Teror Paris, ISIS, dan Problem Perpecahan
Ibnu Burdah ;
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Koordinator Kajian Timur Tengah
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
JAWA
POS, 16 November 2015
PARIS diguncang serangkaian aksi teror yang benar-benar mengerikan.
Penembakan dan pengeboman bunuh diri berlangsung hampir simultan di enam
lokasi di ibu kota Prancis tersebut. Semua serangan dipastikan dilakukan
dengan perencanaan panjang, sangat rapi, dan detail. CNN menyebut korban
tewas sedikitnya 129 orang dan terluka lebih dari 300 orang. Korban meninggal
sangat mungkin bertambah. ISIS (Negara Islam Iraq dan Syria) telah menyatakan
bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Sebagai
sebuah aksi teror, pelaku dan kelompoknya pasti sadar dengan tujuan dan cara
yang dilakukan. Jurgensmeyer dalam bukunya yang mulai menjadi klasik, Terror in the Mind of God: The Global Rise
of Religious Violences (2003), menyebut teror tidak ubahnya aksi
teatrikal. Para pelaku secara sadar memilih lokasi yang akan menjadi tempat
tampil untuk menyampaikan pesan. Tempat itu idealnya dapat menjadi panggung
yang menarik audiens sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.
Pada titik
ini, kelompok pelaku serangan itu tentu merasa sukses menjalankan misi
kejinya di Paris. Sebab, mereka telah menjalankan aksi kekerasan di
pusat-pusat kerumuman manusia. Yaitu, di gedung konser Bataclan, Restoran Le
Petit Cambodge, Bar Le Carillon dekat kanal SaintMartin, Restoran La Belle
Equipe, Boulevard Voltaire, Jalan Fontaine le Roi, dan sebuah bar di bagian
luar Stade de France.
Semua tempat
tersebut adalah ruang publik yang dikunjungi banyak orang. Bahkan, di tempat
terakhir yang disebut, laga sepak bola internasional antara Jerman dan
Prancis sedang digelar dan dihadiri sekitar 80 ribu penonton. Termasuk
Presiden Perancis Francois Hollande. Masih beruntung pengeboman itu tidak
terjadi di tengah-tengah penonton.
Banyaknya
korban tewas dan luka mungkin makin menyempurnakan kepuasan kelompok
tersebut. Sebab, itu pasti akan menarik perhatian khalayak yang lebih luas.
Tetapi, tujuan utama dari teror sebenarnya tidak membunuh dan menghancurkan.
Tindakan sebiadab itu, bagi pelaku, hanyalah medium, semacam bahasa yang
digunakan saat kita berkomunikasi.
Tujuan
terpenting mereka adalah menyampaikan pesan dengan cara menebar ketakutan
dalam skala seluas-luasnya. Jika benar pelaku aksi itu adalah ISIS, ada
beberapa pesan yang bisa dibaca dari bahasa brutal mereka saat ini.
ISIS dalam beberapa bulan ini makin terdesak, baik di wilayah Iraq maupun Syria. Bahkan, beberapa wilayah strategis yang menjadi penyambung Raqqa dan Mosul lepas dari cengkeraman mereka. Raqqa adalah ’’pusat’’ ISIS di Syria dan Mosul, Iraq, adalah ’’ibu kota’’ kelompok tersebut. Wilayah terakhir yang dibebaskan adalah Sinjar, berkat kerja sama Kurdi dan negara-negara sekutu pimpinan AS, termasuk Prancis.
Dalam
konteks seperti itu, aksi keji di Paris itu setidaknya menyampaikan pesan
sederhana. Bahwa ISIS, kendati dikeroyok oleh kekuatan Asad dan aliansinya,
negara-negara kawasan, plus kekuatan negara-negara besar, masih eksis. Mereka
masih mampu bertahan. Hal itu penting disampaikan minimal kepada para
pengikut dan simpatisannya yang diperkirakan makin banyak dan bersebar di
berbagai negara. Mungkin kalimat yang hendak
mereka sampaikan adalah ’’Negara khilafah masih ada dan kuat meskipun
diserang kekuatan-kekuatan besar dunia dan kawasan’’.
Pesan kedua
yang bisa dibaca disampaikan kepada musuh-musuhnya. ISIS, rupanya, hendak
berpesan bahwa perang terhadap mereka akan membawa akibat fatal. ISIS selama
ini sangat konsisten melakukan pembalasan terhadap aktor-aktor baru atau lama
yang terlibat perang untuk menghancurkan mereka. Bom bunuh diri di
Turki, Lebanon, jatuhnya pesawat Rusia di Sinai, dan deretan aksi teror lain
adalah konsistensi ISIS untuk melakukan serangan keji terhadap musuh mereka.
Perpecahan
Pascainsiden
Paris, hampir bisa dipastikan agenda memerangi ISIS akan semakin intensif.
Hal itu pula yang terjadi pascaaksi biadab pembakaran hidup-hidup pilot
Jordania, bom di Taman Suruc, Turki, jatuhnya pesawat Rusia, dan bom di basis
Hizbullah di Lebanon. Setiap ada insiden teror ISIS hampir selalu diiringi
datangnya aktor baru dalam perang melawan ISIS, atau setidaknya peningkatan
keterlibatan aktor tertentu.
Namun,
persoalan yang dihadapi dalam perang melawan ISIS adalah keterpecahan.
Kontestasi AS dan sekutunya dengan Rusia di kawasan jelas sangat mengganggu
agenda besar tersebut.
Yang lebih
parah adalah permusuhan yang begitu sengit antara blok Saudi dan Iran. Bagi
Saudi, Iran tetaplah musuh nomor satu, ISIS mungkin musuh nomor sekian. Bagi
Iran, kemungkinan juga demikian.
Hingga kini,
sudah berapa kali ISIS demikian terdesak. Celakanya, dalam pengamatan
penulis, setiap kali IS mengalami kemunduran signifikan di sejumlah front,
seolah setiap kali itu pula konflik antara Arab Saudi dan Iran menguat atau
memperoleh panggung konflik baru. Entah itu di Iraq, Yaman, atau tempat yang
lain. Hingga kini,
perpecahan di antara aktor yang perang melawan IS adalah faktor terpenting
kegagalan agenda perang terhadap kelompok brutal ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar