Rezim Teror
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
15 November 2015
Revolusi Perancis (1789-1799) menjadi titik
balik dalam sejarah terorisme. Bahkan, Gérard Chaliand dan Arnaud Blid (ed)
dalam The History of Terrorism From Antiquity to Al Qaeda (2007)
berpendapat bahwa Revolusi Perancis memberikan sumbangan pada lahirnya
istilah ”teror”. Sebenarnya lebih tepat disebut sebagai memunculkan istilah
”terorisme negara”.
Terorisme modern, menurut Frank Barnaby dalam The
Future of Terror, A 21st Century Handbook, mengacu pada pengalaman
berkuasanya regime de la terreur, atau rezim teror, atau secara
mudahnya disebut ”Teror”, yang berkembang (1793-1794) selama Revolusi
Perancis. Itulah zaman kegelapan di Perancis. Pada tahun 1798, Académie
française mendefinisikan fenomena terorisme sebagai sebuah ”sistem atau rezim
teror”.
Teror (Rezim Teror) merupakan periode represi
brutal. Awalnya, tujuan rezim ini adalah melindungi revolusi dengan
mengeliminasi musuh-musuh internal dan konspirasi serta mengusil musuh-musuh
eksternal dari wilayah Perancis. Pemimpin Revolusi Perancis Maximilien de
Robespierre atau Maximilien-François-Marie-Isidore de Robespierre (6 Mei
1758-28 Juli 1794) membenarkan metodenya (teror) sebagai sarana dalam
mentransformasi monarki ke demokrasi. Keyakinan Robespierre itu menjadi dasar
terorisme modern, yang percaya bahwa kekerasan, kekejaman, akan menjadi jalan
untuk terciptanya sistem yang lebih baik.
Yang terjadi di Perancis pada masa itu
menyingkirkan semua orang yang dianggap sebagai musuh atau membahayakan
revolusi. Kaum kontra revolusioner. Mereka dihukum mati dengan cara dipenggal
kepalanya dengan guillotine. Ada orang yang bernasib sial karena
memegang teguh prinsip politiknya, atau banyak orang yang dibunuh karena
hanya dicurigai. Raja Perancis Louis XVI bahkan sudah di-guillotine sebelum
lahirnya Rezim Teror. Ratu Marie-Antoinette dipenggal kepalanya di zaman
Rezim Teror. Ada yang menulis, korban Rezim Teror antara 19.000 orang hingga
40.000 orang!
Sebenarnya, sejarah terorisme sudah melewati
zaman yang panjang. Bahkan, sejak lebih dari 2.000 tahun silam, aksi teror
telah ada yang dilakukan oleh kaum Zealot Yahudi yang dikenal sebagai sicarii
(orang berpisau belati; belati digunakan sebagai alat untuk perlawanan).
Tindakan itu dilakukan untuk melawan kaum penjajah Romawi. Kemudian muncul
sekte Ismaíli yang dikenal sebagai ”Assassin”. Setiap zaman melahirkan
ciri tersendiri dari aksi terorisme.
Misalnya, teror atas nama agama—ada yang
menyebut teror suci—merupakan sebuah fenomena yang selalu terjadi. Menurut
Bruce Hoffman, agama merupakan komponen yang sangat penting dalam
mendefinisikan aktivitas, ideologi, karakteristik, dan metode rekrutmen
mereka. Oleh para pelakunya, terorisme religius dipandang sebagai tindakan
transendental; dibenarkan oleh otoritas agama, yang melakukan pun akan ”besar
upahnya di surga”. Jumlah dan identitas korban tidak penting bagi mereka ini.
Yang penting tujuan mereka tercapai. Karena itu, teroris yang mengorbankan
dirinya (dengan bom bunuh diri) dianggap yang paling mulia.
Paul Wilkinson, seorang ahli terorisme dalam
bukunya, Terrorism and the Liberal State, menyatakan, terorisme
membutuhkan intimidasi koersif. Hal itu dilakukan dengan menggunakan
penghancuran dan pembunuhan yang sistematik, mengancam, membunuh, dan
menghancurkan, dengan tujuan untuk meneror orang, kelompok, komunitas, atau
pemerintah agar memenuhi tuntutan politik kaum teroris. Karena itu, yang
membedakan kelompok teroris yang satu dengan yang lain adalah penggunaan
intimidasi koersif yang sistematik.
Sejak Tragedi 11 September 2001—serangan
terhadap Menara Kembar World Trade
Center dan Pentagon—terjadi internasionalisasi terorisme. Perang terhadap
terorisme pun dikumandangkan di seluruh dunia. Namun, aksi teror bukannya
menurun, bahkan meningkat, serta muncul dalam berbagai macam bentuk, kemasan,
dan cara. Bahkan teror secara terang-terangan dijadikan sebagai cara untuk
mencapai tujuan. Misalnya yang dilakukan oleh kelompok yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak
dan Suriah. Mereka menggunakan teror dan kekerasan serta kekejaman sebagai
basis gerakannya yang dibungkus dengan ideologi radikalisme (Jessica Stern dan JM
Berger dalam ISIS, The State of Terror).
Kekerasan, kekejaman, dan teror seperti itulah
yang terjadi di Paris, Perancis, Jumat malam, yang menewaskan sekurangnya 128
orang. Apa pun alasannya, apa pun tujuannya, penyerangan di Paris tidak bisa
dibenarkan. Tidak ada dasar yang bisa digunakan untuk membenarkan tindakan
itu.
Tragedi Paris itu membawa tindakan tak
manusiawi tersebut kembali ke titik awal terorisme modern, sarangnya:
Perancis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar