Senin, 16 November 2015

Hanacaraka

Hanacaraka

Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 15 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kata syahibul hikayat, pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan di Pulau Jawa, yang bernama Medang Kamulan. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raksasa jahat bernama Dewata Cengkar, yang hobinya memangsa manusia rakyatnya sendiri yang dijadikannya sate, dan jeroannya dijadikan soto babat. Pada suatu hari datanglah seorang pemuda bernama Aji Saka yang hendak membunuh raja zalim dan thogut itu. Aji Saka berasal dari Bumi Majeti yang dipercaya berlokasi di India.

Entah bagaimana caranya (waktu itu belum ada Boeing 747), Aji Saka berhasil mendarat di tanah Jawa dan langsung merapat ke Medang Kamulan. Aji Saka ini punya dua pengawal setia (karena itulah sampai hari ini setiap presiden Indonesia dalam upacara-upacara resmi selalu dijaga dua ajudan yang siap berdiri tegak di belakangnya) yang bernama Dora dan Sembodo.

Ketika hendak berangkat ke tanah Jawa, Aji Saka memerintahkan Dora (tidak ada hubungannya dengan Doraemon, si kucing Jepang) untuk tetap berjaga di Bumi Majeti untuk menunggui pusakanya yang sakti. Ia berpesan wanti-wanti kepada Dora bahwa tidak ada satu orang pun boleh mengambil pusaka itu, kecuali dirinya sendiri. Maka berangkatlah Aji Saka dengan dikawal oleh Sembodo.

Tercerita, terjadilah perkelahian seru antara Aji Saka dan raja kanibal Dewata Cengkar. Walaupun berdarah-darah, Aji Saka berhasil mendorong Dewata Cengkar ke laut dan naik takhta menjadi Raja Medang Kamulan dengan gelar Prabu Aji Saka. Sayangnya Dewata Cengkar tidak tewas walaupun tercebur ke laut, tetapi berubah menjadi buaya putih, yang tak kalah ganasnya dan meneruskan hobinya memangsa manusia penduduk Medang Kamulan.

Beruntung Prabu Aji Saka dibantu oleh seekor ular raksasa yang berhasil membunuh buaya putih. Setelah negara aman dan terkendali, Aji Saka teringat kepada pusakanya yang ditinggalkan di Bumi Majeti. Maka dia pun segera mengutus Sembodo untuk mengambil pusakanya di Bumi Majeti. Sesampai di Bumi Majeti, Dora tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada Sembodo, karena ia berpegang kepada perintah bos bahwa tidak ada satu orang pun boleh mengambil pusaka itu, kecuali Aji Saka sendiri.

Di lain pihak, Sembodo juga ngotot , karena perintah bos adalah untuk mengambil pusaka itu. Maka berkelahilah kedua pengawal setia itu. Suatu perkelahian yang lama dan sangat seru, karena keduanya sama saktinya, tetapi akhirnya keduanya tewas karena sama-sama membela tuannya yang satu. Prabu Aji Saka, setelah menunggu sekian lama, merasa curiga mengapa Sembodo tidak datang-datang membawa pusaka yang ia pesankan.

Maka ia pun menyusul ke Bumi Majeti dan terkejut sekali ketika mengetahui bahwa keduanya sudah tewas demi membela dirinya. Untuk mengabadikan kesetiaan kedua pengawalnya, maka Prabu Aji Saka pun menciptakan sebuah puisi, yang kelak menjadi cikal-bakal huruf Jawa, yang berbunyi sebagai berikut, ”Hana Caraka, DataSawala, Padha Jayanya, Maga Batanga”, yang terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini, ”Dua Utusan, Saling Berselisih, Sama Saktinya, Inilah Mayatnya”.

Moral dari legenda di atas adalah bahwa Prabu Aji Saka boleh sakti mandraguna, dan bisa mengalahkan raja Dewata Cengkar yang jahat, namun dia teledor dengan perintah-perintahnya sendiri. Akibatnya dua ajudannya tewas, karena sama-sama mempertahankan perintah atasan.

Mungkin kalau di zamannya Aji Saka sudah ada HP, tidak perlu Dora dan Sembodo tewas bersama. Sebelum Sembodo berangkat Dora bisa di-SMS dulu tentang perubahan instruksi itu, sehingga Dora siap melaksanakan perintah baru yang dititipkan pada Sembodo. Sayang pada waktu itu teknologi belum secanggih itu, walaupun saya juga masih bingung bagaimana caranya Aji Saka dan Sembodo, mondar-mandir Bumi Majeti (di India)-Medang Kamulan (di Jawa) PP, seperti orang mondar-mandir dari Blok M-Harmoni naik Bus Transjakarta saja.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa di era teknologi informasi sekarang ini keteledoran (yang sengaja maupun tidak sengaja) tidak terjadi lagi. Inkonsistensi di kalangan para pemimpin justru lebih banyak terjadi di masa sekarang ini. Bukan lantaran tidak adanya teknologi informasi, melainkan justru karena terlalu banyaknya informasi yang masuk ke pada diri seorang pemimpin dan para anak buah, sehingga sangat mungkin terjadi distorsi informasi.

Hasil-hasil berbagai survei menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Presiden Jokowi naik-turun, namun lebih banyak turunnya daripada naiknya, yang bukan semata-mata karena kinerja atau integritas presiden yang buruk, tetapi karena memang tidak mudah membereskan negara yang sudah diwarisi karut-marut ini dari rezim-rezim pendahulunya dalam waktu sebentar.

Mereka yang tidak sabar mulai kurang percaya, dan mulai berbagi ke teman-temannya di media sosial. Media massa pun menumpang popularitas dengan menggelar aneka talk show yang lebih banyak merupakan curahan isi hati dan dengki ketimbang solusi. Belum lagi hoax yang bisa dibuat oleh orang iseng di mana saja, yang kemudian diunggah ke media sosial, dan langsung di-forward ke semua netizen sehingga cepat beredar secara viral ke seluruh nusantara.

Tetapi juga tidak berarti pemimpin jaman sekarang tidak teledor, bahkan banyak yang berpura-pura teledor, membuat kesalahan yang seakan-akan tidak sengaja, padahal maksudnya memang mau mengadu domba antar para pengikutnya. Maksudnya sudah jelas demi kepentingan pribadi. Siapakah pemimpin-pemimpin yang dimaksud? Silakan temukan sendiri. Saya yakin di sekitar anda banyak contohnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar