Perekonomian Mulai Menggeliat
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
16 November 2015
Tidak sulit memaknai
data pertumbuhan ekonomi triwulan III-2015 yang mencapai 4,73 persen,
meningkat dibandingkan 4,67 persen pada triwulan II-2015. Tanpa bermaksud
menghibur diri, saya melihat indikasi perekonomian Indonesia menyentuh level
terendah. Jika semua berjalan baik dan tak ada kejutan yang berarti, kita
akan menyaksikan tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat pada triwulan
terakhir 2015. Tren ini berpeluang berlanjut pada 2016.
Perbaikan ekonomi pada
triwulan III- 2015 disebabkan dua hal. Pertama, belanja pemerintah mulai
meningkat. Pada dua triwulan pertama, belanja pemerintah terganggu faktor
nomenklatur organisasi pemerintah. Presiden Joko Widodo pernah menyatakan
terkejut dan baru sadar perubahan struktur kabinet ternyata berimplikasi pada
pelambatan belanja pemerintah. Perlu waktu menyesuaikan administrasi dan
birokrasi sebelum dana APBN dapat dicairkan.
Kedua, penguatan
dollar AS (atau sebaliknya pelemahan rupiah) cepat atau lambat akan menyentuh
titik jenuh. Dollar AS yang sudah terlalu kuat akan menggerus daya saingnya.
Akibatnya, daya serap tenaga kerja AS kini mulai melemah. Tenaga kerja di
sektor nonpertanian yang semula bisa terserap 200.000 orang hingga di atas
300.000 orang per bulan kini mulai tergelincir ke 100.000-an orang saja.
Hal ini menjadi alasan
bank sentral Amerika Serikat, The Fed, tak kunjung menaikkan suku bunga dari
level sekarang 0,25 persen. Sudah berapa bulan Gubernur The Fed Janet L
Yellen seperti menelan ludah, dengan menunda rencana menaikkan suku bunga.
Jika suku bunga dinaikkan, dollar AS akan kian menguat. Ini tentu tidak
dikehendaki karena berisiko pada pelemahan kemampuan penyerapan tenaga kerja.
Rupiah yang sempat
mencapai titik terendah Rp 14.700 per dollar AS kini stabil di level Rp
13.500-13.600 per dollar AS. Memang belum mencapai level optimal, tetapi
setidaknya tak lagi melemah secara liar, tak terkendali, dan tidak melampaui
batas psikologis Rp 15.000 per dollar AS.
Kombinasi belanja
pemerintah dan stabilitas rupiah pada level yang ”masuk akal” memicu
peningkatan kepercayaan pelaku ekonomi untuk kembali berbelanja. Pengeluaran
sisi konsumsi individual yang biasanya berkontribusi 60 persen terhadap
pembentukan produk domestik bruto mulai bergerak naik.
Harus diakui,
kebijakan deregulasi hingga enam paket juga ikut menyumbang perbaikan
persepsi pelaku ekonomi terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Dari
sekian banyak paket deregulasi itu, mungkin yang paling cepat direspons
positif adalah revaluasi aset. Bank besar dan sejumlah perusahaan besar lain
cukup antusias mengikuti program ini.
Dengan revaluasi, aset
bank akan meningkat. Implikasinya, modal inti bank meningkat, yang membuat
kemampuan bank mendorong kredit kian besar. Di sisi lain, pemerintah mendapat
penerimaan pajak dari revaluasi aset. Jika revaluasi dilakukan pada 2015,
pemerintah mengenakan pajak hanya 3 persen.
Momentum pertumbuhan
ekonomi yang mulai menggeliat harus dijaga. Dari sektor riil, pemerintah
harus mengawal deregulasi hingga benar-benar dapat terimplementasi secara
efektif. Jangan sampai semangat deregulasi alias ”ramah terhadap investasi”
hanya berhenti pada pencanangan oleh Presiden atau sebatas diumumkan menteri.
Deregulasi bukan cuma di tataran normatif atau wacana, melainkan juga menukik
pada wilayah operasional. Oleh karena itu, birokrat di level eselon di bawah
menteri (I, II, III) harus memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan yang
hendak dicapai.
Relaksasi regulasi dan
kemudahan menjalankan usaha merupakan hal yang dipahami, diresapi, dan
dijalankan birokrat. Jangan sampai mereka malah merasa terusik karena wilayah
kekuasaannya menjadi berkurang akibat dipangkas deregulasi. Deregulasi bisa
menjadi semacam konflik kepentingan bagi birokrat. Namun, kepentingan besar
harus dikedepankan. Negeri ini butuh percepatan industrialisasi untuk
menaikkan daya saing sehingga birokrasi yang membelenggu harus dienyahkan.
Masalah kedua adalah
suku bunga. Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) masih 7,5 persen.
Untuk mendorong geliat perekonomian, perlu penurunan suku bunga. Namun, BI
tetap harus berhitung tentang sensitivitas rupiah terhadap penurunan suku
bunga. Jika BI Rate diturunkan dari 7,5 persen ke 7,25 persen, apakah itu tak
mengusik stabilitas rupiah?
Jika rupiah melemah,
cadangan devisa pasti berkurang. BI tidak mungkin membiarkan rupiah melemah
tanpa intervensi. BI sudah berjanji senantiasa berada di pasar untuk mengawal
rupiah. Situasi dilematis ini akan mewarnai Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa
(17/11). Ini bukan hal yang mudah, sebagaimana The Fed setahun ini dalam
dilema menentukan kenaikan suku bunga.
Berangkat dari
pemahaman saat ini, stabilitas rupiah masih menjadi prioritas utama, saya
merekomendasikan BI Rate tetap ditahan dulu agar cadangan devisa tidak
merosot. Setelah 2015 berakhir dan kita benar-benar memiliki inflasi rendah,
misalnya 3,5 persen, BI Rate bisa diturunkan mulai Januari 2016. Dengan cara
itu, kita mulai bisa menggantung asa pertumbuhan ekonomi, setidaknya 5 persen
tahun depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar