Kzl
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 20 Maret
2016
Kzl itu singkatan dari
kata kesal. Di kalangan pergaulan saya sekarang, mereka menuliskan dengan
singkatan kzl atau dengan tagar kzl atau menulisnya kezel. Nah, hari Minggu
yang lalu saya menerima curahan kekesalan teman lama di masa sekolah dasar
dulu, kalau gol pekerjaan dan hidupnya susah sekali tercapai.
Gol
Saya pernah membaca,
kalau tidak salah, entah itu di mana, bahwa ada pernyataan yang mengatakan
begini. Kalau mengatur gol itu jangan kerendahan karena nanti kita akan
merasa puas, padahal kemampuan kita lebih dari itu. Bahkan kita jadi tidak
tahu kalau memiliki kemampuan yang lebih.
Tetapi di sisi lain,
katanya, kita juga sangat tidak benar memasang gol terlalu tinggi. Nanti
kalau ketinggian, kita menjadi frustrasi dan kalau sudah begitu susah untuk
meraih apa yang sudah dicita-citakan. Dan akan melahirkan perasaan bahwa saya
ini kok tidak pandai dan tidak berhasil seperti teman-teman saya.
Maka, datangnya pesan
berupa kekezelan teman lama itu seperti flashback mengingat berjuta kekezelan
saya atas gol yang tidak tercapai di masa lalu. Tetapi hari ini saya mau
membagi cerita mengapa beberapa keinginan yang saya ingin capai sekarang
benar-benar dapat tercapai.
Pertama, saya terlalu
percaya dengan ucapan yang pernah saya baca itu. Mengatur gol yang rendah itu
ternyata buat saya malah mendatangkan rasa percaya diri. Artinya, saya bisa
mencapai gol yang rendah itu, kemudian keberhasilan pencapaian itu membakar
semangat untuk menaikkan target keinginan.
Keberhasilan itu
melahirkan juga percaya diri, dan menjadi ketagihan untuk menaikkan tingkat
pencapaian. Yaa... kalau dimisalkan, ketagihan itu mirip-mirip sifat kemaruk
dalam diri saya. Bisa lari di Gelora Bung Karno empat kali, terus nambah jadi
lima kali. Terus merasa hebat bisa lima kali.
Baru bisa membeli
sepasang sepatu bermerek, kemudian ketagihan untuk menambah dua pasang lagi.
Sudah punya satu apartemen, terus nambah satu lagi dengan sejuta alasan. Untuk
investasilah, untuk itulah, untuk inilah. Jadi kadang kemaruk itu
menyemangati saya untuk menabung dan mewujudkan impian dan menyadarkan saya
bahwa kemampuan saya ternyata bisa lebih dari sekadar lari empat kali.
Cinta
Kedua. Saya ini
orangnya iri hatinya tinggi. Saya sudah menceritakan itu kepada Anda
berkali-kali selama belasan tahun melalui kolom ini. Apalagi sekarang ini
begitu banyak media memasang profil-profil muda bahkan di bawah usia 25 tahun
sudah memiliki omzet ratusan juta per bulan.
Artikel-artikel itu
memicu rasa iri hati saya seperti roket. Yang tidak saya sadari selama ini
adalah perasaan iri hati itu jahatnya setengah mati karena ia mampu
membutakan pengertian. Selama ini perkataan basi macam "kalau mereka
bisa, saya juga bisa" saya eksekusi mentah-mentah. Ternyata eksekusi itu
seperti tali yang dipakai untuk gantung diri.
Ucapan "mereka
bisa, maka saya juga bisa" itu seyogianya saya maknai sebagai sama-sama
sukses, dan bukan memaknai kalau mereka bisa naik gunung, saya juga bisa naik
gunung yang sama. Bertahun lamanya saya seperti itu.
Saya menantangi diri
saya dengan kemampuan yang tidak ada pada diri saya. Seyogianya saya bisa
mengerti kalimat "sana bisa, sini juga bisa" itu adalah sama-sama
bisa menuju puncaknya, bukan sama-sama naik gunungnya. Biarkan mereka
berhasil naik ke puncak gunung, saya berhasil menaiki puncak sebagai penyanyi
atau ahli matematika.
Ketiga. Saya berhenti
memasang target pencapaian dan gol atau apa pun istilahnya itu, dan mulai
belajar mencintai diri sendiri. Orang yang tidak mencintai diri sendiri itu
seperti saya. Bertahun gagal itu karena menyiksa diri ingin naik gunung,
padahal kaki gemeteran karena tidak kuat. Tidak mencintai itu adalah
melakukan hal tidak sehat, padahal sejak awal tahu kalau itu tidak sehat.
Jadi saya belajar
untuk mencintai diri setelah sekian belas tahun jatuh pada kebodohan. Saya
mengurangi dengan sangat rasa iri hati. Karena dulu saya berpikir, iri itu
ada baiknya bisa memberi semangat untuk maju. Ternyata sama sekali tidak
benar. Iri itu negatif. Negatif itu yaaa. menurut saya tak dapat berdampak
positif.
Berikutnya, saya
melihat apa kemampuan yang dianugerahi Yang Kuasa untuk saya. Melihat apa
yang saya sukai untuk dikerjakan. Kemudian menerima dengan lapang dada kalau
IQ saya jongkok. Maka, bermodalkan semua itu, saya menjalani hidup dengan
cinta.
Ada teman saya
berkomentar begini. "Orang kok nggak punya gol. Hidup elo jadi nggak
jelas gitu dong. Ke sana kemari." Nah, hebatnya yang namanya cinta, ia
memiliki radar untuk mendorong seseorang melakukan eksekusi yang tepat
sehingga mencegah memiliki hidup yang ngalor ngidul. Dan, radar yang satu ini
hanya bisa dirasakan melalui nurani.
Setelah saya menjalani
tiga langkah itu, saya melihat kalau gol itu mengganggu kerjanya radar dan
mengurangi kepekaan nurani. Gol itu mendatangkan tekanan, mendatangkan
kepanikan. Menjalani hidup dan pekerjaan dengan cinta menuntun kepada
keinginan tanpa kzl.
Maka, tak jarang saya
mendengar bahwa seseorang memiliki usaha di lima kota, padahal itu tak pernah
ada dalam agenda kerjanya sejak awal. Itu bukti cinta itu menuntun dan bukan
memorakporandakan masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar