Mencari(-cari) Pimpinan KPK
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), FH
Universitas Andalas
|
KOMPAS, 17 Juni 2015
Sejak semula
diperkirakan tidak mudah mencari calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain ancaman kriminalisasi yang potensial hadir saban waktu, pengalaman
waktu sekitar enam tahun terakhir, lembaga ini jelas memerlukan figur yang
berada dalam level extraordinary.
Karena itu, proses pencarian kandidat juga memerlukan upaya yang extraordinary.
Boleh jadi untuk
memenuhi tuntutan tersebut, ritme kerja sembilan srikandi jauh lebih sibuk
dibandingkan semua panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK yang pernah
dibentuk. Tujuannya jelas, menemukan dan menyodorkan delapan calon kepada Presiden
Joko Widodo. Setelah itu, kandidat bersiap menghadapi proses uji kelayakan
dan kepatutan di DPR.
Jamak dipahami, di
tahap pertama, pekerjaan terberat pansel adalah mendorong berbagai kalangan
mengajukan diri sebagai calon. Tak hanya pasif, pansel juga berupaya
menghadirkan pendaftar dengan pendekatan "jemput bola". Sebagai
bagian dari langkah jemput bola tersebut, pansel tidak hanya mendatangi
banyak lembaga, juga telah dan sedang melakukan road show ke sembilan kota di luar Jakarta.
Hampir dapat dipastikan,
tujuan utama dari semua langkah tersebut: bagaimana menemukan calon yang
memenuhi kualifikasi extraordinary
dengan margin perbedaan di antara mereka yang tidak terlalu tajam. Dengan
begitu publik tidak perlu merasa khawatir dengan proses politik berupa uji
kelayakan dan kepatutan ketika menentukan pimpinan KPK.
Perwakilan lembaga
Pengalaman ketika
menjadi Pansel Pimpinan KPK 2011, di antara kami ada yang pernah menjadi
bagian dari lembaga penegak hukum yang terkait dengan KPK. Pada batas-batas tertentu,
posisi demikian kadang kala muncul dalam membahas dan memutuskan calon.
Karena itu, meski dengan kadar sangat terbatas, pandangan pro-kontra terhadap
calon tidak mungkin dihindarkan sama sekali. Untungnya, kalaupun terdapat
perbedaan yang tajam, kami tak pernah mengalami kebuntuan.
Artinya, dengan
komposisi saat ini, pansel tak akan terjebak dengan kepentingan institusi.
Dengan posisi demikian, proses pencarian dan penemuan calon akan jauh dari
kemungkinan adanya intrik internal. Dengan begitu pansel memiliki ruang
mendapatkan calon pimpinan KPK yang memiliki integritas, komitmen dan
keberanian memberantas korupsi, kemampuan, serta kepemimpinan, dan
independensi yang tidak diragukan lagi. Bahkan, pansel masih bisa menambah
kriteria lain: memiliki kemampuan persuasi menghadapi berbagai tekanan kepada
KPK.
Sekalipun secara
positif dibaca bahwa pansel tidak akan terjebak dengan institusi asal penegak
hukum, adanya upaya mengajukan calon dengan mengatasnamakan lembaga harus
diberi perhatian khusus. Misalnya, hari-hari terakhir diwartakan bahwa
sejumlah perwira aktif di kepolisian ikut meramaikan bursa pencalonan
pimpinan KPK. Sebagai sebuah proses yang terbuka, sejauh memenuhi
persyaratan, siapa saja yang berminat memiliki kesempatan mengajukan diri.
Akan tetapi, perlu
dicatat, tak boleh ada calon yang berada dalam posisi bukan calon mandiri
atau merupakan representasi institusi, termasuk institusi penegak hukum.
Sekiranya dibenarkan calon perwakilan dari sebuah institusi, maka ancaman
paling serius yang menghadang di depan adalah jika terpilih nanti yang
bersangkutan hampir dapat dipastikan sulit bersikap obyektif kepada institusi
yang mengusung mereka dalam proses pencalonan. Bahkan, melihat bentangan
empirik yang ada, mereka yang telah purnatugas pun sulit juga menjadi
independen terhadap institusi awal mereka.
Sikap tegas pansel
terhadap calon yang hadir sebagai representasi institusi atau calon yang
diajukan oleh suatu institusi sangat diperlukan. Melihat situasi yang ada dan
kebutuhan KPK ke depan, pansel harus dapat memastikan: calon yang merupakan
representasi institusi potensial "mengganggu" KPK pada gilirannya
akan bermuara pada laju agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, pansel
jangan terpengaruh dengan bujuk-rayu "mereka
adalah figur-figur terbaik di institusi kami". Dalam batas penalaran
yang wajar, jikalau memang figur terbaik mengapa harus dikaryakan ke
institusi lain?
Ancaman kriminalisasi
Jamak dipahami, di
tengah situasi yang ada saat ini, proses pencarian dan penjaringan calon pimpinan
KPK pasti jauh dari mudah. Bentangan fakta yang menimpa beberapa personel di
KPK menjadikan ladang pengabdian di lembaga anti korupsi ini sebagai ajang
uji nyali dengan ancaman tak bertepi. Bagaimanapun, tragedi yang dialami
Bambang Widjojanto dan kawan-kawan berpengaruh signifikan dalam proses
penjaringan calon.
Boleh jadi, karena
kekhawatiran itu, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri merasa perlu
menyampaikan pernyataan terbuka, "Insya
Allah, Polri tak usut kasus lama pimpinan KPK mendatang." Pernyataan
ini terkait dengan celah kriminalisasi yang terdapat dalam Pasal 32 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan, dalam hal
pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan
sementara dari jabatannya. Berkaca dari peristiwa tragis yang menimpa Bambang
dan kawan-kawan, rumusan Pasal 32 Ayat (2) tersebut yang dipakai untuk
mempercepat masa "pensiun" mereka dari KPK.
Sekalipun ada
pernyataan tersebut, secara hukum tak ada jaminan bagi pimpinan KPK terbebas
dari kemungkinan kriminalisasi karena indikasi tindak pidana sebelum
terpilih. Selama ketentuan ini masih eksis, dengan dalil penegakan hukum,
celah Pasal 32 Ayat (2) ini sangat mungkin dimanfaatkan penyidik menetapkan
pimpinan KPK sebagai tersangka dugaan tindak pidana, meski indikasi kejahatan
yang dilakukan sumir dan bisa saja dengan dalil yang sangat dicari-cari.
Sebagai sebuah lembaga
dengan wewenang yang luar biasa, Pasal 32 Ayat (2) sesungguhnya menghendaki
setiap pimpinan KPK memiliki standar moral tinggi dan manusia dengan tanpa
toleransi melakukan pidana sekecil apa pun. Hanya saja, di balik semangat
baik tersebut tersimpan bom waktu yang dapat meledakkan kerja besar KPK. Bom
waktu itu akan menjadi aktif saat langkah pemberantasan korupsi diarahkan
kepada lembaga penegak hukum.
Paling tidak,
pengalaman yang menimpa Bambang dan kawan-kawan tersebut membuktikan betapa
liarnya Pasal 32 Ayat (2) jika tanpa pembatasan yang dapat memberikan rasa
aman bagi pimpinan KPK. Semoga persoalan ini dapat dijawab Mahkamah
Konstitusi yang tengah menguji konstitusionalitas Pasal 32 Ayat (2). Sebab,
bagaimanapun, bila tidak dibatasi, dengan wewenang penyidikan yang dimiliki
penegak hukum lain, misalnya kepolisian, pasal ini potensial dimanfaatkan
untuk "mengganggu" KPK. Caranya sederhana, dengan dalil hukum dan
bukti-bukti yang mungkin dicari-cari, pimpinan KPK dapat menjadi tersangka.
Sadar atau tidak,
kondisi di atas benar-benar menjadi suasana tidak menguntungkan yang
menyelimuti proses seleksi pimpinan KPK generasi keempat. Sebagai sekumpulan
figur yang diamanatkan mencari dan menemukan calon pimpinan KPK yang
kredibel, pansel harus mampu keluar dari impitan persoalan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar