Puasa dan Komitmen Transformasi Sosial
M Muchlas Rowi ; Pembina Forum Silaturahmi Warga Muslim JGC;
Alumnus
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
|
KORAN SINDO, 18 Juni 2015
Puasa bisa dilihat
juga sebagai pendidikan ideologi sosial radikal bagi orang yang menjalaninya.
Inti pendidikan itu adalah transformasi sosial. Jika sebelum ritual puasa,
realitas sosial menunjukkan kemungkaran sosial (dehumanisasi) di mana-mana,
korupsi merajalela, dan kekerasan telah menjadi logika umum di masyarakat,
maka logikanya puasa mesti menghasilkan alumni pendidikan ideologi sosial
yang berani melakukan jihad akbar atau perang besar melawan hawa nafsu berupa
kemungkaran dalam kenyataan hidup sehari-hari. Lalu, jika kemungkaran masih
tetap berjaya, bahkan semakin akut, itu berarti pelaku puasa tidak
mengamalkan ilmu yang didapat dari puasa.
Bagi para penganut
logika formalistis, jika tujuan yang diamanatkan puasa tak dapat menggerakkan
transformasi sosial (tanpa hasil), maka puasa (meminjam istilahnya Bacon,
1625) menjadi epistemologi yang keliru. Lalu untuk apa berlapar-lapar puasa
jika ternyata ada aksioma (badihi),
hipotesis, dan terapi lain yang mampu menggerakkan misi profetik tersebut?
Sesat Pikir
Inilah kekeliruan
logika formal Aristotelian yang acap kali menjangkiti para penganut agama,
termasuk para pelaku puasa (shaimun).
Penyakit yang sebetulnya telah menampakkan akarnya sejak Ibnu Sina dan Al-Farabi
menerjemahkan logika formal Aristotelian ke dalam logika (mantiq) dalam Islam, bahkan hingga
qiyas Imam Syafii yang kaku dan formalistik (Mulkhan, 1997).
Logika praksis yang
formalistik ini menjadikan umat selalu berpikiran sederhana (instant), bahkan dangkal (sathihi). Tak heran jika puasa yang
dijalani dianggap telah cukup dan sempurna bila diiringi dengan membayar
zakat fitrah, memakai jilbab bagi perempuan, berjanggut bagi lelaki, dan
tadarus. Sedangkan bagi media massa, puasa dianggap cukup religius dan
sempurna hanya dengan menayangkan sinetron berbau keagamaan, kuis Ramadan,
ataupun tayangan infotainment yang menceritakan pengalaman publik figur yang
mendapat berkah puasa, sementara di sekelilingnya kemungkaran sosial semakin
merajalela serta jarak antara si miskin dan si kaya kian menganga.
Pada akhirnya logika
praksis meniscayakan puasa sebagai aktivitas individual, menjadi dangkal dan
sederhana, namun dengan pengharapan yang besar dan global (Russel, 1946).
Mengharapkan terjadi transformasi sosial secara radikal dan global, namun
dengan neraca dan kunci epistemologi yang dangkal dan sederhana,
tentumerupakanhal yangmusykil. Sebab, justrusebaliknya, logika formal
meniscayakan manusia yang saleh secara individual, namun miskin kepedulian
sosial.
Logika dangkal (sathihi) bahkan belakangan menahbiskan
bahwa transformasi sosial, tatanan masyarakat yang tertata secara baik, dan
perubahan sosial tak melulu memerlukan segala konsepsi metafisika tentang
kebaikan. Ritual puasa, zakat, agama, ataupun hal-hal bersifat tradisional
tak diperlukan lagi. Sebaliknya, untuk menafsirkan bahasa zaman yang mutakhir
diperlukan epistemologi dan ilmu pengetahuan yang bersumber pada akal dan
rasionalitas. Segala konsepsi tradisional, menurut penganut logika ini,
ternyata tak kunjung meniscayakan umatnya untuk membentuk tatanan masyarakat
yang lebih beradab (civilized),
alih-alih justru memunculkan kemandekan (jumud),
radikalisme, bahkan terorisme.
Atas nama sains dan peradaban, penganut
logika formal ini berusaha mengakhiri anakronisme pandangan teosentrisme ke
arah antroposentrisme, yaitu membuat manusia menjadi tolok ukur dari segala
sesuatu (humanisme dan eksistensialisme). Menekankan kemerdekaan ”akal” dari
”wahyu” dan intuisi intelektual, ditambah penghambaan pada humanisme, rasionalisme,
empirisme, dan naturalisme pasif, serta kemerdekaan dan kebebasan semu hanya
menciptakan manusia-manusia kaku yang dipenuhi hasrat (desire) dan kesadaran palsu (fals
counsiousness).
Ideologi Sosial-Radikal
Merespons
kecenderungan logika formalistik dan pandangan underestimate atas logika
tradisional tersebut, penggagas teologi transformatif Dr. Muslim Abdurrahman
menyuguhkan pemaknaan tradisional-kritis, rasionalisasi keimanan (fides quern intelectum) khususnya
terkait ibadah puasa dengan menggunakan neraca dan kunci epistemologi yang
lebih holistis melalui pemaknaan kritis pesan Nabi Muhammad SAW tentang
esensi puasa dan kemungkaran sosial. Dalam pesan profetik tersebut, ia
menangkap pesan idiologi sosial yang sangat radikal dalam hadis Nabi,
”Makanlah sebelum kamu lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”. Ideologi
sosial yang kemudian menyiratkan tiga misi profetik yang harus dimiliki umat
berpuasa dalam menghadapi kemungkaran sosial, yaitu; egalitarianisme,
moralitas zuhud, dan jihad akbar.
Bagi orang miskin,
menahan haus dan lapar tentu merupakan hal yang biasa dan telah menjadi
perjuangan sehari-hari. Orang miskin telah terbiasa menahan hasrat sehingga
jauh dari konsumerisme. Sedangkan bagi si kaya yang lebih diuntungkan oleh
laju pertumbuhan ekonomi, menahan hasrat konsumtif tentu bukan hal biasa.
Bahkan, mungkin malah dianggap sebagai jihad akbar, yaitu melakukan perang
tertutup melawan nafsu dan kerakusan sosial.
Puasa pada hakikatnya
meniscayakan kesamaan perasaan dan realitas sosial (egalitarianisme). Si kaya
ataupun si miskin dituntut untuk mampu menahan lapar dan haus akan materi
(moralitas zuhud). Tak ada yang
membedakan para pelaku puasa kecuali ketakwaannya (laallakum tattaquun), karena puasa merupakan proses penyucian
jiwa yang meniscayakan kembalinya manusia pada naluri dan fitrahnya sebagai
manusia yang memiliki potensi kebaikan dan kesempurnaan.
Transformasi sosial
pada akhirnya akan ditentukan kemampuan para shaaimun untuk sampai pada
kesucian (fitrah) dan qudrah-nya sebagai pencapaian terakhir dan kesempurnaan
manusia (al-Insan al-kaamil) yang
merefleksikan aktivitas sosial. Sebagaimana kata Feurbach bahwa neraca
kebenaran epistemologi mesti berupa aktivitas sosial atau kesalehan sosial
dalam bahasa agama.
Senada dengan Muslim
Abdurrahman, Feurbach, dan Bertrand Russel, bahkan Murtadha Mutahhari
menawarkan pemaknaan semiotika agama dan epistemologi yang mendasar dan
radikal. Menurut Mutahhari, pemaknaan simbol keagamaan yang telah menjadi
ritual, misalnya puasa, jika hanya berdasarkan logika formal Aristotelian ansich, hanya akan menimbulkan
kebekuan dan kekakuan laju dan gerak bahasa zaman yang kian mutakhir.
Kulminasinya adalah
kemungkaran sosial niscaya semakin merasuki umat, bahkan diyakini sebagai hal
biasa dan pada akhirnya dianggap sebagai hakikat. Sebab, pada dasarnya
penganut logika ini tak peduli pada hakikat ataupun kebenaran. Baginya, yang
terpenting hanyalah logika praksis dan manfaat. Selama hal itu memberikan
manfaat bagi peradaban manusia, maka tak ada masalah.
Tak ayal, kemungkaran
sosial hanya mungkin dapat diatasi dan diperangi, baik secara tertutup maupun
terbuka, oleh orang-orang yang tak hanya saleh secara individual (individual activity), tapi juga saleh
secara sosial (social activity).
Dan, kesalehan sosial hanya mungkin diraih orang-orang yang memaknai puasa
dengan tak hanya menggunakan logika formalistik ansich. Namun, perlu juga menggunakan logika epistemologi
holistis yang tak berhenti pada tahap dasar praksis luar (indra), tapi
dilanjutkan tahapan epistemologi berpikir yang disebut Al Quran sebagai fuad atau rasio dalam bahasa filsafat,
yang mesti meniscayakan kesalehan sosial.
Pada akhirnya,
momentum puasa pun dapat menjadi spirit bagi kita yang mulai terceraiberai
menuju komitmen transformasi sosial, untuk hijrah atau transformasi yang
menuntut pengorbanan, cinta, dan aksi menuju masyarakat sejahtera yang kita
cita-citakan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar