Selasa, 23 Juni 2015

Sertifikasi Masjid dan Ponpes

Sertifikasi Masjid dan Ponpes

M Hasan Mutawakkil Alallah  ;   Ketua Tanfidziyah PW NU Jawa Timur
JAWA POS, 20 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MANUSIA semakin lama semakin banyak. Bertambahnya jumlah manusia itu biasanya diiringi dengan berbagai masalah yang mungkin muncul untuk melingkupinya. Semakin tinggi pertambahan penduduk itu, semakin kompleks pula tingkat masalahnya. Apalagi, kompleksitas masalah tersebut bisa saja semakin tinggi saat kepentingan pribadi atau bahkan kelompok semakin menonjol. Lebih-lebih lagi, perbedaan masa sering pula diikuti perbedaan kepentingan.

Di sinilah gagasan percepatan sertifikasi aset penting untuk dilakukan. Salah satu aset yang selama ini mendapatkan perhatian paling kecil adalah lahan rumah ibadah maupun pondok pesantren (ponpes). Karena itulah, sertifikasi lahan rumah ibadah dan ponpes menarik untuk diperbincangkan.

Gagasan sertifikasi lahan rumah ibadah dan ponpes mulai menguat melalui kesepakatan antara Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan. Bahkan, di sela-sela acara welcome dinner rakerda DPD Realestat Indonesia (REI) Jawa Timur di Ciputra World Surabaya Rabu (3/6/2015), menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN memberikan kepastian, ”Kemarin melalui menteri agama dan kami akan MoU, menangani secara khusus mempercepat sertifikasi. Supaya di negeri ini tidak ada rumah ibadahpondok pesantren yang tergusur.”

Keseriusan gagasan sertifikasi masjid dan ponpes itu layak didukung. Sebab, langkah menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN sangat konkret. Dia telah mendatangi dan melakukan MoU dengan beberapa kelompok sosial agar menginventarisasi status tanah masjid yang dimiliki. Bahkan, menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN sudah mulai memantapkan desain mengenai tanah wakaf supaya tidak menjadi sumber masalah dalam kaitannya dengan status keberadaan tempat ibadah.

NU Jatim pun pernah menggelar rangkaian seminar nasional yang bertema Gerakan Nasional Penyelamatan Aset-Aset Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sukolilo pada Sabtu (6/6/2015). Dalam rangkaian itu, telah ditandatangani nota kesepahaman (MoU) antara NU serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN.

Jika melihat pentingnya pendataan dan sertifikasi aset itu, sinergi antara ormas dan pemerintah menjadi sangat bernilai tinggi. Sinergi tersebut dibutuhkan dalam usaha melindungi aset-aset yang dimiliki ormas seperti NU. Salah satu contoh konkret, sinergi tersebut berbentuk pengambilan langkah taktis. Di antaranya, NU bersama tim Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN membentuk Tim Sertifikasi Aset Nahdlatul Ulama untuk mempercepat pengurusan administrasi aset-aset NU, antara lain masjid dan ponpes.

Kita perlu menghargai gagasan sertifikasi masjid dan ponpes dari menteri agama yang dikonkretkan bersama menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN itu. Sebab, tujuannya sangat baik, yakni tidak ada rumah ibadah yang digusur dan timbul sengketa lahan. Jangan sampai ada sengketa tanah atas rumah ibadah dan ponpes.

Menggalakkan sertifikasi aset berbadan hukum adalah keputusan yang rasional. Langkah itu sangat –bagi saya al faqir– berarti upaya untuk menghindari perselisihan antara ahli waris atau dengan organisasi lain yang memiliki kepentingan tertentu. Tentu saja langkah paling awal yang harus dilakukan meliputi pendataan dan pemrosesan aset. Setelah pendataan selesai, langkah selanjutnya adalah sertifikasi atas aset itu supaya berkekuatan hukum tetap.

Selama ini, NU memiliki pengalaman yang cukup pahit. Terhadap aset-asetnya, selalu dinyatakan milik NU. Tapi, klaim kepemilikan itu sangat sering tidak didukung oleh surat-surat dan legalitasnya. Akibatnya, legalitas kepemilikan tersebut sering dipertanyakan.

Sebagai contoh kecil, selama ini ada 13.000 aset milik NU Jatim. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 5.000 aset yang sudah berbadan hukum NU. Itu semua berarti bahwa sertifikasi aset kelembagaan cenderung masih sangat rendah, di bawah 50 persen.

Sejarah memberikan nasihat hidup yang penting. Selama ini, para ulama dikenal sangat ikhlas dalam berjuang. Bahkan, untuk kepentingan perjuangan itu, mereka ikhlas menyerahkan aset tanah hingga bangunan di atasnya untuk digunakan sebagai tempat pembinaan umat atau pemberdayaan masyarakat.

Keikhlasan para ulama yang tinggi tersebut harus kita dukung dengan melakukan pengadministrasian atas nilai keikhlasan itu. Kita semua tidak berharap keikhlasan tersebut akan diselewengkan untuk kepentingan sesaat oleh pihak-pihak yang berkepribadian buruk. Karena itu, sertifikasi atas aset yang berupa lahan tempat ibadan dan ponpes adalah bentuk dukungan untuk melanggengkan nilai dan pahala keikhlasan para ulama tersebut.

Kasus-kasus sengketa lahan belakangan ini harus menyadarkan kita semua atas pentingnya sertifikasi aset. Akibatnya akan sangat buruk bila pendataan, pengadministrasian, hingga sertifikasi aset itu lalai dilakukan. Sebab, di sana akan ada orang tua yang dipenjarakan anak kandung gara-gara sengketa lahan. Di sana juga akan ada anggota keluarga yang dibawa ke pengadilan gara-gara rebutan aset tanah dan bangunan.

Sertifikasi ingin menyelamatkan siapa pun yang berkaitan dengan aset, baik dalam kapasitas pemilik maupun pengguna. Rumah ibadah dan ponpes adalah tempat individu dan masyarakat untuk menempa diri dan mengembangkan sumber daya manusia guna kebaikan bersama. Sertifikasi sama artinya dengan penyelamatan bersama atas aset demi kebaikan dan kemajuan bersama pula. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar