Dilema Transportasi Online
Sukemi ; Dosen Luar Biasa
Mata Kuliah Perencanaan Strategis
Sistem Informasi Univeritas Surabaya
|
KORAN SINDO, 16 Maret
2016
Untuk kali kedua
protes besar-besaran terjadi dan menjadi perhatian publik atas transaksi
online di bidang transportasi. Pertama, pada Desember 2015, protes dilakukan
para pengemudi Go-Jek dan Grab Bike.
Ketika itu Menteri
Perhubungan (Menhub) Ignatius Jonan menerbitkan aturan yang melarang Go-Jek,
Grab Bike, dan angkutan berbasis aplikasi lain beroperasi. Tapi tak sampai 24
jam, larangan itu langsung dianulir Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebetulnya
larangan itu bukan tanpa dasar. Memang ada peraturan perundangan yang
membatasi kendaraan pribadi tidak boleh dijadikan transportasi umum.
Tapi kemudian Presiden
Jokowi memerintahkan agar aturan itu dicabut mengingat kebutuhan masyarakat
yang tinggi. Kedua, terjadi pada Senin (14/3) kemarin ketika Pa-guyuban
Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) berdemonstrasi mempermasalahkan legalitas
taksi berbasis aplikasi, yaitu Uber dan GrabCar. Para pendemo membubarkan
diri ketika ada rencana pemerintah memblokir aplikasi yang digunakan taksi
berpelat hitam itu.
Para pendemo
mengungkapkan, beroperasinya taksi berbasis aplikasi telah berimbas pada
pendapatan taksi nonaplikasi. Terdapat 170.000 sopir angkutan umum di
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang terimbas
taksi online . Menanggapi dua protes itu, sikap pemerintah berbeda dan sangat
bertolak belakang.
Padahal sesungguhnya
persoalannya sama, seputar penggunaan aplikasi teknologi informasi dan
komunikasi(TIK) untuklayanan pemesanan jasa angkutan. Yang pertama digunakan
oleh kendaraan roda dua (Go- Jek dan Grab Bike), keputusannya menganulir
larangan beroperasinya Go-Jek dan Grab Bike.
Adapun yang kedua
penggunaan aplikasi online untuk roda empat (Uber dan GrabCar ) yang
dilayangkan oleh Menhub Ignatius Jonan kepada Menteri Komunikasi dan
Informatika (Menkominfo) Rudiantara. Dalam suratnya Menhub menyampaikan
permintaan agar aplikasi Uber dan Grab Car dilarang dan pemerintah berencana
memblokir aplikasi Uber dan GrabCar.
Logika umum yang
berkembang, mestinya pemerintah bersikap sama karena baik itu Go-Jek dan Grab
Bike maupun Uber dan GrabCar menggunakan aplikasi berbasis online. Karenanya
terlihat sekali ada kerancuan cara berpikir dalam dua sikap ini, padahal
persoalannya sama dan sebangun. Tulisan berikut tentu tidak hendak
mempertanyakan sikap pemerintah yang berbeda itu, tetapi lebih pada mengajak
berpikir terhadap masa depan penggunaan berbagai aplikasi berbasis online
atau transaksi online.
Hal itu menjadi sangat
penting karena sebuah keniscayaan bahwa masa depan adalah era di mana
berbagai aplikasi dari penggunaan TIK dalam bentuk transaksi online atau
elektronik tidak terhindarkan dan berkembang memenuhi keinginan masyarakat.
Jangan sampai ke depan terjadi protes serupa dari para pemilik gerai di
berbagai pusat perbelanjaan terhadap sepinya pembeli yang datang ke gerai
sehingga menyebabkan omzet mereka turun.
Fakta di Lapangan
Sesungguhnya kehadiran
aplikasi di bidang transportasi itu, baik aplikasi roda dua maupun roda
empat, tidak hanya telah memberikan banyak pilihan bagi masyarakat pengguna
(konsumen). Tapi hal itu juga memberikan keuntungan dari sisi ekonomi
mengingat fakta di lapangan layanan mereka jauh lebih murah bila dibandingkan
dengan jasa antartransportasi lain yang lebih dulu ada.
Pada titik inilah
mestinya para operator jasa transportasi yang belum menggunakan aplikasi
berbasis online dan bertarif lebih mahal mulai berpikir untuk berinovasi
terhadap perbedaan harga yang menyebabkan beralihnya para pengguna jasa
mereka. Bagi konsumen tentu harga menjadi pilihan utama selain bentuk layan
yang diberikan.
Itu sebabnya, fakta
lain di lapangan adalah beberapa sopir taksi saat ini juga banyak yang keluar
dan memilih menjadi pengemudi Uber dan GrabCar. Hal itu didasari alasan
bergesernya pola di masyarakat dalam memilih dan menggunakan moda
transportasi. Alasan lainnya, para sopir taksi yang bermigrasi menjadi
pengemudi Uber dan GrabCar mengaku tidak dipusingkan lagi dengan target
setoran yang harus dipenuhi di tengah persaingan jasa angkutan yang makin
ketat.
Belum lagi jika
dilihat kehadiran aplikasi di bidang transportasi itu telah membuka lapangan
pekerjaan baru. Tentu kehadiran aplikasi ini menjadi berarti bagi sebagian
orang yang sebelumnya menganggur atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK)
karena kondisi ekonomi yang sedang mengalami penurunan. Fakta inilah yang
mestinya dijadikan pijakan pemerintah dalam mengambil kebijakan maupun
keputusan terhadap berkembangnya jasa layanan transaksi online .
Baik yang kini sedang
dipermasalahkan terkait dengan kehadiran aplikasi di bidang transportasi
maupun ke depan bentuk-bentuk layanan transaksi online lainnya. Bagi
pemerintah sebagai regulator, ke depan juga harus mulai dipikirkan untuk bisa
menyiapkan aturan-aturan yang bisa menampung berbagai jasa atau layanan
berbasis pada TIK (transaksi online ). Dengan demikian antara layanan satu
dengan lainnya mendapat perlakuan sama.
Bahkan pemerintah
tidak kehilangan potensi pendapatan atau pajak dari model transaksi online .
Sementara itu jika ada aturan hukum atau undang-undang yang dilanggar oleh
kehadiran jasa layanan Go-Jek dan Grab Bike maupunUber dan GrabCar, tentu
harus dicarikan jalan keluar terbaik. Tentunya dengan melakukan perubahan
terhadap undang-undang (UU) itu.
Bukankah aturan dan UU
itu dibuat untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat? Dalam hal ini
termasuk perlindungan bagi masyarakat mencari nafkah dan menjalankan
pekerjaan. Apalagi seperti pernah disampaikan Presiden Jokowi dan Wapres
Jusuf Kalla saat menganulir aturan yang melarang Go-jek, Grab Bike, dan
angkutan berbasis aplikasi lain beroperasi. Mereka menyatakan bahwa aturan
dan UU yang ada sesungguhnya bisa dilakukan perubahan sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Jangan Dihambat
Dalam hal pengembangan
dan pemanfaatan TIK, rasanya apa yang berkembang di masyarakat terkait dengan
penggunaan berbagai aplikasi di bidang TIK tidak perlu dihambat, termasuk
dari sisi penanaman modal. Sudah seharusnya sistem pemerintahan terus
mendorong tumbuh kembangnya pemanfaatan TIK.
Tentu karena TIK
diyakini akan mampu dipergunakan sebagai kendaraan menuju ke pemerintah yang
bersih, akuntabel, transparan, produktif, dan efisien. Selain itu pemanfaatan
TIK dalam pemerintahan juga dapat dipergunakan untuk menggerakkan roda
perekonomian dengan menciptakan potensi-potensi bisnis baru bagi masyarakat
Indonesia serta perbaikan sistem layanan kepada masyarakat.
Dari sisi ini
diharapkan akan terjadi peningkatan produktivitas nasional yang muaranya ada
pada peningkatan daya saing bangsa (nation
competitiveness). Dari kacamata lain, TIK juga akan dapat dimanfaatkan
untuk perbaikan sistem pendidikan dalam hal pemerataan kualitas dan
kesempatan.
Secara singkat TIK
akan mampu mempererat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara
masyarakat dengan pemerintah, antara pelaku bisnis dan pemerintah sehingga
persatuan dan kesatuan bangsa menjadi makin kokoh. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar