Emisi Kabut Asap, Tanda Buruk Menuju COP 21
T Nirarta Samadhi ; Direktur WRI Indonesia
|
KOMPAS,
29 Oktober 2015
Emisi gas rumah kaca Indonesia 2015, menurut perkiraan Bappenas,
akan mencapai 1.636 juta ton setara CO2. Menurut Global Fire Emissions Database yang menganalisis citra satelit
NASA Modis Active Fires Data,
sampai 20 Oktober 2015, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah
menghasilkan emisi gas rumah kaca 1.354 juta ton setara CO2.
Berdasarkan perhitungan World
Resources Institute (WRI), emisi harian akibat kebakaran hutan dan lahan
selama 26 hari dalam 44 hari terakhir-dihitung pada 14 Oktober 2015-telah
melewati emisi harian rata-rata seluruh kegiatan ekonomi Amerika Serikat yang
mencapai 15,95 juta ton setara CO2. Untuk perbandingan, besaran ekonomi
Amerika Serikat 20 kali lebih besar daripada ekonomi Indonesia. Dalam
perbandingan lain, seperti termuat pada laman Global Fire Emissions Database,
emisi total pada 26 hari tersebut juga telah melampaui emisi tahunan Jerman.
Artinya, kebakaran hutan dan lahan sampai tanggal tersebut telah
mencapai hampir 83 persen dari perkiraan total emisi Indonesia tahun 2015
dari semua sektor sumber emisi. Masih berdasarkan perkiraan Bappenas, tahun
2015, share atau proporsi emisi dari kebakaran gambut diperkirakan hanya 18
persen.
Sampai
Desember
Bulan kering yang sangat bersahabat dengan keberadaan api
kebakaran hutan dan lahan masih akan berlangsung setidaknya sampai awal
Desember 2015. Kebakaran masih akan terjadi dan emisi masih akan terakumulasi
dalam jumlah besar. Dengan kecenderungan ini, bisa jadi perkiraan emisi
Indonesia 2015 akan terlampaui dalam beberapa hari ke depan.
Indonesia mengatakan dalam dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDC, istilah untuk
kontribusi suatu negara dalam pengendalian perubahan iklim yang akan
disepakati pada COP 21), sebagai negara berkembang, emisinya masih akan
meningkat. Namun, berbagai tindakan pengurangan, baik melalui mitigasi maupun
adaptasi perubahan iklim, juga secara bersamaan dilakukan.
Angka perkiraan Bappenas pada dasarnya mencerminkan kehendak
itu. Secara matematis, akibat emisi tambahan dari kebakaran hutan dan lahan,
Indonesia pasti akan mempunyai trajektori emisi baru yang lebih buruk
dibandingkan sebelumnya. Apakah Indonesia masih menargetkan pengurangan emisi
sebesar 29 persen pada 2030 seperti yang termuat dalam INDC?
Kiranya perjalanan Indonesia menuju Konferensi Tingkat Tinggi
Perubahan Iklim (COP 21) di Paris menjadi perjalanan berat. Dalam sisa waktu
lima minggu menjelang COP 21, penting bagi pemerintah untuk bertindak
struktural dan sistematis dalam menangani kebakaran hutan dan lahan. Tindakan
tersebut harus dapat dibaca sebagai tindakan mitigasi dan adaptasi atas
pemanfaatan hutan dan lahan yang mampu secara signifikan dan pasti mengurangi
emisi dampak kebakaran hutan dan lahan, yang termasuk gas rumah kaca. Inilah
bekal yang dapat menyelamatkan wajah Indonesia.
Empat tindakan
Penting untuk memastikan semua tindakan penegakan hukum yang
saat ini dilaksanakan pemerintah tetap berlangsung dengan intensitas tinggi.
Aparat penegak hukum kiranya perlu mempertahankan sense of urgency and crisis
dalam menangani tindakan melawan hukum yang telah menyengsarakan jutaan
manusia di Indonesia dan negara tetangga.
Eksekusi hukum yang segera dan adil terhadap siapa pun yang
terbukti melanggar hukum dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan akan
memberikan momentum bagi pelaksanaan langkah jangka panjang yang struktural
dan sistematis.
Langkah pertama, menerbitkan Peraturan Presiden tentang Prosedur
Operasi Standar Nasional Pengendalian dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan
Lahan yang drafnya sudah siap di Kantor Menko Polhukam sejak tahun lalu.
Peraturan ini akan memudahkan reaksi cepat, otomatis, dan terkoordinasi
manakala terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Langkah kedua, melengkapi basis data perizinan berbasis lahan
secara lintas sektor/kementerian sebagai bagian dari Kebijakan Satu Peta.
Basis data ini akan memungkinkan pemerintah memantau dinamika penggunaan
lahan dan perizinan lahan secara lebih akurat. Artinya, penataan ruang yang
dilaksanakan pemerintah daerah akan mendapatkan referensi data spasial yang
lebih akurat untuk menghasilkan rencana tata ruang yang dapat diandalkan
untuk menghasilkan kepastian hukum.
Audit
kepatuhan
Langkah ketiga, sejalan dengan langkah kedua, melakukan audit
kepatuhan pada pemegang izin atau konsesi berdasarkan peraturan yang ada
serta syarat-syarat yang termuat dalam izin dan konsesi. Audit ini akan
menggambarkan, antara lain, poligon wilayah izin/konsesi, termasuk
batas-batasnya; kelengkapan administrasi perizinan, termasuk NPWP; rencana
kerja tahunan (RKT), termasuk penggunaan lahan dalam wilayah izin/konsesi;
laporan pelaksanaan RKT; serta kesiapan perlengkapan penanggulangan dan pencegahan
kebakaran.
Hasil yang diperoleh dari langkah kedua dan ketiga akan
menunjukkan diskrepansi dari lahan yang telah terdaftar secara administratif
dan memiliki legalitas dengan lahan yang masih belum memiliki kejelasan
legalitas di lapangan. Ini adalah langkah awal untuk melakukan intervensi
dukungan khusus pada petani/peladang kecil serta melakukan penertiban pada
spekulan dan penyerobot lahan.
Empat langkah tersebut sudah barang tentu akan memerlukan dasar
peraturan dan memicu gelombang perbaikan tata kelola. Namun, jika
dilaksanakan, hal itu akan memberikan sinyal kuat bahwa kebakaran hutan dan
lahan akan tertangani secara lebih struktural dan sistematis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar