Minggu, 21 Juni 2015

Puasa dan Komitmen Transformasi Sosial

Puasa dan Komitmen Transformasi Sosial

M Muchlas Rowi  ;   Pembina Forum Silaturahmi Warga Muslim JGC;
Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
KORAN SINDO, 18 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Puasa bisa dilihat juga sebagai pendidikan ideologi sosial radikal bagi orang yang menjalaninya. Inti pendidikan itu adalah transformasi sosial. Jika sebelum ritual puasa, realitas sosial menunjukkan kemungkaran sosial (dehumanisasi) di mana-mana, korupsi merajalela, dan kekerasan telah menjadi logika umum di masyarakat, maka logikanya puasa mesti menghasilkan alumni pendidikan ideologi sosial yang berani melakukan jihad akbar atau perang besar melawan hawa nafsu berupa kemungkaran dalam kenyataan hidup sehari-hari. Lalu, jika kemungkaran masih tetap berjaya, bahkan semakin akut, itu berarti pelaku puasa tidak mengamalkan ilmu yang didapat dari puasa.

Bagi para penganut logika formalistis, jika tujuan yang diamanatkan puasa tak dapat menggerakkan transformasi sosial (tanpa hasil), maka puasa (meminjam istilahnya Bacon, 1625) menjadi epistemologi yang keliru. Lalu untuk apa berlapar-lapar puasa jika ternyata ada aksioma (badihi), hipotesis, dan terapi lain yang mampu menggerakkan misi profetik tersebut?

Sesat Pikir

Inilah kekeliruan logika formal Aristotelian yang acap kali menjangkiti para penganut agama, termasuk para pelaku puasa (shaimun). Penyakit yang sebetulnya telah menampakkan akarnya sejak Ibnu Sina dan Al-Farabi menerjemahkan logika formal Aristotelian ke dalam logika (mantiq) dalam Islam, bahkan hingga qiyas Imam Syafii yang kaku dan formalistik (Mulkhan, 1997).

Logika praksis yang formalistik ini menjadikan umat selalu berpikiran sederhana (instant), bahkan dangkal (sathihi). Tak heran jika puasa yang dijalani dianggap telah cukup dan sempurna bila diiringi dengan membayar zakat fitrah, memakai jilbab bagi perempuan, berjanggut bagi lelaki, dan tadarus. Sedangkan bagi media massa, puasa dianggap cukup religius dan sempurna hanya dengan menayangkan sinetron berbau keagamaan, kuis Ramadan, ataupun tayangan infotainment yang menceritakan pengalaman publik figur yang mendapat berkah puasa, sementara di sekelilingnya kemungkaran sosial semakin merajalela serta jarak antara si miskin dan si kaya kian menganga.

Pada akhirnya logika praksis meniscayakan puasa sebagai aktivitas individual, menjadi dangkal dan sederhana, namun dengan pengharapan yang besar dan global (Russel, 1946). Mengharapkan terjadi transformasi sosial secara radikal dan global, namun dengan neraca dan kunci epistemologi yang dangkal dan sederhana, tentumerupakanhal yangmusykil. Sebab, justrusebaliknya, logika formal meniscayakan manusia yang saleh secara individual, namun miskin kepedulian sosial.

Logika dangkal (sathihi) bahkan belakangan menahbiskan bahwa transformasi sosial, tatanan masyarakat yang tertata secara baik, dan perubahan sosial tak melulu memerlukan segala konsepsi metafisika tentang kebaikan. Ritual puasa, zakat, agama, ataupun hal-hal bersifat tradisional tak diperlukan lagi. Sebaliknya, untuk menafsirkan bahasa zaman yang mutakhir diperlukan epistemologi dan ilmu pengetahuan yang bersumber pada akal dan rasionalitas. Segala konsepsi tradisional, menurut penganut logika ini, ternyata tak kunjung meniscayakan umatnya untuk membentuk tatanan masyarakat yang lebih beradab (civilized), alih-alih justru memunculkan kemandekan (jumud), radikalisme, bahkan terorisme.

 Atas nama sains dan peradaban, penganut logika formal ini berusaha mengakhiri anakronisme pandangan teosentrisme ke arah antroposentrisme, yaitu membuat manusia menjadi tolok ukur dari segala sesuatu (humanisme dan eksistensialisme). Menekankan kemerdekaan ”akal” dari ”wahyu” dan intuisi intelektual, ditambah penghambaan pada humanisme, rasionalisme, empirisme, dan naturalisme pasif, serta kemerdekaan dan kebebasan semu hanya menciptakan manusia-manusia kaku yang dipenuhi hasrat (desire) dan kesadaran palsu (fals counsiousness).

Ideologi Sosial-Radikal

Merespons kecenderungan logika formalistik dan pandangan underestimate atas logika tradisional tersebut, penggagas teologi transformatif Dr. Muslim Abdurrahman menyuguhkan pemaknaan tradisional-kritis, rasionalisasi keimanan (fides quern intelectum) khususnya terkait ibadah puasa dengan menggunakan neraca dan kunci epistemologi yang lebih holistis melalui pemaknaan kritis pesan Nabi Muhammad SAW tentang esensi puasa dan kemungkaran sosial. Dalam pesan profetik tersebut, ia menangkap pesan idiologi sosial yang sangat radikal dalam hadis Nabi, ”Makanlah sebelum kamu lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”. Ideologi sosial yang kemudian menyiratkan tiga misi profetik yang harus dimiliki umat berpuasa dalam menghadapi kemungkaran sosial, yaitu; egalitarianisme, moralitas zuhud, dan jihad akbar.

Bagi orang miskin, menahan haus dan lapar tentu merupakan hal yang biasa dan telah menjadi perjuangan sehari-hari. Orang miskin telah terbiasa menahan hasrat sehingga jauh dari konsumerisme. Sedangkan bagi si kaya yang lebih diuntungkan oleh laju pertumbuhan ekonomi, menahan hasrat konsumtif tentu bukan hal biasa. Bahkan, mungkin malah dianggap sebagai jihad akbar, yaitu melakukan perang tertutup melawan nafsu dan kerakusan sosial.

Puasa pada hakikatnya meniscayakan kesamaan perasaan dan realitas sosial (egalitarianisme). Si kaya ataupun si miskin dituntut untuk mampu menahan lapar dan haus akan materi (moralitas zuhud). Tak ada yang membedakan para pelaku puasa kecuali ketakwaannya (laallakum tattaquun), karena puasa merupakan proses penyucian jiwa yang meniscayakan kembalinya manusia pada naluri dan fitrahnya sebagai manusia yang memiliki potensi kebaikan dan kesempurnaan.

Transformasi sosial pada akhirnya akan ditentukan kemampuan para shaaimun untuk sampai pada kesucian (fitrah) dan qudrah-nya sebagai pencapaian terakhir dan kesempurnaan manusia (al-Insan al-kaamil) yang merefleksikan aktivitas sosial. Sebagaimana kata Feurbach bahwa neraca kebenaran epistemologi mesti berupa aktivitas sosial atau kesalehan sosial dalam bahasa agama.

Senada dengan Muslim Abdurrahman, Feurbach, dan Bertrand Russel, bahkan Murtadha Mutahhari menawarkan pemaknaan semiotika agama dan epistemologi yang mendasar dan radikal. Menurut Mutahhari, pemaknaan simbol keagamaan yang telah menjadi ritual, misalnya puasa, jika hanya berdasarkan logika formal Aristotelian ansich, hanya akan menimbulkan kebekuan dan kekakuan laju dan gerak bahasa zaman yang kian mutakhir.
Kulminasinya adalah kemungkaran sosial niscaya semakin merasuki umat, bahkan diyakini sebagai hal biasa dan pada akhirnya dianggap sebagai hakikat. Sebab, pada dasarnya penganut logika ini tak peduli pada hakikat ataupun kebenaran. Baginya, yang terpenting hanyalah logika praksis dan manfaat. Selama hal itu memberikan manfaat bagi peradaban manusia, maka tak ada masalah.

Tak ayal, kemungkaran sosial hanya mungkin dapat diatasi dan diperangi, baik secara tertutup maupun terbuka, oleh orang-orang yang tak hanya saleh secara individual (individual activity), tapi juga saleh secara sosial (social activity). Dan, kesalehan sosial hanya mungkin diraih orang-orang yang memaknai puasa dengan tak hanya menggunakan logika formalistik ansich. Namun, perlu juga menggunakan logika epistemologi holistis yang tak berhenti pada tahap dasar praksis luar (indra), tapi dilanjutkan tahapan epistemologi berpikir yang disebut Al Quran sebagai fuad atau rasio dalam bahasa filsafat, yang mesti meniscayakan kesalehan sosial.

Pada akhirnya, momentum puasa pun dapat menjadi spirit bagi kita yang mulai terceraiberai menuju komitmen transformasi sosial, untuk hijrah atau transformasi yang menuntut pengorbanan, cinta, dan aksi menuju masyarakat sejahtera yang kita cita-citakan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar