Minggu, 07 Juni 2015

Perangkap Perjanjian Investasi

Perangkap Perjanjian Investasi

Bahrul Ilmi Yakup  ;   Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK);
Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN
KOMPAS, 06 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Churchill Mining PLc dan Planet Mining Pty Ltd  sedang menuntut kompensasi berjumlah lebih dari 1 miliar dollar AS atau setara Rp 1,3 triliun  terhadap Pemerintah Indonesia. Mereka mengajukan tuntutan melalui badan arbitrase International Center for Settlement of Investment Disputes terkait dengan tindakan Pemerintah Indonesia yang mencabut izin pertambangan.

Saat ini, perkara tersebut menjelang putusan akhir yang membuat Pemerintah Indonesia patut merasa cemas. Sebab  dalam putusan pendahuluan,  Majelis Arbitrase International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) mengalahkan Indonesia dalam soal yurisdiksi ICSID.

Ancaman serupa pernah pula muncul  dari perusahaan internasional lain yang beroperasi di Indonesia. Di antaranya adalah pertambangan Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan Freeport Indonesia (FI)  terkait pelaksanaan ketentuan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang mewajibkan perusahaan pertambangan membangun smelter, yang   berujung dengan pembebanan biaya tambahan terhadap ekspor bahan hasil tambang.

FI dan NNT berkeberatan dengan kewajiban tersebut, sehingga mengancam akan membawa kasus tersebut ke badan arbitrase internasional, berdasarkan ketentuan perjanjian investasi bilateral (PIB). Belakangan keduanya membatalkan ancaman tersebut setelah pemerintah menganulir kewajibannya. Apakah setiap saat Indonesia harus mengambil keputusan demikian?

Terperangkap perjanjian

Tak pelak, rangkaian ancaman tersebut  membuat Pemerintah Indonesia terperanjat. Pemerintah baru menyadari  bahwa Indonesia telah masuk dalam perangkap PIB atau bilateral investment treaty (BIT) yang telah ditandatanganinya dengan beberapa negara asing.

Selama ini pemerintah alfa menelisik bahwa PIB  telah menggerogoti kedaulatan negara. Tanpa sadar, sesungguhnya pemerintah telah menggadaikan kedaulatan negara secara obral kepada asing.

Padahal, kedaulatan itulah yang telah diperjuangkan segenap rakyat Indonesia dengan mengorbankan nyawa dan harta benda guna meraih kemerdekaan. Kedaulatan negara yang oleh Soekarno dikemas dalam semboyan Trisakti, yaitu  berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya, tersublimasi ketentuan PIB yang menindas kepentingan rakyat. 

Secara historis, PIB  sebetulnya bukan merupakan  instrumen hukum baru dalam bidang ekonomi internasional. PIB pertama kali dibuat antara Jerman (Barat) dan Pakistan tahun 1959, kemudian disusul negara-negara lain. Jumlah PIB kian meroket setelah runtuhnya Uni Soviet: menyebabkan pada akhir 2007 PIB telah mencapai jumlah 2.608 yang mengikat berbagai negara (World Investment Report, 2008).

PIB sebenarnya merupakan sarana hukum yang lazim digunakan untuk menarik dan mengatur investasi antara negara pemberi (home state) dengan negara penerima (host state). Oleh karena itu, secara umum PIB mengatur soal penerimaan investasi, perlakuan, perlindungan,  pengambilalihan, perpajakan, masa peralihan (sunset clause), dan forum penyelesaian sengketa yang menyangkut investasi yang seharusnya baik untuk semua pihak.

PIB protektif

Sebagai instrumen hukum, sebetulnya PIB merupakan suatu bentuk perjanjian yang konstruktif dan protektif yang sejatinya mampu mengatur dan melindungi kepentingan negara pemberi berikut negara penerima investasi  secara fair and equitable,  asalkan PIB  disusun  secara baik sesuai standar penyusunan perjanjian (agreement drafting),  yaitu lengkap, obyektif, jelas, dan prediktif.

Persoalannya adakah 67 PIB yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia, telah disusun secara serius dengan memenuhi standar agreement drafting  yang baik?  Itulah yang dialami Indonesia saat ini.  Pemerintah Indonesia baru sadar telah terperangkap dalam PIB yang telah ditandatanganinya.

Oleh karena itu, sejak Maret  2014 Indonesia telah berupaya mengkaji ulang 67 PIB yang ada, bahkan muncul wacana bahwa Indonesia akan mengakhiri PIB dengan Belanda mulai 1 Juli 2015.  Wacana tersebut telah memperoleh pembahasan beragam   dan meluas dari berbagai negara investor di berbagai fora.

Pemerintah yang diwakili Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah pula berupaya menjadikan UU No 25/2007 tentang Investasi sebagai referensi dalam upaya merevisi PIB  yang fokus pada  6 isu PIB, yaitu definisi investasi, perusahaan mailbox (virtual address), perlakuan yang adil dan berimbang (fair and equitable treatment),  ketentuan pengakhiran  (sunset clause),  mekanisme perpanjangan dan penghentian, serta mekanisme tentang penyelesaian sengketa.

Kaji ulang obyektif

Kehendak pemerintah mendesakkan UU No 25/2007 sebagai referensi dalam mengkaji ulang PIB perlu dikaji ulang secara baik dan obyektif, agar tidak mempermalukan pemerintah dalam forum negosiasi. Sebab, sedari awal home state atau investor memang telah  mengenyampingkan perubahan UU sebagai faktor pengubah ketentuan PIB, yang umumnya diatur dalam stabilization clause.

 Sebaiknya pemerintah belajar dari pengalaman pahit ketika  mendesakkan pemberlakuan UU No 4/2009 tentang Minerba khususnya soal kewajiban membangun smelter kepada FI  dan NNT, yang berakhir sia-sia.  Sebab, ternyata pada akhirnya FI dan NNT tetap melenggang melakukan ekspor bahan mentah tanpa harus membangun smelter yang diwajibkan UU Minerba.

Upaya mengkaji ulang PIB dapat ditempuh dengan mengadopsi metode perubahan ketentuan tentang mekanisme penyelesaian  sengketa yang diperkenalkan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD),  yang meliputi empat cara , yaitu mempertahankan status quo,  mengingkari kesepakatan (disengagement), melakukan penyesuaian terbatas (selective adjustments), dan reformasi sistematis (systematic reform) (World Investment Report, 2014).

Namun, apabila diteliti secara mendalam, metode perubahan perjanjian yang diperkenalkan UNCTAD tetap bertolak dari dua standing. Pertama, bertolak dari ketentuan PIB, kedua, tetap menghadapkan home state dengan host state secara viz a viz. Padahal, pada kedua hal tersebut, posisi host state selalu lebih lemah yang hampir pasti akan gagal mendesakkan perubahan  PIB agar  menjadi lebih fair and equitable.

Strategi alternatif

Upaya merevisi PIB dapat menempuh strategi  alternatif lain, yaitu dengan cara  keluar dari sistematika dan mekanisme PIB. Strategi alternatif dapat ditempuh dengan beranjak dari  konvenan tentang hak asasi manusia yang meliputi  the United Nations Universal Declaration on Human Rights (UNDHAM),  The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), doktrin hak asasi manusia, serta konvensi tentang Sustainable Development Goals (SDGs) yang mulai berlaku pada 2015 ini.

Dengan bertolak dari kovenan dan doktrin tersebut, pemerintah dapat meminta komponen masyarakat sipil  untuk menjadi pihak inisiator yang berperan dalam mendesakkan perubahan dan mengkaji ulang terhadap   PIB agar  menjadi lebih  fair and equitable bagi semua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar