Koperasi Pertanian Multipihak
Suroto ; Ketua
Umum Akses; Ketua Umum Koperasi Trisakti
|
KOMPAS, 19 Maret
2016
Setiap musim panen
tiba, harga hasil pertanian pangan—baik padi maupun palawija—selalu jatuh.
Akibatnya, petani kehilangan motivasi untuk bertani. Tak jarang harga jatuh
seperti pada cabai dan tomat. Bukan hanya di bawah harga pokok produksi,
ongkos panen pun bisa lebih mahal daripada harga jual. Secara politis
pemerintah mungkin diuntungkan karena bisa meredam isu lain, terutama sosial
politik, tetapi alangkah memprihatinkannya karena petani kecil yang menjadi
korban.
Jatuhnya harga
menandakan lemahnya kelembagaan petani. Para petani yang hanya bergerak di
sektor produksi tunduk pada kekuatan para pemilik modal besar, sebut saja
jaringan mafia pangan, yang biasanya bergerak di sektor seperti pembelian,
perkreditan, pengolahan, pengepakan, dan pemasaran.
Para petani kecil dari
sejak musim paceklik sudah dijerat oleh pengijon dan tengkulak. Saat panen
tiba, mereka tidak lagi dapat menikmati panenannya.Apabila gagal panen,
mereka juga tidak ditopang asuransi. Alhasil, mereka makin dalam terjerat
utang dari para pengijon.
Rantai tata niaga yang
panjang dari tingkat tengkulak hingga pedagang eceran di pasar kian
memperparah nasib petani karena harus rela dibayar jauh di bawah harga di
konsumen akhir.Sementara itu, kebijakan pemerintah yang masuk model paket
input, seperti kebijakan subsidi harga pupuk, bantuan peralatan pertanian,
dan akses kredit, semuanya justru menciptakan moral hazard. Subsidi pupuk
bukan menguntungkan petani, melainkan justru jatuh ke tangan pedagang.
Sementara akses kredit yang sudah terhubung baru rentenir/pengijon.
Subsidi pupuk, dalam
setiap musim tanam, jadi bahan permainan para pedagang. Disparitas harga
dibandingkan dengan pupuk nonsubsidi justru menyebabkan kelangkaan dan
akhirnya petani terpaksa membeli dengan harga yang sama dengan pupuk
nonsubsidi, bahkan lebih tinggi.Pasar bebas ternyata menjadi sasaran empuk
mafia pupuk.Pengawasan oleh polisi semakin membuat ruwet jalur distribusi.
Sementara itu, akses
kredit, seperti kredit usaha rakyat (KUR), malah sama sekali tidak menyentuh
mereka karena bank penyalurnya lebih suka mendanai sektor perdagangan. Kebijakan
KUR yang harusnya dapat menjadi alternatif pembiayaan tidak diikuti sistem
kuota sektor.Pernah menjadi wacana, tetapi langsung diprotes para bankir.
Peran KUD
Dulu, kita pernah
punya kelembagaan petani di awal 1970- an,namanya badan usaha unit desa
(BUUD). Tujuannya untuk mendorong sektor pertanian di desa, terutama dalam
rangka mencapai target swasembada pangan, dengan mengintegrasikan
koperasi-koperasi pertanian yang sudah ada sebelumnya.
Fungsi BUUD untuk
menyalurkan sarana produksi pertanian dan pemasaran serta pengolahan hasil
pertanian yang sebelumnya diusahakan pihak swasta dan Perusahaan Negara (PN)
Pertani.Melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1973, BUUD ini diganti
dengan istilah KUD dan didudukkan sebagai koperasi pertanian yang
multifungsi. Melalui Inpres No 4/1984, KUD memperoleh kedudukan tunggal di
desa sebagai koperasi desa.
Proyek tersebut secara
pragmatis memang berhasil mencapai target program nasional swasembada pangan
pada 1983-1984. Namun, karena konsepnya serba top-down dan lupa membangun kelembagaan koperasi dengan benar,
akhirnya pamor KUD turun sejak reformasi dengan dicabutnya Inpres No 4/1984
dan dikeluarkanyaInpres No 18/1998.
KUD yang menjadi
primadona pada masa Orde Baru telah gagal secara kelembagaan. Penyebab utamanya,
aspek otonomi organisasi dan kemandiriannya kurang diperhatikan dengan benar.
Kepengurusan KUD yang
kurang demokratis juga menjadi sumber masalah tersendiri. Kesannya, para
petani justru menjadi korban KUD, bukannya tertolong oleh keberadaannya.
Orang sering melafalkan KUD sebagai Ketua Untung Duluan. Jadilah kuasi
koperasi yang turut merusak citra koperasi.
Upaya revitalisasi
kelembagaan KUD yang sering diprogramkan pemerintah belum masuk ke dalam
substansi persoalan, masih sebatas formalitas ”proyek”. Revitalisasi sama
sekali tidak menyentuh persoalan mendasar agar KUD dapat bekerja efektif. Bahkan,
kalaupun direvitalisasi,dengan tanpa mengabaikan beberapa KUD yang mampu
mereformasi dirinya sendiri, peran KUD ini tetap saja kehilangan makna karena
hanya menghidupkan puing-puing organisasi yang gagal di masa lalu.
Koperasi multipihak
KUD adalah masa lalu,
produk gagal yang mesti diganti dengan inovasi baru untuk memperkuat
kelembagaan petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Kita harus berani
membangun sesuatu yang baru untuk memperkuat organisasi petani melalui konsep
koperasi pertanian basis multipihak. Koperasi ini melibatkan berbagai pihak,
baik produsen, pekerja, konsumen, maupun investor, menghubungkan kepentingan
seluruh pendukung kedaulatan pangan dalam satu organisasi. Koperasi
diharapkan dapat mengintegrasikan seluruh bisnis pertanian baik di sektor on farm maupun off farm.
Agar tak mengulangi
kesalahan masa lalu, kita mesti memberdayakan koperasi pertanian multipihak
ini dalam kerangka pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat yang mengedepankan
partisipasi dan prakarsa masyarakat. Mereka tidak boleh hanya menjadi obyek
program, tetapi juga harus diperkuat kapasitasnya untuk turut mengawasi
berjalannya usaha dari koperasi.
Program pendidikan dan
pelatihan serta penyuluhan mesti jadi landasan kekuatan koperasi pertanian
multipihak. Program pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan tidak hanya
menyangkut teknikal manajemen, tetapi juga aspek substansial nilai-nilai dan
prinsip yang jadi landasan operasional koperasi.
Secara operasional,
manfaat ekonomi koperasi harus dihitung dan didistribusikan secara jelas
sesuai dengan besaran partisipasi setiap pihak. Hal ini penting untuk menjaga
prinsip resiprokatif koperasi. Model bisnis koperasi mesti menggunakan asas
subsidiaritas.
Peran pemerintah pada
masa lalu koperasi mesti dihilangkan. Struktur organisasi koperasi pertanian
yang baru tidak boleh mengandung beban ”politik” dan mampu merepresentasikan
kepentingan multipihak. Peranan pemerintah hanya sebagai katalisator dan
fasilitator agar proses persenyawaan bisnis terjadi.
Dalam konsep teknis
operasional bisnisnya, pendekatan pengembangan koperasi bisa meng- gunakan
skema penyertaan modal pemerintah (PMN/D), tetapi tidak dominan. Semangatnya
juga tetap keswadayaan dan fungsinya mengakselerasi bisnis di
masyarakat.Subsidi pupuk Rp 35 triliun pada 2016 akan lebih baik kalau
dijadikan stimulan modal kerja koperasi multipihak ini dalam skema PMN.
Demikian juga dengan subsidi yang diberikan kepada bank melalui program KUR,
lebih baik dijadikan modal awal untuk membangun bank milik petani yang
dimiliki secara kolektif oleh koperasi-koperasi.
Konsep baru koperasi
pertanian multipihak ini, ke depan, juga dapat dikembangkan ke dalam basis
bisnis yang lebih luas. Seperti perkulakan/pasar kebutuhan sehari-hari,
simpan pinjam, perasuransian, dan pemasaran produk bersama.
Koperasi ini juga
dapat beroperasi menyalurkan saprotan (sarana produksi pertanian) di
tiap-tiap desa. Melalui koperasi pertanian multipihak, jalur distribusi
kepemilikan dan pengawasannya dapat dilakukan anggota secara dinamis.
Akhirnya, koperasi
sebagai bagian dari gerakan ekonomi rakyat yang masifdapat menjadi basis
ketahanan ekonomi rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar