Senin, 16 November 2015

Rezim Teror

Rezim Teror

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 15 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Revolusi Perancis (1789-1799) menjadi titik balik dalam sejarah terorisme. Bahkan, Gérard Chaliand dan Arnaud Blid (ed) dalam The History of Terrorism From Antiquity to Al Qaeda (2007) berpendapat bahwa Revolusi Perancis memberikan sumbangan pada lahirnya istilah ”teror”. Sebenarnya lebih tepat disebut sebagai memunculkan istilah ”terorisme negara”.

Terorisme modern, menurut Frank Barnaby dalam The Future of Terror, A 21st Century Handbook, mengacu pada pengalaman berkuasanya regime de la terreur, atau rezim teror, atau secara mudahnya disebut ”Teror”, yang berkembang (1793-1794) selama Revolusi Perancis. Itulah zaman kegelapan di Perancis. Pada tahun 1798, Académie française mendefinisikan fenomena terorisme sebagai sebuah ”sistem atau rezim teror”.

Teror (Rezim Teror) merupakan periode represi brutal. Awalnya, tujuan rezim ini adalah melindungi revolusi dengan mengeliminasi musuh-musuh internal dan konspirasi serta mengusil musuh-musuh eksternal dari wilayah Perancis. Pemimpin Revolusi Perancis Maximilien de Robespierre atau Maximilien-François-Marie-Isidore de Robespierre (6 Mei 1758-28 Juli 1794) membenarkan metodenya (teror) sebagai sarana dalam mentransformasi monarki ke demokrasi. Keyakinan Robespierre itu menjadi dasar terorisme modern, yang percaya bahwa kekerasan, kekejaman, akan menjadi jalan untuk terciptanya sistem yang lebih baik.

Yang terjadi di Perancis pada masa itu menyingkirkan semua orang yang dianggap sebagai musuh atau membahayakan revolusi. Kaum kontra revolusioner. Mereka dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya dengan guillotine. Ada orang yang bernasib sial karena memegang teguh prinsip politiknya, atau banyak orang yang dibunuh karena hanya dicurigai. Raja Perancis Louis XVI bahkan sudah di-guillotine sebelum lahirnya Rezim Teror. Ratu Marie-Antoinette dipenggal kepalanya di zaman Rezim Teror. Ada yang menulis, korban Rezim Teror antara 19.000 orang hingga 40.000 orang!

Sebenarnya, sejarah terorisme sudah melewati zaman yang panjang. Bahkan, sejak lebih dari 2.000 tahun silam, aksi teror telah ada yang dilakukan oleh kaum Zealot Yahudi yang dikenal sebagai sicarii (orang berpisau belati; belati digunakan sebagai alat untuk perlawanan). Tindakan itu dilakukan untuk melawan kaum penjajah Romawi. Kemudian muncul sekte Ismaíli yang dikenal sebagai ”Assassin”. Setiap zaman melahirkan ciri tersendiri dari aksi terorisme.

Misalnya, teror atas nama agama—ada yang menyebut teror suci—merupakan sebuah fenomena yang selalu terjadi. Menurut Bruce Hoffman, agama merupakan komponen yang sangat penting dalam mendefinisikan aktivitas, ideologi, karakteristik, dan metode rekrutmen mereka. Oleh para pelakunya, terorisme religius dipandang sebagai tindakan transendental; dibenarkan oleh otoritas agama, yang melakukan pun akan ”besar upahnya di surga”. Jumlah dan identitas korban tidak penting bagi mereka ini. Yang penting tujuan mereka tercapai. Karena itu, teroris yang mengorbankan dirinya (dengan bom bunuh diri) dianggap yang paling mulia.

Paul Wilkinson, seorang ahli terorisme dalam bukunya, Terrorism and the Liberal State, menyatakan, terorisme membutuhkan intimidasi koersif. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penghancuran dan pembunuhan yang sistematik, mengancam, membunuh, dan menghancurkan, dengan tujuan untuk meneror orang, kelompok, komunitas, atau pemerintah agar memenuhi tuntutan politik kaum teroris. Karena itu, yang membedakan kelompok teroris yang satu dengan yang lain adalah penggunaan intimidasi koersif yang sistematik.

Sejak Tragedi 11 September 2001—serangan terhadap Menara Kembar World Trade Center dan Pentagon—terjadi internasionalisasi terorisme. Perang terhadap terorisme pun dikumandangkan di seluruh dunia. Namun, aksi teror bukannya menurun, bahkan meningkat, serta muncul dalam berbagai macam bentuk, kemasan, dan cara. Bahkan teror secara terang-terangan dijadikan sebagai cara untuk mencapai tujuan. Misalnya yang dilakukan oleh kelompok yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah. Mereka menggunakan teror dan kekerasan serta kekejaman sebagai basis gerakannya yang dibungkus dengan ideologi radikalisme (Jessica Stern dan JM Berger dalam ISIS, The State of Terror).

Kekerasan, kekejaman, dan teror seperti itulah yang terjadi di Paris, Perancis, Jumat malam, yang menewaskan sekurangnya 128 orang. Apa pun alasannya, apa pun tujuannya, penyerangan di Paris tidak bisa dibenarkan. Tidak ada dasar yang bisa digunakan untuk membenarkan tindakan itu.
Tragedi Paris itu membawa tindakan tak manusiawi tersebut kembali ke titik awal terorisme modern, sarangnya: Perancis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar