Kamis, 04 Juni 2015

Perempuan Pantas Menjadi Pansel KPK

Perempuan Pantas Menjadi Pansel KPK

Titi Fitrianita  ;   Asisten Dosen FISIP UB Malang
JAWA POS, 03 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
DI tengah harapan berubahnya kinerja KPK dengan mengangkat panitia seleksi (pansel) perempuan dan kebanggaan diakuinya perempuan sebagai manusia yang memiliki potensi yang sama dengan laki-laki, muncullah opini luar biasa dari seorang guru besar sebuah perguruan tinggi. Mengangkat judul Kontroversi Perempuan Pansel KPK, sang mahaguru memberikan berbagai alasan bahwa perempuan tidak layak menjadi anggota pansel KPK.

Kontroversi dari berbagai kalangan atas pemuatan tulisan mahaguru itu di media massa paling terkenal di Jawa Timur pun menyeruak. Pro-kontra menguat dengan berbagai alasan dalam menanggapi tulisan mahaguru tersebut.

Kewenangan Menjustifikasi
                                                   
Mengawali pendapatnya dengan ketidakterbukaan dalam pemilihan perempuan sebagai pansel KPK, sang mahaguru menganggap kondisi itu merupakan penyelesaian masalah dengan masalah. Mengapa? Pertama, laki-laki adalah mayoritas pelaku korupsi sehingga laki-lakilah yang berhak menjadi pemberantasnya. Kedua, perempuan secara kodrati adalah manusia yang ruang geraknya terbatas, tidak akuntabel, lemah, serta tidak mengemban amanah surgawi sebagai pemimpin di dunia.

Yang lebih mengerikan, perempuan dianggap sebagai perusak dunia dengan mengaitkannya dengan filosofi Jawa: harta, takhta, dan wanita. Di bagian paling akhir yang menjadi titik penting dalam tulisan mahaguru itu, perempuan dianggap sumber kerusakan.

Opini yang cenderung seksis itu tentu sangat disayangkan keluar dari seorang mahaguru perguruan tinggi. Jika yang dipertanyakan adalah keterbukaan pemerintah dalam memilih pansel KPK yang terdiri atas perempuan, mengapa yang dipermasalahkan adalah perempuan itu sendiri, bukan birokrasi yang tidak transparan, mengingat latar belakang beliau sebagai guru besar tata negara?

Beliau mengakui, pemilihan perempuan menjadi pansel KPK merupakan buah keberhasilan perjuangan kesetaraan perempuan di Indonesia. Hal itu menunjukkan pengetahuan beliau atas gerakan perempuan dan apa yang ingin dicapai gerakan perempuan. Artinya, beliau paham benar cara pandang seksis yang ingin diperjuangkan agar hilang oleh gerakan perempuan. Namun, mengapa justru dari pengetahuan tersebut beliau mengambil posisi menentang pemosisian setara manusia lepas dari jenis kelaminnya?

Perempuan dianggap lemah, tidak akuntabel, dan ruang geraknya terbatas karena nilai-nilai patriarkis yang membuat perempuan tidak memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi mereka. Legitimasi agama dan budaya mengesahkan pengebirian potensi perempuan. Sayangnya, hal itulah yang kembali direproduksi lewat tulisan sang mahaguru.

Isu tentang moralitas juga diangkat dalam tulisan mahaguru tersebut. Jika laki-laki umumnya lebih bermoral sehingga pantas menduduki posisi pansel KPK, lantas mengapa laki-laki pula yang banyak melakukan korupsi? Bukankah itu berarti lebih banyak laki-laki yang tidak bermoral jika dibandingkan dengan perempuan? Bukankah laki-laki dan perempuan sebagai manusia memiliki moralitas yang sama dan sama-sama memiliki potensi untuk melakukan kejahatan?

Mayoritas pelaku korupsi adalah laki-laki karena laki-laki diberi lebih banyak kesempatan untuk menduduki posisi di publik yang memungkinkan mereka bertindak pidana korupsi. Jika perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menduduki posisi publik yang potensial untuk melakukan korupsi, hal yang sama akan terjadi. Karena itu, isu mengenai moralitas laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan menjadi tidak relevan.

Namun, mengapa sang mahaguru justru menempatkan perempuan sebagai sumber kerusakan sebagai alasan ketidakpantasan mereka menjadi pansel KPK? Bahkan, dia mengatakan, pemilihan perempuan sebagai pansel KPK sama dengan cacat bawaan. Rupanya, perempuan tidak lagi dihargai dan ditempatkan sebagai manusia yang pantas dihormati oleh mahaguru.

Bisa jadi, sang mahaguru berusaha menolak perempuan sebagai pansel KPK sebagai sebuah hal yang kasuistis dan upaya mempertanyakan keputusan pemerintah yang tidak transparan. Namun, upaya membangun opini untuk mengkritisi keputusan pemerintah dalam menetapkan pansel KPK perempuan didasari legitimasi agama dan budaya yang telah bertahun-tahun mengungkung perempuan sebagai manusia kelas dua di dunia. Hal yang kasuistis itu akhirnya menjadi isu seksis yang tereproduksi.

Posisi Akademisi dan Media Massa

Posisi mahaguru di perguruan tinggi sering dianggap nabi akademis. Pengetahuan yang dihasilkan lewat tulisannya serupa sabda yang sering membuat orang mengangguk setuju begitu saja. Tulisan yang dibaca ribuan orang tersebut dapat membuat pandangan seksis menguat apalagi jika di dalam tulisan tersebut disertakan posisi penulis yang seorang mahaguru. Seharusnya perguruan tinggi dan mahaguru menjadi kunci yang mempromosikan cara pandang bebas bias gender.

Media massa seharusnya menyeleksi opini yang seksis tanpa memedulikan penulis opini. Upaya untuk memberikan ruang bagi suara perempuan dalam Jawa Pos For Her akhirnya menjadi tidak berarti ketika suara seksis diberi ruang pada halaman yang lain.

Rupanya, media massa yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan antiseksis kepada masyarakat luas, mengingat pengaruhnya yang luas, perlu banyak berbenah. Dengan demikian, kesadaran gender yang berusaha menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi sebagai sesama manusia bisa meluas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar