Beras
Plastik dan Perlindungan Konsumen
Abustan ; Komisioner Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN);
Pengajar Hukum Perlindungan Konsumen
|
KORAN SINDO, 05 Juni 2015
Dengan jumlah penduduk
237 juta jiwa, konsumen Indonesia merupakan konsumen keempat terbesar di
dunia di belakang China, India, dan Amerika Serikat. Sungguh secara
kualitatif merupakan anugerah yang tak ternilai harganya.
Karena itu, sangat
wajar jika isu yang terkait kebutuhan pokok konsumen pasti akan mengundang
sorotan tajam dan perbincangan serius di tengah masyarakat. Katakanlah
kemunculan beras plastik ternyata cukup menghebohkan jagat Indonesia.
Bagaimana tidak, berita tersebut ternyata mampu menenggelamkan berita
peristiwa besar lain. Harus diakui, hebohnya isu ini cukup membawa dampak
yang tidak kecil bagi masyarakat dan pemerintah.
Bahkan, kehebohan isu
beras plastik menggiring masyarakat beralih membeli kebutuhan pokok ini dari
pasar tradisional ke pasar modern. Masalah ini terus menggelinding bak bola
salju, kini mengalir ke meja Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Uji
laboratorium dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Laboratorium Sucofindo. Hasilnya,
seperti yang kita ketahui terdapat campuran kimia yang terkandung dalam beras
itu. Pertanyaan yang mendasar, siapa di belakang semua ini?
Sikap kritis konsumen
Sesungguhnya konsumen
adalah pengguna semua bentuk barang dan jasa yang harus diberi kepastian atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap barang yang dikonsumsinya.
Pelayanan yang berkualitas dan optimal terhadap publik menjadi sebuah
keniscayaan. Namun, hal itu bisa dilakukan jika pemerintah dan pelaku usaha
(produsen) memberikan perlindungan yang optimal kepada konsumen dan pada
gilirannya akan meningkatkan harkat dan martabat konsumen.
Perlu kiranya
ditumbuhkan kebiasaan mengadu yang merupakan bagian dari sikap kritis
konsumen sekaligus menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen
di suatu negara. Budaya mengadu konsumen Indonesia masih sangat rendah.
Sebaliknya sikap pasrah atau nrimo masih menjadi suatu pilihan dari
masyarakat. Karena itu, apa yang dilakukan Dewi Septiani, pelapor akan adanya
beras sintetis di Bekasi, adalah refleksi dari sikap kritis konsumen.
Bukan sebaliknya yang
bersangkutan diancam untuk dipidanakan karena dianggap menyebarkan isu yang
meresahkan masyarakat. Masalah beras plastik ini sesungguhnya di satu sisi
memberi dampak positif (hikmah), yaitu membangun sikap kritis konsumen
terhadap hak-hak dasar yang dimilikinya.
Terbukti dari masalah
tersebut konsumen tampak lebih reaktif terhadap berbagai ketidaknyamanan dan
berbagai ancaman terhadap makanan yang bisa merusak kesehatan konsumen. Hal
lainnya, kita juga menyaksikan berbagai pemangku kepentingan dalam hal ini
berperan aktif mengkritik persoalan beras plastik yang ditemukan di daerah
Bekasi.
Bahkan Badan Urusan
Logistik (Bulog) dibuat panik. Tidak hanya itu, Kementrian Perdagangandan
Kementrian Pertanian juga menunjukkan rasa empati atas kejadian yang menimpa
kepada konsumen. Penemuan beras palsu atau beras sintesis asal China
mengingatkan kepada kita semua (konsumen) bahwa lingkungan kita saat ini
tidak terbebas dari produk makanan dan minuman berbahaya. Fenomena beras
sintetis hanya sekian kasus dari berbagai penemuan produk makanan dan minuman
”aspal” alias asli tapi palsu di Tanah Air.
Lebih Dilindungi
Pemerintah tentu
diharapkan lebih antusias dan berempati kepada hak-hak konsumen (vide UU
Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen). Sebab, sangat mustahil kita
berbicara kualitas perlindungan terhadap hak-hak konsumen jika pemerintahan
yang berjalan tidak peduli pada halhal yang berkaitan dengan konsumen itu sendiri.
Dengan demikian,
sekali lagi harapan kita (konsumen) terkait kebijakan atau regulasi
pemerintah selaku regulator haruslah benar-benar memberi pemihakan dan atau
perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan
oleh para menteri terkait haruslah inheren dan berkorelasi dengan peningkatan
kualitas hidup masyarakat (konsumen).
Dalam kemerosotan
wibawa pemerintah yang terjadi akhirakhir ini, tentu akibat berbagai
kebijakan yang tidak prokonsumen atau tidak memberikan pemihakan kepada
konsumen selaku objek kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal,
tanpa kebijakan yang memberi perlindungan kepada konsumen atau tanpa agenda
perlindungan konsumen yang jelas, mustahil pemerintah mampu mengangkat harkat
dan martabat konsumen.
Kesemuanya itu dapat
dibuktikan ketika kecemasan konsumen semakin memprihatinkan akhir-akhir ini.
Dapat dilihat ketika kebutuhan pokok seperti beras plastik di Bekasi,
terungkapnya pabrik es batu di Cakung Jakarta Timur, terbongkarnya pembuatan nata de coco yang dicampur pupuk ZA,
bahan kimia berbahaya lain yang sering digunakan adalah formalin, pabrik susu
di Klaten diduga menggunakan zat pewarna kimia.
Padahal bagaimanapun
negara harus hadir ketika terjadi gangguan kebutuhan dasar konsumen yang
berdampak pada terjadinya ketidaknyamanan konsumen. Dengan kata lain, negara
harus memberi pemihakan yang jelas untuk melindungi kepentingan rakyat
sebagai sebuah wujud nyata peranan negara kepada rakyatnya.
Bukan sebaliknya,
sejumlah kebijakan pemerintah justru membuat rakyat negeri ini, selaku
konsumen, merasa dirugikan. Atau seperti istilah para tukang ojek dan
bincang-bincang di warung kopi, kebijakan pemerintah hanya membuat ”pusing
kepala rakyat”. Artinya, dampak dari berbagai kebijakan pemerintah sekarang
yang membuat rasa tidak puas, kekecewaan, dan kecemasan konsumen.
Akhirnya, kita semua
berharap peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas 2015) yang diperingati
pada 20 April lalu akan menjadi titik berangkat para stakeholder untuk menghormati hak-hak konsumen. Jikahal ini terus
berlanjut, mau tak mau efek positifnya adalah berkurangnya kecemasan konsumen
dalam mengonsumsi bahan makanan dan minuman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar