UU Migas Merah Putih
Junaidi Albab Setiawan ; Pengamat
dan Praktisi Hukum Migas
|
KOMPAS, 17 Juni 2015
Undang-Undang
Migas yang lengkap dan komprehensif
menjadi kebutuhan sangat mendesak saat ini. UU Migas No 22/2001 tak lagi
mampu menjawab kebutuhan bangsa saat ini. Sebab, secara konseptual, UU No
22/2001 dianggap menyimpang dari konstitusi dan secara operasional tidak lagi
mampu mengarahkan pemanfaatan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat
sekaligus melindungi kepentingan
investor.
Pada 2015, rancangan
perubahan UU Migas 2001 masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Semangatnya mengembalikan UU Migas
yang sejalan dengan filosofi dan konstitusi bangsa Indonesia. Presiden
ke-5 RI, Megawati Soekarno Putri, pada seminar nasional "Migas untuk
Kemandirian Energi" di Gedung Kompleks Parlemen (27/2/2013) mengusulkan
UU Migas khas Indonesia sebagai UU Migas "Merah Putih".
Keinginan melahirkan
UU Migas Merah Putih itu juga muncul
dalam visi misi dan program pemerintahan Joko Widodo. Pada butir 7 "Sembilan Agenda
Prioritas" serta dalam rencana implementasi Trisakti, di angka 3 (2) disebutkan, "Dalam
jangka menengah, pemerintahan Jokowi akan merevisi UU Migas Merah Putih yang
berkarakter membangun kapasitas nasional yang akan mampu memberikan kepastian
hukum secara permanen." Secara tegas, rezim ini berkomitmen mendorong
lahirnya UU Migas yang berbasis pada
Pasal 33 UUD 1945 dengan roh Trisakti.
Arti penting UU Migas
Mengingat migas adalah
salah satu hajat hidup rakyat yang berjumlah terbatas dan tidak terbarukan
serta pendapatan dari sektor migas penting untuk menopang pembangunan bangsa,
UU Migas harus mampu jadi acuan dalam pemanfaatan migas nasional. UU ini
harus bersumber pada konstitusi yang merupakan arah dan tujuan didirikannya negara.
UU Migas yang tidak sejalan dengan konstitusi akan berisiko mudah berubah
(labil), terombang-ombing mengikuti desakan zaman. Inilah yang terjadi pada
UU Migas yang berlaku saat ini.
Pemanfaatan migas
butuh aturan kuat yang mampu melewati batas rezim. Aturan itu harus mampu
jadi landasan yang kokoh sekaligus payung hukum dalam aktivitas pemanfaatan migas yang
berkarakter jangka panjang. Aturan yang lemah juga akan berakibat kurangnya
minat investasi di bidang migas yang
memiliki karakter unik berbeda daripada bisnis lain. Paling tidak ada empat
faktor yang membuat industri hulu migas unik:
(i) lamanya rentang waktu antara saat terjadinya pengeluaran dan
pendapatan; (ii) keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian
tinggi serta melibatkan teknologi canggih; (iii) sektor ini perlu modal yang
cukup besar, tetapi (iv) di balik semua risiko itu industri migas juga
menjanjikan keuntungan yang cukup tinggi (Benny Lubiantara, 2012).
Faktanya, Indonesia
menghadapi keterbatasan dalam hal dana dan kemampuan sehingga membuka ruang
bagi investor asing dalam eksplorasi dan eksploitasi migas merupakan
keniscayaan. Karena itu, UU Migas
harus terkait dengan aturan investasi yang memberikan jaminan kepada investor
agar terbebas dari risiko perubahan politik dan peraturan. Jadi, UU
migas tidak berorientasi lokal semata,
tetapi harus mampu mengakomodasi hadirnya investasi asing yang mensyaratkan
suatu kepastian hukum.
Aturan dalam UU
Migas harus juga mengatur struktur
kelembagaan dan birokrasi dalam pengelolaan migas yang meliputi pengaturan
kebijakan umum, perizinan, pengawasan,
serta pengaturan pemanfaatan dan distribusi yang maksimal, yang berorientasi
bagi kemakmuran rakyat. Di antaranya dengan mendirikan suatu national oil company, yang semua sahamnya
dimiliki negara sebagai pelaksana kuasa pertambangan.
UU Migas juga harus
mengatur distribusi yang adil dalam hal pemanfaatan migas secara
proporsional. Adil dalam artian sesuai kebutuhan riil yang wajib memerhatikan
aspek pemerataan pembangunan dan
karakter geografis Indonesia sebagai negeri kepulauan.
UU Migas yang berlaku
sekarang produk reformasi yang perumusannya diwarnai oleh pengaruh
liberalisme, khususnya IMF sebagai kreditor
yang memiliki agenda khusus. Pada saat itu Indonesia sedang "tersandera"
akibat utang-utang peninggalan rezim lama ditambah adanya perampokan uang
negara (BLBI) oleh para pengkhianat bangsa pada saat ekonomi Indonesia sedang
sekarat. Akibatnya, kita tidak cukup
bebas untuk bisa mengekspresikan keinginan kita bahkan dalam hal menyesuaikan
isi UU dengan bunyi konstitusi sekalipun.
UU Migas sekarang
berorientasi pasar, yang dalam kosiderannya dengan tegas memosisikan migas
sebagai komoditi. Sebagai komoditi tentu sangat bergantung pada mekanisme
pasar yang bertujuan mencari untung berdasar penawaran dan permintaan. Peran
negara pun tereduksi atau bahkan cenderung ditiadakan. Akibatnya perlindungan
terhadap posisi migas bagi hajat hidup
rakyat jadi terabaikan.
Beberapa ketentuan
pokok UU Migas 2001 telah dikoreksi oleh putusan MK No 36/PUU-X/2012-MK.
Dalam putusan ini, yang dibatalkan meliputi aturan-aturan yang bersifat strategis, termasuk aturan
kelembagaan hulu migas (BP Migas).
Akibatnya, UU Migas yang ada "centang-perenang" dan tak
layak lagi jadi acuan hukum. Saat ini aturan migas jadi tambal sulam, lebih
didominasi oleh peraturan-peraturan operasional, sehingga secara esensial
pemanfaatan dan pengelolaan migas
berjalan tanpa arah yang jelas.
Revisi UU Migas
Revisi tambal sulam
terhadap UU Migas tidaklah cukup. Agar masalah migas tak semakin kronis, yang
dibutuhkan adalah UU Migas baru yang
lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi tetap disesuikan dengan
perkembangan zaman.
UU Migas baru
ditantang mampu menghubungkan tataran konsepsional yang "merah
putih" agar tidak sekadar slogan, dengan tataran operasional sesuai
kebutuhan riil. UU Migas harus mencerminkan kepribadian bangsa yang lebih
mengutamakan kepentingan nasional. UU Migas harus kembali pada paradigma
konstitusi, memperjelas keberpihakan pada kemandirian ekonomi bangsa untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi tetap dapat berlaku global. Sebab,
bisnis migas adalah bisnis global yang sangat dipengaruhi: (i) nilai tukar
uang karena 40 persen kebutuhan operasi hulu migas masih harus dipenuhi dari
luar negeri dan (ii) harga minyak dunia. Faktanya, sebagai akibat UU Migas
yang lemah, selain perlindungan negara terhadap hajat hidup dasar rakyat
melemah, minat investasi migas pun ikut melemah.
Yang dibutuhkan saat
ini adalah UU Migas yang kuat secara komprehensif mengatur kebijakan, kelembagaan dan
pengawasan, serta pelaksanaan, tetapi tetap berbasis konstitusisehingga dari
waktu ke waktu mampu menjadi acuan dan payung hukum dalam pemanfaatan migas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar