Tes Masuk PTN dan Utopia Pendidikan
Ardhie Raditya ; Mengajar Pendidikan Kritis di Sosiologi
Unesa;
Sedang studi doktoral di KBM UGM
Yogyakarta
|
JAWA POS, 17 Maret
2016
"SELEKSI Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNM PTN) Bukan Yang Paling Ideal". Begitulah judul tulisan M.
Hadi Shubhan di halaman opini Jawa Pos (14/3/2016). Isinya tanggapan atas
tulisan Dinda Lisna Amilia di halaman yang sama (Jawa Pos, 11/3/2016). Tapi,
tulisan Shubhan pun tak luput dari cacat bernalar. Tulisan ini mencoba
menanggapi nalar tulisan Saudara Shubhan.
Sebagai birokrat kampus, di bagian
kemahasiswaan pula, Shubhan tentu sudah banyak makan garam menangani
manajemen penerimaan mahasiswa di berbagai jalur. Tapi, penjelasannya
mengandung bias epistemik. Bahkan bias kelas sosial.
Menurut Shubhan, SNM PTN perlu dikaji ulang
karena hanya berdasar penilaian portofolio. Dia meyakini sering adanya
sulap-menyulap berkas administrasi dari pihak sekolah. Karena itu, metode
yang objektif menjaring ujian masuknya haruslah melalui tes tulis. Dan tes
ini lebih dominan di SBM PTN dan jalur mandiri.
Tapi, benarkah tes tulis di dua jalur itu
objektif?
Sejak dulu ilmu pengetahuan di Indonesia
terasa timpang karena memuja nalar positivistik. Dalam logika positivistik,
menjaga jarak antara penilai dan yang dinilai suatu kemutlakan. Karena itu,
Henry Giroux (2006), pakar pendidikan kritis di Amerika, dengan sangat keras
mengkritik nalar edukasi seperti itu. Sebab, pengetahuan dan pengalaman hidup
peserta didik tak ubahnya batangan angka statistik. Sehingga posisi mereka
hanyalah objek kepentingan birokrasi yang bekerja seperti tangan besi.
Artinya, memprioritaskan tes objektif seperti
itu memaksa para peserta didiknya mengikuti logika ilmu eksakta. Sebuah ilmu
pasti yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal, tidak semua peserta tes
memiliki minat dalam ilmu eksakta.
Bahkan, kampus yang didominasi ilmu
sosial-humaniora, misalnya UIN, UNS, UNY, UNJ, dan Unesa, pun tetap tinggi
peminat. PTN ternama seperti UI, UGM, dan Unair juga memiliki fakultas
noneksakta. Misalnya fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, fakultas hukum,
fakultas psikologi, dan fakultas ilmu budaya.
Karena itulah, tes kualitatif, psikologis, dan
praktik dianggap lebih mumpuni daripada tes objektif. Bagaimana mungkin para
calon mahasiswa sosial-humaniora dituntut mengerjakan rumus matematika,
sedangkan saat diterima di jurusannya kelak lebih banyak belajar kajian
sosial dan budaya? Ini namanya utopia pendidikan.
Dari sisi pembiayaan, peserta yang lolos
melalui SNM PTN terbilang lebih terjangkau apabila dibandingkan dengan jalur
SBM PTN (seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri) dan mandiri. Tak
heran, banyak orang tua siswa yang berharap anaknya diterima melalui jalur
SNM PTN.
Ini bukan soal financial cost, melainkan
social cost. Tak terlalu memforsir tenaga, waktu, jiwa, dan biaya. Apalagi,
biaya formulir pendaftaran SNM PTN tidak dibebankan kepada peserta alias
gratis.
Secara fleksibilitas, SBM PTN memang lebih
layak dipertimbangkan. Sebab, tiap peserta bisa memilih PTN lintas wilayah.
Tetapi, beban biaya formulirnya dibebankan kepada peserta. Dan tesnya
dilakukan serentak dengan standar soal dari pihak pusat.
Selain itu, hasil tesnya pun dinilai
menggunakan komputer. Jika ada kesalahan mengarsir jawaban atau terjadi
masalah lembar jawaban, pupus sudah peluang peserta diterima di PTN yang
dipilih.
Pada sisi pembiayaan formulir saja sudah beda.
Antara SNM PTN dan SBM PTN. Apalagi pada jalur mandiri yang istilah banyak
orang dianggap "swastanya" PTN. Jadi, tak salah kiranya jika Dinda
menganggap pengurangan kuota SNM PTN terindikasi kepentingan ekonomi politik.
Tapi, Dinda dan Shubhan mungkin lupa. Di
negeri ini PTN telah dipetak-petak berdasar status badan hukum milik negara
(BHMN). UI, Unair, UGM, ITB, dan beberapa PTN bonafide lainnya adalah PTN
berstatus BHMN. Tetapi, status tersebut batal demi hukum melalui putusan
Mahkamah Konstitusi. Kini PTN-PTN itu punya status baru bernama PTN BH (PTN
ber¬badan hukum).
Artinya, selain mendapat bantuan operasional
dari negara, mereka berhak memperoleh dana dari masyarakat. Maka, jangan
heran jika ada perbedaan besaran UKT (uang kuliah tunggal) antara PTN BH dan
non-PTN BH.
Kalau benar adanya, mencerdaskan kehidupan
bangsa akan selalu bias kelas. Intinya, akar persoalan tes masuk PTN itu
berakhir pada logika yang sama: "UUD" (ujung-ujungnya duit). Benar
tidak? Tanyakan kepada hatimu, kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar