Senin, 16 November 2015

Tikus Sekarang Tak Takut Kucing

Tikus Sekarang Tak Takut Kucing

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                                KORAN SINDO, 14 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pekan lalu istri saya mengajak mampir ke toko obat-obatan yang terletak di kawasan Jalan Solo, Yogyakarta. Katanya membeli lem tikus. Entah dari mana asalnya dan di mana dilahirkan, belakangan ini di rumah saya mulai berkeliaran tikus yang kalau malam kadang naik ke meja makan, bahkan sering melintas, seakan menantang, jika saya sedang berdua dengan komputer. Lem tikus adalah semacam kertas lem plastik yang bisa diletakkan di tempat tersembunyi sehingga kalau ada tikus lewat dan menginjak kertas itu maka tikus itu takkan bisa lari, tinggal ditangkap.

Karena agak malas untuk masuk toko saya bilang pada istri agar tidak usah membeli lem tikus. Saya bilang, biar saja kucing yang berpatroli mengawasi dan menangkap tikus-tikus itu. Mendengar usul itu istri saya tertawa. ”Kucing apa? Sekarang ini kucing takut pada tikus. Tikus sekarang besar-besar, berani menthelelengi (memelototi) kucing,” kata istri saya. ”Hah, ngaco saja kamu,” bantah saya.

Istri saya malah semakin konkret bercerita. Katanya, malam Jumat kemarin ada tikus besar dan gemuk menyelinap, kemudian kucing mengejar untuk menangkapnya. Eh, tiba-tiba tikus berbalik dan memelototi kucing itu. ”Tahu tidak? Kucingnya berhenti mengejar, tak berani kepada tikus itu. Kucing itu hanya menoleh ke kanan dan ke kiri kemudian membiarkan tikus itu pergi,” tambah istri saya. Saya tak perlu tahu, apakah cerita itu benar atau tidak.

Yang jelas saya tertawa geli karena ceritanya ada kucing dipelototi oleh tikus dan kucing itu takut sehingga tak mau menerkamnya. Seperti itukah hubungan antara kucing dan tikus sekarang? Pada hal dulu, waktu saya masih remaja, kucing dikenal sebagai pemburu tikus yang sangat ditakuti. Dalam gambaran saya kucing itu ibarat tentara terlatih sedangkan tikus ibarat gali atau preman terminal.

Dalam gambaran saya dulu, kucing ibarat tentara yang bisa melakukan penembakan misterius (petrus) kepada preman tanpa babibu, sedangkan tikus-tikus ibarat para preman yang selalu ketakutan karena takut ditembak secara misterius oleh tentara. ”Itu sih tikus dan kucing zaman dulu, ketika hukum-hukum di kalangan binatang masih tegak. Sekarang ini kucing sudah pada takut kepada tikus karena tikusnya sekelas tikus wirog, sangat besar,” kata istri saya.

Malamnya saya merenung, mencoba membayangkan lebih jauh tentang perubahan hubungan diplomatik antara kucing dan tikus. Tikus berani pada kucing? Kucing ketakutan karena dipelototi tikus? Apa sebabnya? Mungkin karena tikusnya besar dan mempunyai kawan-kawan yang besar besar juga. Mungkin tikus-tikus itu sudah mengirim atau selalu menyediakan makanan lain yang enak kepada para kucing.

Mungkin juga ada tikus warok yang berdandan menyerupai kucing dan berbaur di kalangan masyarakat kucing dengan tugas menghalangi para kucing yang akan memburu tikus. Faktanya, tikus memelototi kucing dan kucing takut atau tersipu malu pada tikus yang mengejarnya. Tebersit di benak saya tentang tikus sebagai lambang korupsi dan koruptornya.

Wih , benar juga. Sekarang ini banyak masyarakat yang kecewa karena melihat banyak koruptor yang tak takut lagi kepada penegak hukum. Sering kali aparat penegak hukum diancam oleh koruptor, pejabat berkongkalikong dengan koruptor. Keadaan inilah yang menyebabkan perang melawan korupsi di Indonesia tidak efektif. Para koruptor sekarang ini bukan hanya tak terlihat takut, tetapi malah seperti menantang aparat penegak hukum dan masyarakat.

Lihat saja, orang yang sudah berompi oranye karena dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih bisa tampil arogan. Ada yang mencacipetugas, ada yang menjitak kepala wartawan, ada yang senyum-senyum sambil melambaikan tangan. Sungguh menjijikkan. Masyarakat sudah begitu muak terhadap para koruptor sehingga kerap muncul celotehan spontan yang menyamakan koruptor dengan binatang.

Dalam percakapan seharihari di dunia penegakan hukum koruptor memang dilambangkan dengan tikus. Selain suka mencuri makan, tikus suka menggigit dan mencuil kayu-kayu seperti kayu lemari dan kayu meja. Lemari atau meja yang tadinya bagus menjadi cuil dan rusak karena digeregeti tikus. Jadi, koruptor itu memang sama dengan tikus, binatang pencuri, penyebar penyakit, dan perusak lemari, meja, baju, kertas.

Maka, lucu juga, ketika beberapa waktu yang lalu, melalui Twitter, saya bercuit, ”Belum hilang kekagetan atas dijadikannya seorang anggota DPR sebagai tersangka oleh KPK kini ada lagi seorang anggota DPR yang ditangkap tangan dalam kasus korupsi.” Cuitan saya itu langsung ada yang membalas. ”Bukan seorang anggota DPR, Pak. Tapi seekor...”, bunyi cuitan itu. Jadi, koruptor tidak layak disebut seorang karena seorang itu artinya manusia.

Koruptor itu layak disebut ”seekor” karena secara sosial memang disamakan dengan binatang tikus. Ada yang bilang, kalau koruptor disamakan dengan binatang (tikus), maka kita patut khawatir, jangan-jangan parpol-parpol kita sekarang telah menjadi semacam tempat peternakan (binatang) koruptor. Buktinya, semua parpol yang punya wakil di DPR sekarang ini, mempunyai atau pernah mempunyai wakilwakilnya pula di KPK dalam kasus korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar