Kabinet Gaduh untuk Siapa?
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN SINDO, 10 Maret
2016
Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Jokowi-JK kembali gaduh.
Silang sengketa dan agresivitas verbal antarmenteri terjadi di media massa
dan media sosial. Bahkan, kini menteri yang terlibat silang sengketa tak
hanya antara Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli dan Menteri
ESDM Sudirman Said. Di antara para menteri yang terlibat silang sengketa
adalah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas
Lembong soal impor beras, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri BUMN
Rini Soemarno soal kereta cepat, serta saling sindir di media sosial antara
Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Jafar dengan Sekretaris Kabinet
Pramono Anung.
Komunikasi Relasional
Problem mendasar dari kegaduhan Kabinet Kerja adalah komunikasi
politik, terutama terkait koordinasi dan tata kelola hubungan (political relationship) antarmenteri.
Kabinet Jokowi, seperti juga kabinet era SBY dan Megawati, merupakan hasil
kompromi beragam kekuatan yang menyokong kekuasaan. Tak mudah melebur ego
sektoral, politik patron-client,
afiliasi mazhab ekonomi, maupun kepentingan politik perseorangan.
Meminjam istilah Barbara Montgomery, dalam Communication as the Interface Between Couple dan Culture (1992),
akan muncul komunikasi relasional. Asumsi dasarnya, relationship itu selalu
terhubung dengan komunikasi. Kealamiahan hubungan akan sangat ditentukan
komunikasi di antara para anggotanya. Biasanya, apa yang implisit jauh lebih
dominan dari yang eksplisit dan sangat biasa hubungan berkembang melalui
proses negosiasi.
Dari asumsi tersebut, jika konteksnya mengulas Kabinet Kerja,
sangat jelas sedang ada masalah komunikasi relasional di antara para menteri
Jokowi. Kegaduhan yang mengemuka di media massa dan kesengajaan menumpahkan
silang sengketa lewat media sosial menandakan kanal formal untuk membangun kesepahaman
lewat sidang kabinet tak lagi memadai.
Negosiasi ide, gagasan, dan pemahaman tak tuntas difasilitasi
rapat-rapat internal dan secara sadar membawa beragam isu yang harusnya cukup
di sidang kabinet itu ke ruang publik dan menjadi bahan polemik. Di mana
posisi Jokowi? Menarik memosisikan Jokowi dalam masalah komunikasi relasional
ini. Bacaan linear dan artifisial, akan menghubungkan jawaban dengan
pernyataan Jokowi yang terkesan tidak happy
dan memperingatkan para menteri untuk menghentikan silang pendapat.
Posisi ini mengesankan Jokowi bukan bagian dari manajemen
konflik dan menteri-menteri yang melakukan ”pertempuran opini publik”
merupakan inisiatif masing-masing pihak. Hal ini, tentu punya risiko, yakni
soal kehormatan dan kewibawaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di muka
publik. Jokowi harusnya berada di puncak hierarki otoritas Kabinet Kerja.
Karena itu, harus memastikan seluruh menterinya punya loyalitas kepada
Presiden.
Pernyataan Jokowi harus otoritatif, resmi, dan memberi arahan.
Jika silang sengketa terus berulang dan pernyataan Jokowi tak diindahkan,
bisa memunculkan pertanyaan seberapa otoritatif Jokowi dalam memimpin Kabinet
Kerja? Dari mana pun asal partai para menteri atau siapa pun yang mendorong
dia untuk masuk ke dalam kabinet, seusai dilantik menjadi menteri, dia sejak
saat itu pula harusnya menjadi orang Presiden.
Jika masalahnya sekadar loyal dan tidak loyal, bisa dikendalikan
atau tidak, sesungguhnya lebih mudah karena Jokowi memiliki hak prerogatif
untuk melakukan reshuffle terbatas kepada satu atau beberapa menteri yang
tidak lagi segaris dengan kebijakannya.
Political Game
Benarkah sesederhana itu komunikasi relasionalnya? Bacaan bahwa
Jokowi tidak berperan dalam political game kegaduhan antarmenteri bisa jadi
tak memuaskan banyak pihak. Ada masalah lain yang sesungguhnya berpotensi
menjadi variabel utama kegaduhan Kabinet Kerja ini yakni soal ekonomi politik
dalam kekuasaan. Adakah proses relasi kuasa antaraktor dalam pertarungan di
lingkar utama kuasaan yang bersumber dari perebutan akses-akses ekonomi?
Kalau ini masalahnya, tak lagi sesederhana problematika
komunikasi relasional. Silang sengketa antara Rizal Ramli dan Sudirman Said
pada Agustus 2015 soal proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt, Oktober
2015 tentang perpanjangan kontrak Freeport, dan Februari 2016 soal Blok
Masela menjadi contoh kentalnya aroma masalah ekonomi politik yang
menyebabkan meriangnya komunikasi relasional menteri-menteri bersangkutan.
Sangat mungkin masalah membentang panjang mulai dari perbedaan
mazhab ekonomi yang diyakini, pertarungan para raksasa (clash of the titans) di belakang layar, tapi kerap menjadi
invisible hand dalam setiap kebijakan pemerintah, hingga faktor strategi
manajemen konflik Jokowi di tengah tekanan yang datang bertubi-tubi.
Sangat wajar jika banyak yang menghubungkankegaduhan dan
keberanian Rizal Ramli menyerang terbuka beberapa proyek besar tersebut
sebagai bagian dari manajemen konflik Jokowi juga. Dengan membawa ke publik
dan menjadi diskursus, bisa menjadi tekanan (public pressure) ke beberapa pihak yang sesungguhnya menjadi
kekuatan dominan di panggung belakang (backstage).
Kita tak menutup mata memang beberapa kritik Rizal Ramli itu
sesungguhnya menarik dan substantif jika diletakkan dalam konteks kebijakan
pemerintah. Jika pun benar kegaduhan ini bagian dari skenario manajemen
konflik, bukan tanpa risiko. Pertama, sangat berisiko pada kohesi politik dan
sosial Kabinet Kerja dan tentu akan memengaruhi produktivitas kinerja pada
tahun akselerasi.
Tahun kedua dan ketiga merupakan fase sangat menentukan bagi
percepatan capaian program. Akhir tahun keempat dan sepanjang tahun kelima,
pemerintah akan diramaikan lagi dengan pertarungan elektoral pada 2019. Jika
konflik dibiarkan terlalu lama dan ke mana-mana, energi kreatif Kabinet Kerja
akan tersedot ke pusaran konflik elite. Kedua, manajemen konflik yang tidak
matang bisa menjadi bola liar tak terkendali. Seberapa kuat dan intens Jokowi
mengendalikan manajemen konflik level elite ini.
Jangan sampai bola panas justru akan menerjang Jokowi jika
permainan terbuka tak membuahkan hasil yang menggembirakan publik. Ketiga,
punya risiko terhadap persepsi publik. Gaduh di Kabinet Kerja ini untuk
siapa? Perang terbuka di media massa kerap elitis dan hanya menjadi gelembung
politik. Komunikasi deliberatif yang disuguhkan sering tak tuntas,
setengah-setengah, dan isu yang digulirkan tak mampu membentuk opini publik
yang menguntungkan rakyat.
Dampaknya, publik menjadi mayoritas diam yang hanya melihat
serta memosisikan kegaduhan sebagai permainan elite belaka. Bahkan, sangat
mungkin menumbuhkan persepsi negatif jika tak ada rembesan program nyata yang
dirasakan dalam realitas keseharian rakyat banyak.
Kabinet Kerja jangan terus-menerus gaduh di media dan media
sosial karena hakikatnya kegaduhan yang tak berdampak perubahan adalah
tradisi para pembual! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar