Indonesia dan TPP
Yose Rizal Damuri ;
Kepala Departemen Ekonomi
Centre for Strategic and
International Studies
|
KOMPAS,
18 November 2015
Dalam rangka kunjungan
ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyiratkan keinginan
Pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi dalam blok perdagangan Kemitraan
Trans-Pasifik.
Beberapa waktu
sebelumnya Menteri Perdagangan bahkan menyatakan Indonesia menetapkan target
dua tahun untuk bergabung dengan blok perdagangan tersebut. Ini menimbulkan
pertanyaan seberapa pentingkah Indonesia untuk bergabung dengan blok
perdagangan ini.
Dengan 12 negara Asia
Pasifik, Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) menghasilkan suatu kawasan perdagangan
yang mencakup sepertiga dari total perdagangan dunia dan menghasilkan hampir
40 persen total produk domestik bruto dunia. TPP disebut model bagi
perjanjian perdagangan abad ke-21, disebabkan lingkup pembahasannya yang
komprehensif dan mendalam. Liberalisasi perdagangan merupakan suatu prasyarat
yang harus ada. Negara anggota TPP diharapkan dapat menghilangkan bea masuk
ketika TPP mulai berlaku, kecuali untuk beberapa produk sensitif.
TPP lebih menekankan
perubahan berbagai aturan yang menghambat perdagangan di balik perbatasan
(behind-border issues), seperti aturan mengenai pembatasan investasi asing,
aturan terkait persaingan usaha dan BUMN, ataupun pelaksanaan perlindungan
kekayaan intelektual. Negara anggota diharapkan dapat menjadikan berbagai
aturan tersebut menjadi lebih selaras dan harmonis dalam memfasilitasi
aktivitas perekonomian.
Indonesia tak hanya
perlu melihat manfaat dan kerugian dalam bergabung dengan blok perdagangan
ini, tetapi juga perlu mengkaji kesiapan pelaksanaannya, serta kerugian jika
tak bergabung.
Manfaat dan kerugian TPP
Seperti umumnya usaha
liberalisasi, akan ada pihak yang mendapatkan manfaat dan kerugian dari
perubahan perekonomian menjadi lebih terbuka. Teori ekonomi mengajarkan bahwa
konsumen merupakan pihak yang mendapatkan manfaat terbesar karena harga
menjadi lebih terjangkau dan pilihan yang lebih banyak disertai kualitas yang
lebih baik.
Namun, manfaat
liberalisasi dalam TPP juga akan dirasakan dunia usaha. Secara keseluruhan
negara-negara TPP mengambil porsi sekitar 44 persen dari keseluruhan ekspor
Indonesia, apalagi mengingat beberapa produk unggulan Indonesia masih
merupakan produk yang terkena bea masuk tinggi. Beberapa produk alas kaki,
misalnya, masih terkena bea masuk hingga 30 persen di AS. Bea masuk
preferensial TPP yang sangat rendah akan meningkatkan peluang produk
Indonesia untuk dapat memasuki pasar negara tersebut.
Selain itu, produsen
Indonesia akan mendapatkan kemudahan untuk tergabung dalam jaringan produksi
internasional dari perusahaan yang berasal dari negara TPP lainnya. Bahan
baku dan komponen yang diperlukan dalam proses produksi juga akan bisa
didapatkan dengan lebih mudah dan murah.
Akan tetapi, tentu
saja selain kesempatan, banyak tantangan yang harus dihadapi ketika Indonesia
bergabung dalam TPP. Beberapa negara TPP juga memproduksi barang yang sama
dengan yang diproduksi produsen Indonesia. Ini menyebabkan persaingan menjadi
lebih ketat, apalagi untuk para produsen yang selama ini lebih berorientasi
pada pasar domestik. Beberapa dari para produsen itu mungkin akan tidak mampu
bersaing dan terpaksa menghentikan usahanya.
Akan tetapi, banyak
dari produsen tersebut yang mampu memperbaiki diri dan meningkatkan daya
saingnya akibat dari tekanan persaingan yang meningkat. Survei Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) atas dampak dari kawasan perdagangan bebas (FTA) terhadap
450 perusahaan memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (83 persen)
menganggap mereka mampu mempertahankan tingkat produksi mereka, meskipun 86
persen menganggap persaingan domestik terasa lebih meningkat akibat dari FTA.
Dalam meninjau akibat
dari TPP, tidak cukup hanya melihat manfaat dan kerugiannya. Perlu pula
dilihat apa konsekuensi jika Indonesia tidak bergabung di dalam blok
perdagangan ini. Apalagi mengingat bahwa salah satu anggota TPP adalah
Vietnam yang sangat giat melakukan reformasi ekonomi dan meningkatkan daya
saing selama beberapa tahun belakangan ini.
Selama 10 tahun
belakangan ini Vietnam mampu meningkatkan ekspor pakaian dan sepatu ke AS
hingga 300 persen, sementara pada periode yang sama ekspor Indonesia hanya
bertambah 100 persen. Situasi yang sama juga dapat dilihat dalam ekspor ke
Jepang. Dapat dibayangkan bagaimana bergabungnya Vietnam dalam TPP akan
semakin mengurangi pangsa pasar produk Indonesia di negara-negara tersebut
akibat dari akses pasar yang lebih luas bagi Vietnam.
Ancaman bukan hanya
datang dalam bentuk peralihan perdagangan, melainkan juga datang dari
kemungkinan peralihan investasi. Karena berbagai fasilitas di atas, banyak
perusahaan yang lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di negara anggota
TPP. Tidak tertutup kemungkinan perusahaan dari Indonesia mempertimbangkan
untuk membuka unit operasinya di negara anggota TPP agar mendapatkan berbagai
fasilitas yang tersedia.
Siapkah Indonesia bergabung?
Dengan berbagai
ancaman yang timbul dari tidak bergabungnya Indonesia, sangatlah beralasan
jika negara ini menyatakan keinginan untuk menjadi bagian dari kawasan
perdagangan tersebut. Akan tetapi, perlu juga dilihat apakah Indonesia siap
untuk kesepakatan ini. Ini bukan semata tentang daya saing industri Indonesia
untuk menghadapi persaingan yang lebih berat akibat liberalisasi. Persaingan
yang ketat biasanya akan membawa perbaikan terhadap daya saing.
Masalah akan timbul
karena berbagai kesepakatan dalam TPP memerlukan perubahan dalam kerangka
aturan dan kebijakan ekonomi domestik. Kesepakatan mengenai BUMN, misalnya,
memerlukan perubahan atas berbagai keistimewaan yang selama ini diterima oleh
perusahaan milik negara.
TPP juga akan
mengharuskan Indonesia untuk menerapkan perlindungan atas kekayaan
intelektual dengan lebih ketat. Pembatasan atas investasi asing juga
diharapkan untuk berubah sebagai komitmen di dalam TPP. Ini tidak hanya
terkait dengan perubahan dalam daftar negatif investasi, tetapi juga berbagai
perundang-undangan yang mengatur kebijakan perekonomian. Indonesia harus siap
untuk melakukan berbagai kesepakatan tersebut jika bergabung dalam TPP.
Akan tetapi, berbagai
komitmen tersebut sebenarnya merupakan perubahan yang perlu dilakukan oleh
Indonesia untuk memperbaiki daya saing perekonomian. TPP dapat berperan
menjadi pendorong dan katalis dalam melakukan berbagai reformasi yang
diperlukan.
Apakah Indonesia
sebaiknya bergabung? Ini semua menunjukkan bahwa bergabung tidaknya Indonesia
dalam TPP memerlukan kajian yang mendalam terutama menyangkut berbagai hal
yang diperlukan dalam melakukan reformasi ekonomi terkait perjanjian itu.
Vietnam, misalnya, telah melakukan berbagai perubahan dalam aturan
perundang-undangan mereka sejak beberapa tahun lalu untuk menyelaraskan
dengan komitmen dalam berbagai perjanjian perdagangan yang diikuti.
Indonesia harus
mengambil sikap bahwa dengan atau tanpa TPP, reformasi ekonomi haruslah
dilakukan. TPP dan berbagai perjanjian perdagangan lainnya, seperti Indonesia-EU
CEPA, dapat menjadi momentum untuk mendorong perubahan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar