Asal-usul Nama Indonesia
Iwan Santosa ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
29 Oktober 2015
Ketika Sumpah Pemuda dicetuskan pada 28 Oktober 1928, nama
Indonesia sebagai identitas pemersatu sebuah bangsa modern di Asia menjadi
perekat lintas suku bangsa, agama, dan sekat-sekat primordial. Asal-usul nama
Indonesia mulai dikenal pada medio tahun 1800-an. Menurut sejarawan
Universitas Oxford, Peter Carey, nama Indonesia muncul dan diperkenalkan
James Richardson Logan (1819-1869) tahun 1850 dalam Journal of Indian
Archipelago and Eastern Asia.
Logan adalah orang Skotlandia yang menjadi editor majalah Penang
Gazette, wilayah Straits Settlement-kini Negara Bagian Penang, Malaysia-yang
bermu- kim di sana kurun waktu 1842-1847. "Nama yang diperkenalkan adalah
Indonesia untuk menyebut Kepulauan Hindia yang waktu itu merupakan jajahan
Belanda sehingga disebut Hindia-Belanda," kata Carey.
Bangsa Eropa mengenal dua wilayah Hindia, yakni Hindia-Barat,
yaitu wilayah Kepulauan Karibia yang ditemukan Christopher Columbus yang
semula diyakini sebagai wilayah Hindia (India)-pusat rempah-rempah yang
dicari orang Eropa. Sesudah ekspedisi Vasco da Gama dan Magellan,
ditemukanlah Hindia Timur, yakni Kepulauan Nusantara, yang merupakan pusat
rempah-rempah yang selama berabad-abad dicari orang Eropa.
Wilayah Nusantara tersebut merupakan persimpangan peradaban dan
pengaruh budaya India dan Tiongkok sehingga ilmuwan Perancis, Dennis Lombard,
menyebutnya sebagai carrefour de civilization atau silang budaya.
Sejarawan Yayasan Nation Building (Nabil), Didi Kwartanada,
menambahkan, informasi tentang seorang priayi Inggris, Earl George Samuel
Windsor (1813-1865), dalam karya ilmiah berjudul On The Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (1850)
mengusulkan sebutan khusus bagi warga Kepulauan Melayu atau Kepulauan Hindia
(Hindia-Belanda) dengan dua nama yang diusulkan, yakni Indunesia atau
Malayunesia.
Tokoh lain yang disebutkan Peter Carey dan Didi Kwartanada
adalah ilmuwan Jerman, Adolf Bastian (1826-1905), Guru Besar Etnologi di
Universitas Berlin, yang memopulerkan nama Indonesia di kalangan sarjana
Belanda. Bastian memopulerkan nama Indonesia dalam bukunya berjudul
Indonesien; Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel" terbitan 1884 sebanyak
lima jilid. Buku tersebut memuat hasil penelitiannya di Nusantara dalam kurun
1864-1880. Menurut Carey, Bastian membagi wilayah Nusantara dalam zona etnis
dan antropologi.
Identitas
gerakan politik
Nama Indonesia menjadi identitas politik ketika trio Douwes
Dekker, Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat), dan dokter Tjipto
Mangunkusumo mengusung gagasan modern berpolitik dalam Indische Partij
(Partai Hindia), yang menjadikan orang-orang kelahiran Indonesia membangun
kesadaran politik dan kebangsaan Indonesia tanpa membedakan sekat perbedaan
suku-rasial dan keyakinan.
Sebagai kilas balik yang menarik, sejarawan Remco Raben dan Ulbe
Bosma dalam buku Being Dutch In The Indies: A History of Creolisation and
Empire, 1500-1920, mengungkapkan, kesadaran sebagai "Putera Hindia"
juga muncul di kalangan Indo-Eropa. Bahkan, pernah terjadi unjuk rasa
menuntut hak sebagai Putera Hindia pada 1840-an yang sangat tidak lazim di
Hindia-Belanda yang sangat konservatif. Pasalnya, orang Eropa mengacu Benua Eropa
adalah tanah airnya. Mereka hanya menjadi pemukim-trekker-yang suatu hari
akan kembali ke Eropa dan tidak peduli masa depan Hindia.
Penulis buku Perang Napoleon di Jawa, 1811, Jean Rocher yang
lulusan Akademi Militer Saint Cyr dan fasih berbahasa Indonesia mengatakan,
reformasi politik pertama pada zaman penjajahan Belanda dilakukan oleh tokoh
yang tak populer dalam sejarah Indonesia, yakni Herman Willem Daendels.
Daendels memecat birokrat ko- rup dan mencabut hak-hak bangsawan lokal yang
berlebihan serta menjalankan efisiensi pemerintahan. Sejarah menempatkan
Daendels pada posisi antagonis.
Mengenai pertumbuhan dan kesadaran politik, Peter Carey
menjelaskan, Hindia-Belanda jauh tertinggal dibandingkan dengan Filipina yang
merupakan jajahan Amerika Serikat dan India yang merupakan jajahan Inggris.
Kesadaran untuk mempersiapkan kemerdekaan negeri jajahan sudah disadari pihak
AS dan Inggris.
Adapun kelahiran Indische Partji dan kemunculan gerakan Sarikat
Islam (SI) oleh HOS Tjokroaminoto dan kawan-kawan pada zaman Gubernur
Jenderal Idenburg memicu pergerakan kebangsaan lebih lanjut oleh para pemuda
yang mengalami banyak tekanan. Apalagi pada 1926, pemberontakan Komunis
ditumpas oleh Kolonial Belanda sehingga ruang aktivitas politik semakin
diperketat. Pada saat yang sama, krisis ekonomi global-malaise-melanda dunia
dan memukul Hindia-Belanda yang ekonominya mengandalkan ekspor komoditas,
seperti gula dan berbagai bahan mentah.
Pemanasan menjelang Sumpah Pemuda dimulai ketika tahun 1927, WR
Supratman dan Yo Kim Tjan, pemilik Toko Musik Populair di Pasar Baru,
berkolaborasi merekam lagu Indonesia Raya yang kemudian digandakan di
Inggris. Selanjutnya, pada 1928, para pemuda membuka Kongres Pemuda II di
lahan Jong Katoliek Bond di Kompleks Katedral dan ditutup di rumah Sie Kong
Liong di Jalan Kramat Raya 106, yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Pemuda, seperti Mohammad Yamin, Amir Sjarifoeddin, dan Asaat, yang kelak
menjadi pejabat presiden RI, pernah indekos di rumah Sie Kong Liong yang
menyokong gerakan para pemuda hingga lahir Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar