Rabu, 18 November 2015

Teror Paris, ISIS, dan Problem Perpecahan

Teror Paris, ISIS, dan Problem Perpecahan

Ibnu Burdah ;  Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Koordinator Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
                                                    JAWA POS, 16 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PARIS diguncang serangkaian aksi teror yang benar-benar mengerikan. Penembakan dan pengeboman bunuh diri berlangsung hampir simultan di enam lokasi di ibu kota Prancis tersebut. Semua serangan dipastikan dilakukan dengan perencanaan panjang, sangat rapi, dan detail. CNN menyebut korban tewas sedikitnya 129 orang dan terluka lebih dari 300 orang. Korban meninggal sangat mungkin bertambah. ISIS (Negara Islam Iraq dan Syria) telah menyatakan bertanggung jawab atas insiden tersebut.

Sebagai sebuah aksi teror, pelaku dan kelompoknya pasti sadar dengan tujuan dan cara yang dilakukan. Jurgensmeyer dalam bukunya yang mulai menjadi klasik, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violences (2003), menyebut teror tidak ubahnya aksi teatrikal. Para pelaku secara sadar memilih lokasi yang akan menjadi tempat tampil untuk menyampaikan pesan. Tempat itu idealnya dapat menjadi panggung yang menarik audiens sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.

Pada titik ini, kelompok pelaku serangan itu tentu merasa sukses menjalankan misi kejinya di Paris. Sebab, mereka telah menjalankan aksi kekerasan di pusat-pusat kerumuman manusia. Yaitu, di gedung konser Bataclan, Restoran Le Petit Cambodge, Bar Le Carillon dekat kanal SaintMartin, Restoran La Belle Equipe, Boulevard Voltaire, Jalan Fontaine le Roi, dan sebuah bar di bagian luar Stade de France.

Semua tempat tersebut adalah ruang publik yang dikunjungi banyak orang. Bahkan, di tempat terakhir yang disebut, laga sepak bola internasional antara Jerman dan Prancis sedang digelar dan dihadiri sekitar 80 ribu penonton. Termasuk Presiden Perancis Francois Hollande. Masih beruntung pengeboman itu tidak terjadi di tengah-tengah penonton.

Banyaknya korban tewas dan luka mungkin makin menyempurnakan kepuasan kelompok tersebut. Sebab, itu pasti akan menarik perhatian khalayak yang lebih luas. Tetapi, tujuan utama dari teror sebenarnya tidak membunuh dan menghancurkan. Tindakan sebiadab itu, bagi pelaku, hanyalah medium, semacam bahasa yang digunakan saat kita berkomunikasi.

Tujuan terpenting mereka adalah menyampaikan pesan dengan cara menebar ketakutan dalam skala seluas-luasnya. Jika benar pelaku aksi itu adalah ISIS, ada beberapa pesan yang bisa dibaca dari bahasa brutal mereka saat ini.
ISIS dalam beberapa bulan ini makin terdesak, baik di wilayah Iraq maupun Syria. Bahkan, beberapa wilayah strategis yang menjadi penyambung Raqqa dan Mosul lepas dari cengkeraman mereka. Raqqa adalah ’’pusat’’ ISIS di Syria dan Mosul, Iraq, adalah ’’ibu kota’’ kelompok tersebut. Wilayah terakhir yang dibebaskan adalah Sinjar, berkat kerja sama Kurdi dan negara-negara sekutu pimpinan AS, termasuk Prancis.

Dalam konteks seperti itu, aksi keji di Paris itu setidaknya menyampaikan pesan sederhana. Bahwa ISIS, kendati dikeroyok oleh kekuatan Asad dan aliansinya, negara-negara kawasan, plus kekuatan negara-negara besar, masih eksis. Mereka masih mampu bertahan. Hal itu penting disampaikan minimal kepada para pengikut dan simpatisannya yang diperkirakan makin banyak dan bersebar di berbagai negara. Mungkin kalimat yang hendak mereka sampaikan adalah ’’Negara khilafah masih ada dan kuat meskipun diserang kekuatan-kekuatan besar dunia dan kawasan’’.

Pesan kedua yang bisa dibaca disampaikan kepada musuh-musuhnya. ISIS, rupanya, hendak berpesan bahwa perang terhadap mereka akan membawa akibat fatal. ISIS selama ini sangat konsisten melakukan pembalasan terhadap aktor-aktor baru atau lama yang terlibat perang untuk menghancurkan mereka. Bom bunuh diri di Turki, Lebanon, jatuhnya pesawat Rusia di Sinai, dan deretan aksi teror lain adalah konsistensi ISIS untuk melakukan serangan keji terhadap musuh mereka.

Perpecahan

Pascainsiden Paris, hampir bisa dipastikan agenda memerangi ISIS akan semakin intensif. Hal itu pula yang terjadi pascaaksi biadab pembakaran hidup-hidup pilot Jordania, bom di Taman Suruc, Turki, jatuhnya pesawat Rusia, dan bom di basis Hizbullah di Lebanon. Setiap ada insiden teror ISIS hampir selalu diiringi datangnya aktor baru dalam perang melawan ISIS, atau setidaknya peningkatan keterlibatan aktor tertentu.

Namun, persoalan yang dihadapi dalam perang melawan ISIS adalah keterpecahan. Kontestasi AS dan sekutunya dengan Rusia di kawasan jelas sangat mengganggu agenda besar tersebut.

Yang lebih parah adalah permusuhan yang begitu sengit antara blok Saudi dan Iran. Bagi Saudi, Iran tetaplah musuh nomor satu, ISIS mungkin musuh nomor sekian. Bagi Iran, kemungkinan juga demikian.

Hingga kini, sudah berapa kali ISIS demikian terdesak. Celakanya, dalam pengamatan penulis, setiap kali IS mengalami kemunduran signifikan di sejumlah front, seolah setiap kali itu pula konflik antara Arab Saudi dan Iran menguat atau memperoleh panggung konflik baru. Entah itu di Iraq, Yaman, atau tempat yang lain. Hingga kini, perpecahan di antara aktor yang perang melawan IS adalah faktor terpenting kegagalan agenda perang terhadap kelompok brutal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar