Selembar Surat untuk Masa Depan Penyakit Tropis
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 16 November 2015
DIA seorang profesor,
doktor, dan dokter. Pekerjaannya mengajar, bertugas di rumah sakit, dan
melakukan penelitian mengenai berbagai penyakit. Saya bisa membayangkan
betapa supernya orang seperti itu. Atau, sebaliknya, betapa sulitnya menyusun
prioritas.
Tapi, apa pun tugas
profesor, doktor, dan dokter itu, ternyata yang paling menentukan adalah ini:
dari mana SK kepegawaiannya. Dari menteri kesehatankah? Dari menteri
pendidikankah? Dari (dulu) Kementerian Ristek-kah?
Yang paling sulit
adalah kalau tugas utamanya di lembaga penelitian, tapi SK kepegawaiannya
dari menteri pendidikan atau menteri kesehatan. Lembaga penelitian penyakit
seperti ini akan sulit maju. Fondasinya keropos: sulit cari dokter yang mau
jadi peneliti. Kalau toh ada yang mau, sifatnya sementara. Atau dirangkap
alias sambilan. Mengapa?
Masa depan peneliti
bidang kedokteran tidak menarik. Setidaknya tidak mungkin jadi profesor. Jalur
birokrasinya tidak ada. Di Kementerian Pendidikan atau juga di Kementerian
Kesehatan tidak dikenal pintu peneliti yang bisa jadi guru besar. Peneliti
yang bisa jadi guru besar hanya yang bekerja di LIPI.
Untung saya ikut meninjau
rumah sakit-rumah sakit pendidikan di Universitas Airlangga, Sabtu lalu.
Bersama Menteri Kesehatan Prof Nila Djuwita Moeloek.
Saya jadi tahu posisi
dan problem rumah sakit pendidikan, terutama yang memiliki perhatian khusus
bidang penelitian. Selama ini saya hanya tahu di Surabaya ada RSUD dr Soetomo
yang terkenal itu.
Di berbagai negara
maju, saya tahu rumah sakit pendidikan (teaching hospital) memang bisa lebih
terkenal daripada rumah sakit umum. Ini karena dokter peneliti terbaik ada di
situ. Dokter konsultan terbaik ada di situ.
Ide membangun teaching
hospital di Indonesia sangatlah jelas: agar mahasiswa kedokteran, dokter yang
mau jadi spesialis, dan para peneliti bidang kesehatan memiliki lapangan yang
sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan kemajuan kedokteran. Tapi, rumah sakit
itu belum menyediakan pintu yang cukup untuk lari. Pintu menjadi profesor dan
pintu untuk masa depan serta kesejahteraan dokternya.
Di negara maju, dokter
di rumah sakit pendidikan sama sekali tidak punya kaitan dengan jumlah pasien
atau lamanya penanganan terhadap seorang pasien.
Satu profesor yang
hanya bisa menangani satu pasien dalam satu minggu (karena rumitnya penyakit
yang diidap) tidak akan menurun pendapatannya dibanding yang menangani banyak
pasien dalam sehari. Kita masih harus berjuang keras untuk sampai ke sana.
Tapi, setidaknya keberadaan teaching hospital sudah terwujud.
Memang ada problem
birokrasi yang rumit. Entah bagaimana menyelesaikannya. Ahli manajemen harus
tertarik untuk memberikan ide penyelesaian benang kusut ini.
Kalau di rumah sakit
umum, persoalan birokrasinya lebih sederhana: satu Kementerian Kesehatan.
Komplikasinya paling hanya dengan kewenangan daerah. Tapi, teaching hospital
ini menyangkut kesehatan, pendidikan, dan penelitian.
Dulu terkait dengan
tiga kementerian. Sekarang, mestinya, lebih sederhana. Kemenristek sudah
digabung dengan pendidikan tinggi.
Saya lihat menteri
kesehatan sudah banyak mencatat ketika rektor Unair yang akuntan itu, Prof Dr
Moh Nasih SE MT Ak CMA, melaporkan kemajuan-kemajuan lembaganya.
Tentu kita berharap
banyak pada pusat-pusat kajian di rumah sakit pendidikan seperti itu.
Misalnya, seperti yang dipamerkan Sabtu lalu, ditemukannya obat-obat untuk
malaria, HIV, hepatitis C, hepatitis B, dan demam berdarah.
Semua itu penyakit
khas negara tropis. Dunia Barat kurang tertarik mengerahkan perhatiannya ke
penyakit-penyakit tropis. Kecuali terhadap HIV yang ternyata banyak juga
menyerang orang Barat.
Namun,
penemuan-penemuan itu masih baru tahap awal. Masih harus dilanjutkan dengan
penelitian dan uji-uji berikutnya. Dengan serius. Namun, seperti kata Prof Dr
Maria Inge Lucida, ketua Pusat Penyakit Tropis Unair, di lembaga itu sulit
mencari peneliti penuh waktu.
Yang ada sekarang, 40
orang, semuanya kerja rangkap. “Mereka pada lari. Ya soal masa depan tadi,”
ujar Prof Lucida. Padahal, hanya negara tropis seperti kita yang seharusnya
lebih memperhatikan penyakit-penyakit khas negara tropis.
Dengan kondisi seperti
itu pun, Unair sudah bisa melahirkan peneliti stem cell yang begitu hebat. Kelas dunia. Apalagi kalau nanti
persoalan birokrasi tadi bisa diselesaikan. Hanya butuh selembar surat
keputusan. Yang tidak ada risikonya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar