Menambal Defisit JKN
Taufik Hidayat ; Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional; Dosen MM UI
|
KOMPAS, 19 Maret
2016
Dalam penyelenggaraan
sistem Jaminan Kesehatan Nasional, defisit dan kesinambungan (sustainability) merupakan dua isu
strategis yang harus memperoleh porsi perhatian ekstra. Terjadinya defisit
dalam jumlah yang besar dan berlangsung secara terus-menerus akan mengancam
kesinambungan penyelenggaraan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kondisi ini perlu dihindari dan terjadinya defisit dalam dua tahun masa
penyelenggaraan program JKN harus segera dicarikan strategi yang tepat untuk
menyelesaikannya mengingat sangat luasnya cakupan kepesertaan dan sangat
besarnya dana yang diperlukan untuk membiayai penyelenggaraan sistem JKN.
Dalam telaahannya,
Hasbullah Thabrany secara komprehensif telah melakukan analisis terhadap
permasalahan defisit JKN dari sisi iuran (Kompas, 2/3/2016). Namun, terdapat
dua variabel strategis lainnya yang juga perlu dicermati secara komprehensif,
yaitu struktur dan skema kepesertaan dalam program JKN.
Tanpa mencermati
kontribusi kedua variabel penting tersebut dalam perhitungan terjadinya
defisit JKN, dapat dipastikan bahwa dengan hanya sekadar menaikkan besaran
iuran belum cukup berarti untuk menambal atau mencegah terjadinya defisit dan
dalam jangka panjang daya dukung pendanaan program JKN akan menjadi sangat
lemah serta dikhawatirkan akan mengancam kesinambungan dari sistem JKN itu
sendiri.
Struktur dan skema kepesertaan
Secara kategori
kepesertaan program JKN dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu peserta
penerima upah (PPU), peserta bukan penerima upah (PBPU), dan penerima bantuan
iuran (PBI). Kelompok PPU hingga saat ini masih didominasi oleh bekas peserta
program Askes, yang terdiri dari para PNS beserta para pensiunan dan
keluarganya ditambah dengan anggota TNI/Polri beserta para pensiunan dan
keluarganya sebagai hasil pengalihan kepesertaan dari PT Asabri.
Kepesertaan kelompok
PPU, khususnya yang berasal dari perusahaan-perusahaan besar, sampai saat ini
perkembangannya belum sesuai dengan target sebagaimana yang diharapkan.
Padahal, potensi kemampuan membayar dari kelompok ini sangat besar dan dapat
menjadi salah satu tulang punggung pembiayaan program JKN.
Karakteristik lain
yang dimiliki kelompok peserta ini adalah status kesehatannya yang secara
umum baik sehingga secara agregat tidak ”merongrong” program JKN untuk
membiayai beban klaim yang sangat besar dibandingkan besaran premi yang
dibayarkan. Hal ini dapat terefleksi dari indikator claim ratio kelompok
peserta ini yang relatif tidak tinggi sehingga dapat menopang berlakunya
prinsip gotong royong sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Perkembangan dan
kondisi yang sebaliknya terjadi pada kelompok PBPU. Realisasi jumlah
kepesertaan kelompok PBPU jauh melampaui target yang telah disasarkan.
Terdapat dua permasalahan serius yang berasal dari kelompok PBPU.
Permasalahan yang
pertama dan menjadi ciri khas peserta kelompok PBPU adalah adanya
kecenderungan bahwa peserta hanya akan mendaftar menjadi peserta JKN pada
saat merasa sakit dan sudah saatnya memerlukan manfaat program BPJS
Kesehatan, baik untuk keperluan rawat inap, melahirkan, hemodialysis (cuci darah) atau lainnya, sehingga kondisi ini
tergolong sebagai adverse selection
dalam perekrutan peserta program JKN dari kelompok PBPU.
Pemberlakuan masa
tunggu atau masa aktivasi kartu (waiting
period) selama satu bulan sangat tidak mencukupi untuk membantu
terjadinya defisit dalam pendanaan program JKN. Dengan kondisi seperti ini,
setiap peserta yang baru mengiur selama satu bulan telah berhak atas manfaat
pelayanan kesehatan yang relatif sangat generous
(tanpa batas). Masa iur peserta (duration)
untuk memperoleh manfaat pelayanan kesehatan tergolong sangat rendah.
Permasalahan yang
kedua adalah adanya kecenderungan bagi peserta kelompok PBPU yang tidak lagi
membayar iuran sebagai peserta atau bahkan berhenti menjadi peserta setelah
menikmati jasa pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan
terindikasi bahwa tunggakan iuran yang belum berhasil ditagih BPJS Kesehatan
jumlahnya sangat besar. Permasalahan ini masih diperkuat dengan adanya masa
toleransi atau grace period selama enam bulan bagi PBPU yang sudah tidak lagi
menjadi peserta sehingga beban klaim masih jalan terus walaupun peserta sudah
tidak lagi membayar iuran.
Permasalahan yang
diakibatkan oleh kedua faktor tersebut terefleksi dengan sangat jelas dari
indikator claim ratio yang mencapai 617,4persen pada 2014 dan masih sangat
tinggi persentasenya pada 2015. Hal ini menjelaskan bahwa besaran klaim yang
dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk membayar manfaat layanan kesehatan kepada
peserta adalah sampai lebih dari enam kali besaran premi yang telah diterima.
Rendahnya duration atau masa iur peserta juga tidak memungkinkan bagi BPJS
Kesehatan untuk melakukan pengembangan dana secara optimal.
Selama ini kehadiran
negara dan peran pemerintah dalam penyelenggaraan sistem JKN sering
dipertanyakan. Namun, dalam kenyataannya pemerintah telah memberikan topangan
yang sangat besar dalam penyelenggaraan program JKN melalui pemberian dan
pembayaran iuran bagi kelompok penduduk yang tergolong tak mampu (baca:
miskin). Pada 2014 dan 2015 jumlah penduduk yang diberikan bantuan iuran dan
menjadi kelompok peserta PBI masing-masing sebanyak 86.400.000 orang dan
87.828.613 orang dengan nilai besaran iuran masing-masing sebesar Rp 19,93
triliundan Rp 19,88 triliun. Selain itu, pemerintah juga telah memberikan
dana kepada BPJS Kesehatan untuk menutup terjadinya defisit tersebut.
Walaupun sudah banyak
penduduk kurang mampu yang telah merasakan manfaat layanan kesehatan, tetapi
terdapat suatu fenomena menarik, yaitu adanya claim ratio yang tergolong
rendah pada kelompok peserta PBI. Berdasarkan indikator ini tentunya bukan
berarti bahwa tingkat kesehatan penduduk kurang mampu lebih baik dibandingkan
kelompok PBPU.
Karena itu, perlu
dilakukan evaluasi untuk mengetahui penyebab dari kondisi ini, yaitu apakah
perhitungan data PBI sudah akurat dan mutakhir serta bagaimana pemahaman
penduduk kurang mampu terhadap haknya dalam sistem JKN. Permasalahan defisit
bisa jadi akan menjadi jauh lebih besar lagi pada saat setiap penduduk kurang
mampu telah menyadari bahwa iurannya dalam program JKN telah dijamin
pemerintah sehingga mempunyai hak yang sama dalam program JKN.
Alternatif solusi
Berdasarkan paparan di
atas, langkah strategis pertama dan paling utama untuk mengatasi semakin
besarnya defisit dalam pendanaan program JKN adalah dengan melakukan
perluasan kepesertaan kelompok PPU dari berbagai badan usaha besar, baik BUMN
maupun swasta. Dengan semakin besarnya jumlah peserta PPU yang berasal dari
badan-badan usaha, akan semakin memperkuat basis pembayar iuran JKN dalam
jangka panjang.
Dengan kondisi
kesehatannya yang pada umumnya relatifbaik bisa menyebabkan duration masa iur yang semakin panjang
sehingga dana hasil akumulasi iurannya dapat dikembangkan terlebih dahulu.
Dengan semakin banyaknya peserta yang sehat, maka akan dapat menopang
berlangsungnya prinsip gotong royong dalam sistem pembiayaan program JKN.
Alternatif lain untuk
mengatasi terjadinya defisit dalam program JKN adalah dengan melakukan
edukasi secara masif kepada para peserta PBPU agar mengikuti dan membayar
iuran tidak hanya pada saat membutuhkan jasa pelayanan kesehatan saja
melainkan pada masa sehatnya. Hal ini dapat dilakukan sekaligus dengan
melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap waiting period maupun grace period nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar