Multidimensi Tragedi Paris
Abdul Mu’ti ;
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 16 November 2015
Prancis
menangis. Dunia berduka. Serangkaian aksi kekerasan–yang tampaknya dirancang
dengan matang– menewaskan ratusan manusia yang tidak berdosa. Pemerintah
Prancis masih mendalami pelaku dan motif penyerangan.
Walau
demikian, kelompok militan Islamic State
of Iraq and Syria (ISIS) mengaku bertanggung jawab atas pembantaian di
enam sudut kota Paris. Sebagaimana dilansir beberapa media nasional dan
internasional, motif penyerangan adalah balas dendam atas kebijakan
pemerintah Prancis dalam masalah di Suriah. Benarkah demikian?
ISIS sebagai Culprit
Setelah
riwayat Al-Qaeda tamat, ISIS menjadi ”hantu pencabut nyawa” yang paling
ditakuti negara-negara Barat. ISIS menjadi culprit, pelaku dan biang semua
kejahatan. ISIS mengaku bertanggung jawab atas pengeboman pesawat Rusia di
Mesir. Setelah Prancis, mereka menebar ancaman akan menyerang Inggris dan
negaranegara Barat lainnya.
Ketakutan
negara-negara Barat terhadap ISIS sangat bisa dipahami. Pertama, baik ISIS
maupun Al-Qaeda menjadikan negara-negara Barat baik warga negara, fasilitas,
maupun jaringan sebagai musuh utama dan sasaran aksi mereka. Akan tetapi
sebagaimana video yang dirilis melalui berbagai media, dalam melakukan
aksinya, ISIS lebih brutal dan sadistis dibandingkan dengan Al-Qaeda.
Cara
ISIS mengeksekusi para korban sungguh mengerikan. Kedua, ISIS mendapatkan
dukungan luas dari berbagai kalangan. Banyak kalangan muda dari negara-negara
Barat yang bergabung dengan ISIS. Mereka tidak hanya berasal dari keturunan
Arab, tetapi juga keturunan dan warga negara Eropa. Kelompok pendukung ISIS
dari keturunan Eropa lebih menyulitkan karena mereka menguasai semua hal
tentang Eropa, melek teknologi, dan ekonomi yang kuat.
Mereka
bergabung karena alasan ideologis dan politis. Bagi mereka, ISIS memiliki tujuan
perjuangan yang jelas. ISIS memberikan harapan dan mimpi mewujudkan negara
Islam di bawah kepemimpinan khalifah yang tegas dan berani. Mayoritas
negara-negara Islam di Timur Tengah adalah kerajaan yang dipimpin para raja.
Di mata para pendukung ISIS, para raja itu hanyalah antek, kaki tangan, dan
boneka Barat yang tidak berpihak kepada rakyat dan tidak bersungguh-sungguh
menegakkan syariat Islam.
Ketiga,
ISIS memiliki sumber dana yang kuat. Hal ini memungkinkan mereka melakukan
ekspansi ke seluruh penjuru dunia dan merekrut anggota baru dari kalangan
muda yang terinspirasi oleh mimpi kepahlawanan. Dari sudut pandang ideologis
dan politik bisa dimaklumi jika ISIS menjadi musuh bersama negara-negara
Barat dan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi dan Iran.
ISIS
sendiri memerlukan pembuktian eksistensi. Sebagaimana jamaknya, aksi
kekerasan adalah bentuk perlawanan atas represi yang dialami suatu kelompok.
Dimensi politik ini penting dilihat sebagai hukum kausalitas. Kelahiran ISIS
dibidani negara-negara Barat sebagai ”predator” untuk menumbangkan rezim
diktator.
Kini
ketika tumbuh menjadi raksasa, negara-negara Barat ingin membunuhnya. Bagi
negara-negara Barat, ISIS telah menjadi ”anak durhaka”. Meminjam hukum
evolusi, ISIS melawan untuk mempertahankan diri. Yang berlaku adalah hukum
kausalitas: siapa menebar angin menuai badai.
Bukan Representasi Islam
ISIS
bukanlah representasi Islam. Walaupun menyebut diinya sebagai khalifah dan
mengklaim sebagai keturunan Quraisy, al-Baghdadi tidak bisa disebut sebagai
khalifah. Dalam khazanah Islam, seorang khalifah adalah mereka yang memiliki
kualifikasi iman, ilmu, akhlak, dan kepemimpinan yang unggul. Khalifah
dipilih oleh umat, bukan mengangkat dirinya sendiri.
Yang
sangat fundamental, khalifah senantiasa berpijak dan mengambil kebijakan
sesuai ajaran Islam. Karena itu, menurut Imam Syafii, tidak ada lagi kekhalifahan
Islam setelah khulafau al-rasyidun: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Yang ada adalah para raja yang bergelar
khalifah, sultan, dan sebagainya.
Para
ulama berbeda pendapat tentang kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Sebagian
berpendapat Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, sebagian lainnya mengatakan
bukan khalifah. Islam adalah agama damai yang sangat menekankan pentingnya
perdamaian. Diharamkan oleh Islam membunuh manusia yang tidak berdosa, bahkan
dalam peperangan sekalipun.
Karena
itu, ISIS sebagai gerakan, organisasi, dan sepak terjangnya bukanlah
representasi Islam. Walaupun demikian, sebagai akibat tindakan ISIS, umat
Islam akan menjadi korban. Label Islam sebagai teroris semakin melekat.
Islamophobia akan meningkat. Semua muslim terkena getahnya. Dimensi keagamaan
ini membuat gerak langkah muslim semakin sulit.
Pada
konteks dalam negeri, pemerintah Prancis semakin memiliki alasan untuk
menekan kaum muslim. Prancis memiliki masalah domestik yang kompleks menyangkut
kewarganegaraan, kewargaan, dan budaya. Islam telah menjadi agama terbesar
kedua di Prancis. komunitas muslim di Prancis adalah yang terbesar di Eropa.
Secara politik dan keagamaan, Prancis mendapatkan ”berkah” dari ”tragedi
Jumat” di Paris.
Dalam
konteks Eropa, kelompok antiimigrasi mendapatkan momentum untuk menolak
imigran Timur Tengah. Meskipun bertentangan dengan hukum internasional,
negara-negara Eropa semakin yakin untuk mengusir para pengungsi memasuki
negara mereka. Yang menanggung akibat dari tragedi Jumat di Paris adalah
masyarakat dunia pencinta perdamaian.
Gagasan
multikulturalisme yang selama ini diperjuangkan mundur ke belakang.
Masyarakat akan hidup dalam ketakutan dan kecurigaan global. Hidup semakin
tidak nyaman. Bagi kita, bangsa Indonesia, tragedi Jumat di Paris adalah
pelajaran tentang arti pentingnya saling menghormati dan hidup berdampingan
secara damai. Tragedi Paris tidak ada kaitan permusuhan antaragama.
ISIS adalah gerakan politik yang semua
langkahnya bertujuan politik kekuasaan mereka sendiri. Islam dan muslim tidak
mendapatkan berkah perjuangan mereka, tetapi justru kesulitan dan rusaknya
citra. Semoga umat beragama di Indonesia bertindak dan bersikap arif! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar