Agar Cepat Sembuh?
Jean Couteau ; Penulis Kolom UDAR RASA Kompas Minggu
|
KOMPAS, 20 Maret
2016
Gondal-gandul! Aku
tadinya tidak menghiraukannya, bahkan tidak tahu perannya.!! Biarpun aku
kerap pegang, bersihkan, selipkan di celana, atau apain lagi, aku sama sekali
tidak menyadari bahwa sepotong daging itu bisa sedemikian menentukan
kehidupanku. Menandakan aku menjadi laki-laki di mata banyak orang. Aku hanya
menyadarinya baru-baru ini, ketika sudah terlambat. Dan mukaku sudah memar.
Apa sih salahku? Aku tidak tahu. Inilah ceritaku.
Apakah aku memang
lahir begitu? Aku merasa normal, kok! Bila ada yang pikir bahwa aku tidak
mengerti, mereka keliru. Aku tahu bahwa laki-laki selalu diunggulkan. Bahkan
sejak lahir: masalahnya adalah titit. Aku telah pelajari dari internet. Yang
paling dulu nongol adalah kening, lalu seluruh kepala, kan? Tetapi apakah
disoraki? Tidak! Baru ketika "barang kecil itu" menampakkan
diri", masih keriput dan penuh darah, baru disoraki gembira: "Hore!!
Laki-laki." Aku pun bersorak. Laki-laki selalu favorit.
Namun untuk
betul-betul menjadi favorit itu, harus laki-laki beneran. Apakah aku memang
begitu? Rasanya tidak. Tapi waktu aku lahir, aku tidak dimintai pendapat.
Sekarang aku terus dipaksa berlagak seolah-olah aku memang cowok biasa. Apa
nih dasarnya? Pendapat mereka tentang titit itu: harus jantan! Okay, tapi
bagaimana? Dan bagaimana kalau tak bisa? Yang bilang "harus jantan"
itu sama sekali tidak peduli tentang "rasaku" tentang diriku ini
loh. Jadi apakah aku pria sejati? Ya, tapi gabeng, tak jelas. Gabeng sih
gabeng, tapi normal. Minta "dikelonin" oleh ibu tersayang, mencueki
bapak dan ditertawai cewek!
Aku memang bukan
cewek. Cewek itu aneh. Aku tahu dari kakakku: dia cuma punya garis panjang di
depan. Untuk kencing, katanya. Lainnya rata, aduuh. Aku tahu itu dari waktu
kita sama-sama mandi. Kalau kencing: dia tidak perlu pegang apa pun untuk
itu.. Selain itu, kakak pakai rok, dibelikan boneka, dan boleh nangis bila
disakiti, sedangkan aku tidak boleh itu semua, tetapi harus bisa nendang bola
dan berkelahi. Aku tidak mengerti mengapa. Katanya, karena kakak cewek,
sedangkan aku cowok. Aku iri tetapi kepo. Kenapa begitu? Apakah harus terus
memakai celana karena disuruh ibu, dan ikut antrean dengan laki-laki karena diperintah
bapak guru. Tidak adil.
Yang aku tidak
mengerti adalah si Eddy. Aku sudah lihat cara dia mengintip cewek waktu kami
mau olahraga. Kata si Anton, dia tidak mempunyai kakak perempuan. Maka dia
merasa pantas menguntit dan mengintip, agar tahu tubuh perempuan. Dia memang
ganteng, dan jelas lebih "cool" dari Gatot. Smash-nya di
pertandingan bulu tangkis minggu yang lalu memang hebat! Luar biasa! Tetapi
kenapa dia begitu sama aku ya? Ajakan berteman dariku selalu dibalas
cemoohannya: "Sialan luh, Kris, ada apa dengan ente, berlagak kayak
cewek". Aku biasa mendengar cercaan macam itu. Tetapi aku tidak menduga
akan jadinya begini. Dijebak, di seberang jembatan sana, di Jalan Gunung
Salak. Dia sama si Edmon, cowok kelas enam. Awalnya, ketika gagang kemudi sepedaku
dipegang Edmon, aku kira mereka mau guyon: "Ente bencong beneran?"
Aku tidak menyahut. Lalu aku ditarik, jatuh dari sepeda. Mereka tertawa.
Ketika aku berdiri, mau pegang sepedaku, aku mendapatkan bogem mentah. Taaar!
Maka mata kananku sekarang bengkak. Aku ingin menangis, tetapi aku tahan.
Hanya menyeringai.
Sesampai di rumah, ibu
bertanya bagaimana mataku bisa mengsle begitu. Aku cerita jatuh di sekolah,
lalu merangkulnya tersedu-sedu. Dia tidak bertanya lebih jauh. Mungkin dia
tahu. Tetapi peristiwa jembatan sampai ke telinga kepala sekolah. Dua hari
yang lalu, aku disuruh menghadap beliau. Aku ditegur: "Kris, Bapak
heran! Kamu sekarang lihat akibat gelagatmu? Begini jadinya. Tetapi, Bapak
mau bantu. Bapak akan mendaftarkanmu pada pelatihan khusus untuk orang
seperti kamu. Kamu pasti bisa sembuh, Kris. Bapak jamin."
Aku mengiya-iyakan
saja. Di benakku terbayang cowok-cowok yang akan sama-sama ikut latihan. Asal
ada yang ganteng, boleh aja, sih! Agar cepat sembuh, hi-hi-hi!
Tapi, pikir-pikir, aku
tak sakit, kok! Apalagi tidak siap direbus! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar