Profesor dan Absurditas
Acep Iwan Saidi ;
Dosen Desain dan Kebudayaan, Sekolah Pascasarjana ITB
|
KOMPAS,
17 November 2015
Profesor sedang dicecar. Surplus jumlah,
defisit kualitas. Terlalu banyak profesor prosedural-absurd. Dengan begitu, apakah
mereka harus digugat. Nanti dulu.
Mari bikin kasusnya lebih gamblang. Biar awam
paham. Agar ihwal ilmu pengetahuan tidak melulu milik ”para penghuni langit”.
Profesor lomba
Begini. Saya punya teman dosen, doktor. Tisna
Sanjaya namanya. Selain dosen, Tisna adalah seniman kontemporer kenamaan.
Namanya tidak hanya dikenal di Asia, tetapi juga di dunia. Karya-karyanya
telah dipamerkan di sejumlah negara di dunia. Di kampusnya, tentu saja, semua
ilmunya ia ajarkan kepada mahasiswa. Tisna bahkan pernah tercatat sebagai
dosen teladan.
Satu poin lagi, Tisna sempat beberapa tahun
menjadi pembawa acara kebudayaan bertajuk ”Si Kabayan Nyintreuk” di sebuah
televisi swasta lokal di Jawa Barat. Acara ini eksplisit menunjukkan
”pengabdian” Tisna kepada masyarakat. Melalui acara ini, Tisna terus-menerus
mengkritik (nyintreuk) sekaligus memberi masukan kepada pemerintah,
khususnya soal kebudayaan dan lingkungan hidup.
Pertanyaannya, akankah Tisna menjadi profesor?
Jawabannya nyaris bisa dipastikan: tidak! Soalnya, sekeren apa pun karya
Tisna, setulus apa pun mengamalkan ilmunya, dan seberwibawa apa pun di dunia,
seluruh prestasinya itu tidak tercatat pada daftar kriteria untuk menjadi
profesor. Seorang akademisi hanya dicatat kognisinya. Itu pun harus
dituangkan dalam rangkaian kalimat yang disebut karya ilmiah, yang
formalistik dan administratif pula. Karya seni tidak diakui sebagai buah
riset. Puih!
Padahal, karya seni yang bagus hanya
diniscayakan oleh riset seumur hidup senimannya: riset yang dalam perspektif
hermeneutika disebut sebagai aprosiasi, appropriation of meaning (Ricoeur,
1981). Riset seni adalah internalisasi secara terus-menerus realitas ke dalam
diri. Pada titik ini, seniman adalah juga ilmuwan (tanpa tanda kutip).
Namun, kini profesor bukanlah sebentuk penghargaan
yang diberikan presiden terhadap seorang hamba ilmu pengetahuan yang telah
memiliki kualitas mumpuni di bidangnya sedemikian, melainkan penghargaan yang
dilombakan. Untuk itu, sejumlah syarat dan prosedur administratif-formal
diberlakukan. Barangsiapa memenuhinya, ia akan menjadi Sang Guru Besar. Maka, lahir darinya profesor prosedur. Tidak
pernah ada institusi atau sekadar tim ad hoc yang bertugas
untuk ”meriset” pelamar, kecuali hanya memeriksa syarat-syarat yang diajukan
si pelamar tersebut.
Parahnya pula, syarat yang dilombakan bersifat
pukul rata. Artinya, siapa pun dari ranah keilmuan apa pun syaratnya sama,
laik iklan sebuah merek minuman. Sebut saja bahwa semua pelamar harus meriset
dan memublikasikannya di jurnal internasional terindeks scopus.
Risetnya harus empirik pula. Bagi pelamar dari ranah ilmu-ilmu eksak, syarat
ini mungkin cetek saja. Namun, lain soal bagi mereka yang dari ranah
filsafat, seni, ilmu-ilmu kemanusiaan, dan ranah disiplin lain yang risetnya
cenderung teoretik. Pun demikian bagi dosen praktikum seni semacam Tisna.
Oleh sebab itu, jumlah profesor di ranah seni
bisa dihitung dengan jari. Di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, misalnya,
bertahun lamanya hanya ada seorang guru besar. Lihatlah pula di Institut
Kesenian Jakarta, di beberapa Institut Seni Indonesia, dan sekolah tinggi
seni lain di Indonesia, berapa jumlah profesornya? Di ranah ini, mungkin juga
di ranah filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan, profesor adalah manusia langka.
Maka, dapat dipastikan bahwa surplus profesor prosedural tidak termasuk guru
besar bidang kesenian di dalamnya.
Ironi linearitas
Kembali ke soal persyaratan. Tentang jurnal
internasional terindeks scopus, bagi akademisi dari ranah seni,
budaya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan lagi-lagi ini problematik. Bayangkanlah
seorang dosen pengajar seni tradisional atau bahasa daerah. Mereka meriset
budaya dan bahasanya sendiri, sementara yang mengevaluasi dan melegitimasinya
adalah ilmuwan dari bangsa lain yang entah bagaimana hubungannya dengan objek
yang dibahas penulis bersangkutan.
”Itu pelecehan!” kata Prof Yusuf Affendi,
Ketua Program Magister Desain Trisakti. Benar. Itu melecehkan diri sendiri.
Akan tetapi, demikianlah mental inferior bangsa terjajah, tak ada kepercayaan
kepada diri sendiri.
Maka, scopus pun menjadi bagian dari
iman, layaknya FIFA dalam sepak bola.
Satu contoh lagi persyaratan, yakni ihwal
linearitas keilmuan dari S-1 sampai S-3. Barangkali bagi ilmuwan di ranah
eksakta, linearitas sedemikian bisa menjadi alur pendalaman, menukik
mengelaborasi spesialisasi. Namun, nanti dulu untuk ranah kebudayaan. Sudah
dalam beberapa dasawarsa terakhir ini spesialisasi dan disiplin
dipermasalahkan, bahkan diruntuhkan. Kebudayaan saling berelasi sekaligus
saling bertegangan satu sama lain, memunculkan kompleksitas sekaligus
keberagaman, pertentangan sekaligus dinamika, dan seterusnya.
Kebudayaan adalah keseharian itu sendiri
(Hall, 1996). Oleh karenanya, disiplin yang kaku baku tidak memadai untuk
mewadahi dan mengkajinya. Ketegangan teori pun terjadi (Kellner, 1995). Dari
situ lahirlah kemudian apa yang disebut perspektif interdisiplin. Banyak
pihak telah mengetahui dan membincangkan ini. Di kampus-kampus, ”barang” ini
sudah jadi makanan sehari-hari. Satu-satunya institusi yang tak mengetahui
dan memahami hal ini tampaknya hanya pemerintah. Absurd!
Wajar saja jika kemudian profesor yang
diproduksi pemerintah juga banyak yang absurd. Sekali lagi, mereka bukan
profesor yang dilahirkan dari dialektika ilmu pengetahuan, melainkan
diciptakan oleh sistem yang juga absurd. Jadi, banyaknya jumlah profesor
yang jomplang dengan jumlah karyanya bukan karena syarat
jadi profesor itu mudah (Terry
Mart, Kompas, 11/11),
melainkan kacau.
Sistem yang kacau sedemikian tidak melahirkan
persyaratan yang mudah atau susah, tetapi memudahkan dan menyusahkan. Bagi
mereka yang suka mengikuti lomba dan canggih bermain proyek, sistem yang
kacau menjadi sangat memudahkan. Sebaliknya, bagi akademisi yang serius dan
ikhlas mendalami serta mengembangkan ilmunya, sistem demikian bisa sangat menyusahkan.
Dan, menyusahkan jauh lebih susah dari kategori susah itu sendiri sebab ia
bisa jadi tidak nalar, bisa jadi hanya dibuat-buat.
Bertolak dari situasi demikian, jelas yang
harus digugat adalah pemerintah, bukan profesor yang diciptakannya. Meskipun
absurd, para profesor itu tidak bersalah. Mereka hanya pemenang lomba. Mereka
sudah memenuhi semua syarat, meneliti untuk menjadi profesor. Lagi pula, jika
yang digugat profesor absurd itu, ketimbang berkreasi mereka justru malah
akan mati. Apabila ukuran gugatan itu adalah kesadaran dan tanggung jawab
akademik, segera harus pula diingat bahwa, sebelum menjadi profesor, mereka
adalah doktor. Jadi, profesor absurd
dapat dipastikan kelanjutan dari doktor bodong pula.
Lantas, dari mana datangnya doktor absurd? Mudah dijelaskan. Dan, untuk
sekadar disingkat: betapa banyak perguruan tinggi yang mengukur kualitasnya
dengan seberapa jumlah doktor yang mereka miliki, bukan dengan seberapa
banyak dosen yang memiliki dedikasi dan integritas akademik. Absurd! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar