Perangkap
Perjanjian Investasi
Bahrul Ilmi Yakup ; Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK);
Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat
Kajian BUMN
|
KOMPAS, 06 Juni 2015
Churchill Mining PLc dan Planet Mining Pty Ltd sedang menuntut kompensasi berjumlah lebih
dari 1 miliar dollar AS atau setara Rp 1,3 triliun terhadap Pemerintah Indonesia. Mereka
mengajukan tuntutan melalui badan arbitrase International Center for Settlement of Investment Disputes
terkait dengan tindakan Pemerintah Indonesia yang mencabut izin pertambangan.
Saat ini, perkara tersebut menjelang putusan akhir yang membuat
Pemerintah Indonesia patut merasa cemas. Sebab dalam putusan pendahuluan, Majelis Arbitrase International Center for Settlement of Investment Disputes
(ICSID) mengalahkan Indonesia dalam soal yurisdiksi ICSID.
Ancaman serupa pernah pula muncul dari perusahaan internasional lain yang
beroperasi di Indonesia. Di antaranya adalah pertambangan Newmont Nusa
Tenggara (NNT) dan Freeport Indonesia (FI)
terkait pelaksanaan ketentuan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang mewajibkan
perusahaan pertambangan membangun smelter, yang berujung dengan pembebanan biaya tambahan
terhadap ekspor bahan hasil tambang.
FI dan NNT berkeberatan dengan kewajiban tersebut, sehingga
mengancam akan membawa kasus tersebut ke badan arbitrase internasional,
berdasarkan ketentuan perjanjian investasi bilateral (PIB). Belakangan
keduanya membatalkan ancaman tersebut setelah pemerintah menganulir
kewajibannya. Apakah setiap saat Indonesia harus mengambil keputusan
demikian?
Terperangkap perjanjian
Tak pelak, rangkaian ancaman tersebut membuat Pemerintah Indonesia terperanjat.
Pemerintah baru menyadari bahwa
Indonesia telah masuk dalam perangkap PIB atau bilateral investment treaty (BIT) yang telah ditandatanganinya
dengan beberapa negara asing.
Selama ini pemerintah alfa menelisik bahwa PIB telah menggerogoti kedaulatan negara. Tanpa
sadar, sesungguhnya pemerintah telah menggadaikan kedaulatan negara secara
obral kepada asing.
Padahal, kedaulatan itulah yang telah diperjuangkan segenap
rakyat Indonesia dengan mengorbankan nyawa dan harta benda guna meraih kemerdekaan.
Kedaulatan negara yang oleh Soekarno dikemas dalam semboyan Trisakti,
yaitu berdaulat secara politik,
berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya,
tersublimasi ketentuan PIB yang menindas kepentingan rakyat.
Secara historis, PIB
sebetulnya bukan merupakan
instrumen hukum baru dalam bidang ekonomi internasional. PIB pertama
kali dibuat antara Jerman (Barat) dan Pakistan tahun 1959, kemudian disusul
negara-negara lain. Jumlah PIB kian meroket setelah runtuhnya Uni Soviet: menyebabkan
pada akhir 2007 PIB telah mencapai jumlah 2.608 yang mengikat berbagai negara
(World Investment Report, 2008).
PIB sebenarnya merupakan sarana hukum yang lazim digunakan untuk
menarik dan mengatur investasi antara negara pemberi (home state) dengan negara penerima (host state). Oleh karena itu, secara umum PIB mengatur soal
penerimaan investasi, perlakuan, perlindungan, pengambilalihan, perpajakan, masa peralihan
(sunset clause), dan forum
penyelesaian sengketa yang menyangkut investasi yang seharusnya baik untuk
semua pihak.
PIB protektif
Sebagai instrumen hukum, sebetulnya PIB merupakan suatu bentuk
perjanjian yang konstruktif dan protektif yang sejatinya mampu mengatur dan
melindungi kepentingan negara pemberi berikut negara penerima investasi secara fair
and equitable, asalkan PIB disusun
secara baik sesuai standar penyusunan perjanjian (agreement drafting), yaitu
lengkap, obyektif, jelas, dan prediktif.
Persoalannya adakah 67 PIB yang telah ditandatangani Pemerintah
Indonesia, telah disusun secara serius dengan memenuhi standar agreement drafting yang baik?
Itulah yang dialami Indonesia saat ini. Pemerintah Indonesia baru sadar telah
terperangkap dalam PIB yang telah ditandatanganinya.
Oleh karena itu, sejak Maret
2014 Indonesia telah berupaya mengkaji ulang 67 PIB yang ada, bahkan
muncul wacana bahwa Indonesia akan mengakhiri PIB dengan Belanda mulai 1 Juli
2015. Wacana tersebut telah memperoleh
pembahasan beragam dan meluas dari
berbagai negara investor di berbagai fora.
Pemerintah yang diwakili Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
telah pula berupaya menjadikan UU No 25/2007 tentang Investasi sebagai
referensi dalam upaya merevisi PIB
yang fokus pada 6 isu PIB,
yaitu definisi investasi, perusahaan mailbox
(virtual address), perlakuan yang
adil dan berimbang (fair and equitable
treatment), ketentuan
pengakhiran (sunset clause), mekanisme
perpanjangan dan penghentian, serta mekanisme tentang penyelesaian sengketa.
Kaji ulang obyektif
Kehendak pemerintah mendesakkan UU No 25/2007 sebagai referensi
dalam mengkaji ulang PIB perlu dikaji ulang secara baik dan obyektif, agar
tidak mempermalukan pemerintah dalam forum negosiasi. Sebab, sedari awal home state atau investor memang
telah mengenyampingkan perubahan UU
sebagai faktor pengubah ketentuan PIB, yang umumnya diatur dalam stabilization clause.
Sebaiknya pemerintah
belajar dari pengalaman pahit ketika
mendesakkan pemberlakuan UU No 4/2009 tentang Minerba khususnya soal
kewajiban membangun smelter kepada FI dan NNT, yang berakhir sia-sia. Sebab, ternyata pada akhirnya FI dan NNT
tetap melenggang melakukan ekspor bahan mentah tanpa harus membangun smelter
yang diwajibkan UU Minerba.
Upaya mengkaji ulang PIB dapat ditempuh dengan mengadopsi metode
perubahan ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa yang diperkenalkan Konferensi
Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD), yang meliputi empat cara , yaitu
mempertahankan status quo, mengingkari
kesepakatan (disengagement),
melakukan penyesuaian terbatas (selective
adjustments), dan reformasi sistematis (systematic reform) (World Investment Report, 2014).
Namun, apabila diteliti secara mendalam, metode perubahan
perjanjian yang diperkenalkan UNCTAD tetap bertolak dari dua standing.
Pertama, bertolak dari ketentuan PIB, kedua, tetap menghadapkan home state dengan host state secara viz a viz.
Padahal, pada kedua hal tersebut, posisi host
state selalu lebih lemah yang hampir pasti akan gagal mendesakkan
perubahan PIB agar menjadi lebih fair and equitable.
Strategi alternatif
Upaya merevisi PIB dapat menempuh strategi alternatif lain, yaitu dengan cara keluar dari sistematika dan mekanisme PIB.
Strategi alternatif dapat ditempuh dengan beranjak dari konvenan tentang hak asasi manusia yang
meliputi the United Nations Universal Declaration on
Human Rights (UNDHAM), The International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), doktrin
hak asasi manusia, serta konvensi tentang Sustainable
Development Goals (SDGs) yang mulai berlaku pada 2015 ini.
Dengan bertolak dari kovenan dan doktrin tersebut, pemerintah
dapat meminta komponen masyarakat sipil
untuk menjadi pihak inisiator yang berperan dalam mendesakkan
perubahan dan mengkaji ulang terhadap
PIB agar menjadi lebih fair and equitable bagi semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar