Dugaan Hanky-Panky di Petral
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 17 November 2015
Hasil
audit forensik atas PT Pertamina Energy
Trading Limited (Petral) dan anak usahanya harus diperlakukan sebagaimana
seharusnya. Membeberkan indikasi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang
kepada publik belumlah cukup. Publik pun berhak tahu siapa saja yang patut
dimintai pertanggungjawaban atas praktik manipulasi harga impor minyak mentah
(crude) dan produk bahan bakar
minyak (BBM) lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jangan ada yang
ditutup-tutupi. Hasil audit forensik Petral periode bisnis 1 Januari 2012 -
31 Mei 2015 oleh KordhaMentha sudah dibeberkan kepada publik.
Audit
forensik itu menelusuri dan mendeteksi praktik bisnis bernilai sangat besar.
Petral menguasai kontrak pengadaan crude dan BBM periode 2012-2014 bernilai
Rp250 triliun. Karena nilai impornya demikian besar, keuntungannya pun
pastilah sangat besar pula. Sebab, harga jual crude dan produk BBM kepada Pertamina adalah angka yang sudah di mark-up.
Sebagaimana
sudah disimak publik, hasil audit itu memberikan gambaran adanya penyimpangan
dan penyalahgunaan wewenang. Dari aspek konstruksi kasus, praktik bisnis ala
Petral beda-beda tipis dengan kartel daging sapi, kartel beras, dan kartel
lain yang selalu merecoki mekanisme pengadaan sejumlah komoditas kebutuhan
pokok rakyat. Komunitas industri minyak dan gas (migas) lebih suka menyebut
Petral dan jaringannya sebagai mafia migas.
Karena
mafia selalu berkonotasi dengan jaringan yang luas pada lingkup dunia usaha
dan birokrasi negara, praktik manipulasi harga itu pada akhirnya mengarah ke
tindak pidana korupsi berjamaah. Pebisnis dan oknum birokrat sama-sama
menangguk untung. Secara garis besar, audit forensik itu menemukan tiga
bentuk penyimpangan dan sejumlah keanehan atau ketidakwajaran.
Penyimpangan
pertama tentang anomali pengadaan oleh Petral sehingga harga crude dan BBM di
dalam negeri menjadi lebih tinggi. Karena tak pernah ada niat untuk
mengoreksi Petral, berarti terjadi pembiaran atas ulah Petral melakukan mark
up harga. Sebuah keanehan yang harus didalami oleh penegak hukum.
Kedua,
auditor menemukan praktik pembocoran informasi rahasia dalam proses pengadaan
minyak di Petral. Auditor menemukan praktik tidak fair itu dari hasil
pelacakan proses komunikasi pada email hingga percakapan yang berisi
pembocoran informasi tentang patokan harga dan volume impor BBM.
Temuan
ketiga, pihak ketiga ikut campur dalam proses pengadaan dan jual beli crude serta produksi BBM di Pertamina Energy Service Pte Ltd
(PES), anak usaha Petral. PES bertugas melakukan impor crude dan BBM. Pihak
ketiga berhasil memengaruhi pimpinan PES untuk memuluskan serta mengatur
tender dan harga.
Itu
sebabnya, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik. Juga terungkap bahwa ada
oknum Pertamina yang tidak kooperatif dalam mendukung proses audit forensik
atas bisnis Petral. Temuan ini menjadi bukti bahwa sisa-sisa jaringan Petral
masih mencoba memberikan perlawanan serta berupaya menyembunyikan bukti-bukti
yang diperlukan para auditor.
Tiga
poin utama dari temuan audit itu jelas-jelas mengindikasikan penyimpangan dan
penyalahgunaan hanky panky oleh
oknum birokrat atau pejabat tinggi negara. Kalau audit menyimpulkan bahwa
anomali pengadaan oleh Petral menyebabkan harga crude dan produk BBM di dalam negeri menjadi lebih mahal,
kesimpulan ini dengan mudah bisa diterjemahkan sebagai adanya mark up harga pengadaan.
Tetapi,
menjadi sangat aneh karena praktik mark up harga itu tidak pernah dikoreksi,
baik oleh pemerintah maupun Pertamina. Karena mark up harga pengadaan crude dan produk BBM itu berlangsung
selama tiga tahun lebih dengan nilai kontrak Rp250 triliun, berarti ada
pembiaran oleh pemerintah juga Pertamina.
Kalau
terjadi pembiaran, berarti ada kepentingan. Mudah ditebak bahwa kepentingan
di balik pembiaran mark up harga itu adalah pembagian keuntungan Petral
kepada sejumlah pihak yang sesungguhnya berwenang untuk menegur atau
mengoreksi gaya berbisnis orang-orang Petral.
Jangan Berbasa-Basi
Bagi-bagi
keuntungan itu patut untuk dikategorikan sebagai korupsi berjamaah, karena
sebagian dari total volume BBM yang diimpor Petral adalah BBM bersubsidi yang
pembayarannya oleh pemerintah kepada Pertamina dialokasikan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN). Sangat jelas bahwa mark upharga
pengadaan itu menyebabkan kerugian bagi negara dan rakyat.
Sebagai
konsumen, rakyat harus membayar BBM bersubsidi dengan harga yang sudah di mark up. Bukankah Pertamina sendiri
sudah mengakui keberhasilannya mewujudkan efisiensi dalam impor pengadaan
crudedan BBM setelah pembubaran Petral? Hingga September 2015, Pertamina bisa
menghemat hingga USD103 juta, setara Rp1,39 triliun (USD1=Rp13.500).
Penghematan
itu terwujud karena semua kegiatan impor crude dan BBM untuk kebutuhan dalam
negeri dilaksanakan oleh Pertamina melalui divisi Integrated Supply Chain (ISC). Dari gambaran yang demikian,
sangat kuat alasan untuk menindaklanjuti hasil audit forensik itu ke jalur
hukum.
Sejumlah
orang di luar Petral pun wajib dimintai pertanggungjawaban karena melakukan
pembiaran mark up harga itu.
Logikanya sederhana saja: hampir 200 juta rakyat dirugikan karena harga BBM
lebih mahal dari yang seharusnya. Kalau terjadi pembiaran, sama artinya
pemerintah pada periode itu tidak melindungi rakyatnya sendiri.
Ketiadaan
perlindungan terhadap rakyat itu bukan karena pemerintah sungguhsungguh tidak
mampu, melainkan sesuatu yang direkayasa demi keuntungan pribadi sejumlah
oknum pejabat negara. Maka, kepada mereka harus dimintai pertanggungjawaban.
Mengenai
siapa saja yang layak dimintai pertanggungjawaban itu cukup mengacu pada
batasan audit forensik Petral periode bisnis 1 Januari 2012 - 31 Mei 2015
itu. Karena audit itu sudah menemukan penyimpangan dan penyalahgunaan
wewenang, pemerintahan Presiden Joko Widodo tak perlu lagi berbasa-basi atau
bermain dengan katakata. Dilaporkan bahwa Menteri ESDM Sudirman Said dan
Menteri BUMN Rini Soemarno masih mengkaji hasil audit forensik itu.
Jika
ditemukan tindak pidana, keduanya akan memberikan rekomendasi kepada Presiden
untuk dihadapkan pada proses hukum. Proses yang demikian bisa menimbulkan
kecurigaan publik. Jika kasus Petral berpotensi menyeret orang-orang penting
dalam periode itu, pemerintahan sekarang ini dikhawatirkan akan kompromistis,
dengan cara menutup-nutupi keterlibatan oknum tertentu. Jangan sampai hal ini
terjadi.
Sebab,
sudah memahami masalahnya berdasarkan penuturan mantan Ketua Tim Reformasi
Tata Kelola Migas Faisal Basri. Diungkapkan bahwa niat membubarkan Petral
pada 2011 gagal karena menteri BUMN dan direktur utama Pertamina waktu itu
tidak mendapat dukungan dari atasan mereka. Bagi masyarakat pada umumnya,
keserakahan Petral bukanlah cerita baru.
Protes
terhadap ketamakan Petral sudah bertahun-tahun disuarakan. Namun, pemerintah
terdahulu sedikit pun tak pernah berniat menghentikan Petral. Konsumen BBM di
negeri ini telanjur dianggap bodoh. Semua kalkulasi publik tentang harga
jualbeli crudedan produk BBM lainnya selalu dinilai salah. Publik dipaksa
untuk menerima kalkulasi Petral sebagai kebenaran mutlak.
Petral
pun menjadi institusi yang untouchable. Kini, pemerintah sudah membubarkan
Petral. Akan tampak serbatanggung kalau hanya terhenti pada pembubaran itu.
Hasil audit forensik itu harus diperlakukan sebagaimana seharusnya.
Kalau ada dugaan tindak pidana korupsi,
kasusnya harus dihadapkan pada proses hukum, bukan hanya digoreng-goreng
untuk tujuan pencitraan. Rakyat Indonesia yang sudah dirugikan oleh Petral
ingin melihat ujung dari penanganan kasus ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar