OKI dan Kemerdekaan Palestina
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 09 Maret
2016
Konferensi Luar Biasa
OKI untuk Palestina dan Yerusalem telah berakhir Senin lalu. Konferensi itu
menghasilkan sebuah Resolusi dan Deklarasi Jakarta. Resolusi berisi tentang
pandangan-pandangan dan prinsip dasar negara anggota terhadap Palestina dan
Yerusalem, sementara Deklarasi Jakarta menyangkut langkah-langkah aksi untuk
mendukung perjuangan Palestina.
Dua dokumentasi ini,
terutama mengenai pemboikotan produk-produk yang dibuat di Israel, menjadi
isu yang banyak disoroti media massa nasional dan internasional. Isu tersebut
minimal telah mampu menarik perhatian dunia yang saat ini tengah terbelah
karena konflik antara Arab Saudi-Iran, Yaman, Suriah, dan gerakan teroris
ISIS.
Pandangan yang
pesimistis dan optimistis terhadap konferensi ini akhirnya hanya bisa
menunggu sejauh mana hasil tersebut akan mendorong penyelesaian konflik yang
terjadi di tanah Palestina. Ada dua wilayah yang perlu secara sederhana kita
perhatikan ketika bicara soal penyelesaian konflik. Wilayah eksternal dan
internal. Wilayah eksternal adalah dinamika kekuatan politik di kawasan di
Timur Tengah, sementara wilayah internal adalah hubungan antara organisasi
Fatah dan Hamas yang membelah otoritas Palestina di Jalur Gaza dan Tepi
Barat.
Pengelolaan isu di
wilayah eksternal tidaklah ringan. Dalam konteks ekonomi, negaranegara Timur
Tengah yang sumber pendapatannya hampir 50% berasal dari penjualan minyak
bumi sedang mengalami krisis. Beberapa negara yang selama ini cukup
diandalkan untuk membantu krisis pengungsi atau hal-hal yang berkaitan dengan
Palestina, seperti Qatar atau Uni Emirat Arab, mulai memikirkan ulang
bantuan-bantuan yang selama ini secara tradisional disalurkan ke Palestina.
Dalam konteks politik,
situasinya lebih rumit karena beberapa negara masih saling menunjukkan rasa
ketidakpercayaan dan bahkan saling mendiskreditkan satu sama lain. Hal ini
juga berdampak kepada kredibilitas OKI di antara negara-negara berpenduduk
Islam. Konflik yang berporos antara Arab Saudi dan Iran merembet dan membelah
OKI menjadi negara-negara yang mendukung Arab Saudi lewat koalisinya, dan
mereka yang tetap netral seperti Indonesia.
Semua dunia tahu bahwa
kawasan regional yang lebih kompak dan solid adalah syarat bagi terbebasnya
masyarakat Palestina dari penjajahan. Syarat ini mutlak karena secara
geografis, ekonomi, dan sosial, Palestina tidak akan dapat hidup tanpa kerja
sama yang baik dengan negara-negara Timur Tengah. Dalamduniayangpragmatis
ini, mewujudkan kekompakan di antara negara-negara Islam yang saat ini tengah
berseteru bukanlah sesuatu mustahil dan sebetulnya bisa saja terjadi.
Masalahnya, tinggal siapa yang memelopori dan menawarkan jalan keluarnya.
Kita bisa melihat ke
belakang beberapa jalan keluar atau kesepakatan terhadap satu hal bisa
diwujudkan, walaupun di hal lain mereka tetap saling bertolak belakang. Dalam
konteks ini, Indonesia diharapkan memainkan peranannya. Permintaan Presiden
Palestina Mahmoud Abbas untuk mengadakan Konferensi Luar Biasa kepada
Indonesia bisa jadi menjadi simbol dari rasa frustrasi Palestina terhadap
faksi-faksi yang terjadi di dalam OKI.
Abbas, dan mungkin
juga beberapa pemimpin negara yang memilih netral, mungkin juga tidak mau
terjebak dalam polarisasi yang terjadi di dalam OKI. Sementara situasi di
Palestina, juga semakin hari semakin memburuk. Meski demikian, sebera pun
kompaknya kawasan Timur Tengah dalam menghadapi situasi di Palestina,
rekonsiliasi Fatah-Hamas adalah syarat yang mutlak. Inilah pentingnya
pengelolaan wilayah internal.
Sejauh yang
disampaikan media massa internasional, walaupun belum ada kesepakatan baru,
Fatah-Hamas terus melakukan perundingan-perundingan tentang bentuk
pemerintahan Palestina yang praktis bagi kedua organisasi. Dalam kesepakatan
antara Fatah-Hamas beberapa tahun lalu, sebetulnya telah disepakati hal-hal
pokok yang bersifat teknis, seperti pembentukan KPU, diselenggarakannya
pemilihanumum, danpengaturan pegawai negeri sipil.
Masalah yang masih
sulit disepakati lebih banyak terkait dengan prinsip-prinsip dan ideologis,
misalnya tentang Yerusalem. Hamas menginginkan Yerusalem seluruhnya sebagai
ibu kotaPalestina, sementaraFatah hanya menegaskan Yerusalem Timur. Hamas
tidak mengakui Israel sebagai negara, sementara Fatah mengakuinya sebagai
langkah strategi diplomasi. Perbedaan-perbedaan ini yang masih membebani
perundingan atau rekonsiliasi Fatah- Hamas.
Meski demikian,
rekonsiliasi Fatah-Hamas dan kekompakan negara-negara di kawasan dapat
berjalan paralel dan beriringan karena kedua wilayah itu saling memengaruhi.
Oleh sebab itu, pendekatan penyelesaian Palestina tidak hanya perlu bergerak
di satu sisi, tetapi juga di sisi lain. Tepat apabila Indonesia mengundang
negaranegara kuartet dan para anggota tetap Dewan Keamanan PBB hadir dalam
konferensi agar mereka dapat melihat dan mendengar secara langsung sikap dari
negara anggota OKI.
Di sisi lain, Indonesia
memastikan deklarasi berjalan juga menjadi sebuah proses yang tidak bisa
dipisahkan. Pemerintah Indonesia perlu mengalokasikan waktu dan biaya yang
lebih besar lagi agar perangkat birokrasi Kementerian Luar Negeri bisa
memantau dan memonitor sejauh mana deklarasi itu berjalan atau terhambat.
Dukungan politik dari
lembaga legislatif juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan agar
Kementerian Luar Negeri dapat bergerak secara maksimal dalam membantu
mendekatkan impian kemerdekaan Palestina sebagai kenyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar