yang mampu memanfaatkannya.
Kemudahan berkomunikasi mengubah konsep bekerja yang sebelumnya
dilakukan di luar rumah menjadi dari dalam rumah. Sebuah kantor yang selama
ini berada jauh dari rumah, kini dapat berada tak jauh dari kamar kita.
Meskipun tak semua bidang pekerjaan dapat dilakukan dari rumah, tidak sedikit
pula yang dapat ditangani dari rumah. Dari mulai membuka usaha sendiri hingga
menjadi pekerja lepas. Bidang pekerjaannya pun bermacam-macam.
Bagi seorang ibu bekerja, bidang pekerjaan yang dapat ditekuni
di rumah dapat dilanjutkan dari yang sebelumnya ditekuni atau melakukan
sesuatu yang sesuai dengan hobinya. Di beberapa perusahaan multinasional,
bekerjadari mana saja (salah satunya rumah) untuk beberapa bidang mulai
dilakukan.
Karyawan dibebaskan untuk bekerja dari mana saja selama key performance indicator (KPI)-nya
jelas dan dapat tercapai. Bahkan, di beberapa industri seperti industri
kreatif, pekerja lepas banyak dicari. Dari sisi perusahaan, mereka tak perlu
membayar gaji secara rutin (bergantung proyek yang ditangani), THR, atau
tunjangan jabatan sehingga lebih hemat. Sebaliknya, bagi pekerja lepas,
mereka dapat mengatur waktu dan menyelesaikan pekerjaan dari mana saja sesuai
kebutuhan.
Untuk seorang ibu, bekerja dengan model seperti ini tentu dapat
dicoba. Dengan disiplin dalam manajemen waktu dan dapat menyelesaikan
pekerjaan sesuai tenggat dan berkualitas, ibu tetap dapat berkarya dan
menghasilkan dari rumah.
Terpenting, mampu menyediakan waktu lebih banyak untuk anak dan
memantau perkembangan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar