Pancasila
dan Perspektif Islam Nusantara
Syaifullah Yusuf ; Ketua
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU)
|
JAWA POS, 02 Juni 2015
DALAM diskusi kecil bersuasana akrab akhir
pekan lalu, Dekan Ilmu Keislaman untuk Mahasiswa Internasional Al Azhar
Kairo, Mesir, Prof Dr Abdel Moneem Fouad mengeja Bansyasila tanpa kesulitan.
Yang dia maksudkan adalah Pancasila. Moneem menyebut Pancasila sebagai benang
utama yang menyulam kehidupan Islam di Indonesia. Islam Nusantara, menurut
dia, tak akan terwujud tanpa deretan kata-kata magis itu.
Melalui pandangan objektif Moneem itu, agaknya
kita bisa makin menyadari betapa istimewanya Pancasila bagi keindonesiaan
kita. Dan merenungkan Pancasila hari ini, 70 tahun setelah hari lahirnya, mau
tak mau ingatan kita akan dipaksa untuk kembali ke momen penting pidato Bung
Karno pada 1 Juni 1945, hari penutupan sidang pertama BPUPKI, yang menjadi
tumpuan bagi para bapak bangsa kita untuk menyepakatinya sebagai hari
kelahiran Pancasila.
Bagi Bung Karno, Pancasila soal hidup mati.
Bahkan, dia tidak sertamerta menjadikannya wacana resmi dalam proses
membentuk republik. Dia bersabar untuk sesuatu yang mulia. Berpuluh-puluh
tahun lamanya, untaian filosofis itu menyita waktu-waktu perjuangannya. Bung
Karno merenung tiada henti sampai akhirnya angka-angka kalender Masehi
menunjukkan 1 Juni 1945. Jumat pagi, pada hari yang mulia itu, matahari belum
jauh mengedar.
Para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengambil tempat masing-masing. Sidang dibuka!
Agendanya membahas Pancasila. Bung Karno berusaha menghindari celah
terjadinya debat semantik. ”Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan
yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen,
yaitu perkataan ’gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah
negara gotong royong. Alangkah hebatnya! Negara gotong royong,” kata Bung
Karno saat itu.
”Gotong royong adalah pembantingan tulang
bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua
buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua,” sambung Bung
Karno.
Banyak hal yang bisa dipelajari dari Bung Karno. Keterbukaan sikapnya,
kegigihan memperjuangkan filosofi hidup, ketulusan menerima masukan, kepekaan
menyelami gemuruh perbedaan perspektif, hatta hal-hal kecil seperti beda
semantik.
Bung Karno menggali, merenungkan, dan
memperkaya pandangannya tentang negara dari beragam perspektif hingga mengadu
wawasan dengan the founding fathers lainnya. Yang membuat kita kian kagum adalah
sense of belonging- nya yang tinggi terhadap kata Indonesia tulen: gotong
royong. Dalam keseharian, amaliah gotong royong diyakini Bung Karno akan
berujung pada tegaknya keadilan. Keadilan akan bermuara pada kebahagiaan
bersama.
Kalau keringat diperas, ujungnya harus
kebahagiaan bersama. Sikap saling bantu diamalkan hanya untuk kebahagiaan
bersama. Inilah Pancasila, yang lalu menjadi Trisila dan berujung Ekasila.
Gotong royong dan berkeadilan dalam tradisi NU termasuk qath’iyyat, yang
pamali dibatalkan dengan nalar apa pun. Ia berkedudukan sejajar dengan sikap tawassuth (moderat), tawaazun (berimbang), i’tidaal (tegak lurus dalam prinsip),
dan tasaamuh (toleransi).
Karena qath’iyyat, sikap berlaku gotong royong
dan hidup berkeadilan bersifat universal, borderless, dan mesti shalih
likulli zamaanin wa makaan (sesuai pada setiap waktu dan di semua tempat).
Gotong royong dan hidup berkeadilan harus diamalkan oleh semua orang kapan
saja dan di mana saja. Meminjam istilah Abd. Moqsith Ghazali, prinsip-prinsip
ajaran inti itu bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans
keyakinan agama.
Pada faktor transideologi dan trans keyakinan
agama itu, cendekiawan muslim Azyumardi Azra menemukan, sikap gotong royong
telah menjadi amalan harian pada kehidupan umat Islam Indonesia. Di hampir
semua daerah rural yang menjadi tempat tinggal umat Islam (istilah lain Islam moderat), sikap dermawan
dan saling bantu selalu dijaga. Jangan heran, papar Azra, jika umat Islam
Indonesia dikenal sebagai umat Islam yang paling dermawan.
Hal itu dapat dilihat dari rentetan upacara
keagamaan yang selalu beriringan dengan upacara tradisi. Seorang yang akan
meminang calon istri/suami dikukuhkan dengan acara walimahan –membaca wirid,
zikir, dan ibadah lain, lalu diakhiri dengan acara makan-makan. Selain karena
memang gemar bersilaturahmi, para undangan akan pulang dengan membawa berkat
(makanan yang bisa dibawa pulang). Itulah berkah kebersamaan.
Kegiatan keagamaan berbaju tradisi akan
mengiringi semua tahap kehidupan setiap orang Islam Indonesia, sejak dia
dikandung, dilahirkan, dikhitankan, dinikahkan, pindah rumah, naik haji,
hingga masuk ke kubur. Belum lagi acara-acara yang murni keagamaan seperti
mauludan, muharaman, Isra Mikraj, khataman, rajaban, syakbanan, hingga
kegiatan ibadah sepanjang Ramadan seperti takjilan. Nyaris semuanya dengan
makan.
Semua kegiatan itu merupakan amaliah dari
Ekasila, yang tak lain adalah gotong royong ajaran Bung Karno. Karena banyak
pikirannya yang berkesesuaian dengan amaliah keseharian umat Islam, ada yang
menyebut Bung Karno sebagai seorang mujadid (pembaru kehidupan keagamaan).
Karakter Islam Nusantara yang guyub akan menjadi penyangga utama tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Giora Eliraz (2004) dalam Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East
Dimension menyebut, ”…watak
kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, ditandai dengan peningkatan
toleransi dan penerimaan gagasan dasar tentang pluralitas keagamaan. Berbeda
dengan Timur Tengah yang ditandai dengan peningkatan konservatisme
berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis –dan
bahkan militansi dan radikalisme.”
Sikap toleran dan
penuh penerimaan umat Islam terhadap gagasan kebinekaan sudah muncul sejak
awal-awal proses mendirikan republik. Figur seperti KH A. Wahid Hasyim, KH A.
Wahab Hasbullah, KH Masjkoer, KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansoer, dan Ki Bagus
Hadikusumo mengambil peran penting menjaga keutuhan untaian mutu manikam
Nusantara. Dengan gotong royong demi keadilan, keutuhan bangsa jadi taruhan. Dirgahayu Pancasila! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar