KPK
dan Memburainya Perang Melawan Elite Fasis
Max Regus ; PhD
Candidate the Graduate School of Humanities,
University of Tilburg, the Netherlands
|
MEDIA INDONESIA, 03 Juni 2015
PARA pemikir elite teori masa lalu memiliki
kepercayaan filosofis tentang sejarah, politik, dan kekuasaan sekadar sebagai
sirkulasi elite belaka. Vilfredo Pareto, sebagai salah satu penganjur dari
teori ini, secara gamblang membedakan dua tipe elite politik. Pertama, elite
politik `para rubah' (foxes).
Kelompok ini memerintah dengan manipulasi dan propaganda. Kedua, elite politik
`singa' (lions).Untuk mencapai dan
mempertahankan kekuasaan, mereka selalu siap menggunakan kekerasan.
Intimidasi dan kekasaran ialah domain kelompok ini. Baik secara
sendiri-sendiri maupun secara bersama, keduanya sama-sama merusak tatanan
peradaban politik.
Analisis sirkulasi elite cukup tepat untuk
melukiskan faksi-faksi politik yang berkeliaran di pentas kekuasaan
Indonesia. Cukup jelas bahwa kita belum memiliki mekanisme dan lembaga yang
bisa menahan cengkeraman elite-elite yang berwajah ganda dengan hasrat
tunggal, yakni dominasi, hegemoni, dan korupsi.
Bumerang Personifikasi
Kita pada hari-hari ini, hampir tiba pada
kesimpulan yang menyakitkan ini. Apa yang disebut dengan the abuse of power tidak pernah meninggalkan trauma politik. Rasa
terluka secara politis yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran mendukung
tekad demokratis mengawal kekuasaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
dibentuk 2003 ialah salah satu lembaga yang berhadapan dengan penjelasan
paling konkret dari penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan, dalam hitungan lima
tahun belakangan, KPK telah menjadi salah satu lembaga ad hoc yang menempati sentrum perhatian dan harapan publik.
Harian Umum Media Indonesia, pada beberapa edisi mengulas posisi terakhir
dari lembaga yang mampu merontokkan bintang-bintang baru politik nasional,
seperti Anas Urbaningrum dan Andy Mallarangeng. Lembaga yang membekap
jenderal polisi dan sederet petinggi politik, tetapi melengkung secara
mendadak di tangan mereka.
Hingga sejauh ini, applause panjang dan sorak-sorai untuk rentetan kisah
kekalahannya, bahkan secara cepat muncul dari ruang publik, menunjukkan
secara sangat sederhana bagaimana gelombang ketidaksukaan terhadap semangat
mengawal penyelenggaraan kekuasaan ada di banyak level. Tidak terbantahkan. Butuh
waktu satu dekade menjadikan KPK sebagai lembaga yang disegani. Namun,
kerapuhan internal yang dimilikinya akibat personifikasi yang terlalu
overdosis, seolah KPK ialah representasi dari penampilan individu-individu,
jadi bumerang yang mematikan.
Di sejumlah negara, yang disebut dengan new emerging democracy, dengan nama
yang beragam pada tiap negara, lembaga pemberantasan korupsi memiliki tugas
mengawal proses penyelenggaraan politik yang sedang berada di jalur
transisional. Kehebohan KPK selama ini menghantam sejumlah tokoh politik, di
satu pihak, dan ketertarikan politik pemimpin KPK justru pada akhirnya
menjadi bumerang. Argumentasi yang ditaruh di belakang pembentukan KPK
semestinya juga diperkuat.
Lembaga ini tidak hadir sekadar untuk
memberantas kejahatan korupsi. Tugas yang kemudian, baik oleh orang-orang KPK
sendiri bisa dijadikan sebagai alat untuk mengaktualisasikan interes politik
dan ambisi kekuasaan, maupun sebagai mesin saling bunuh di antara lingkaran
elite kekuasaan.
Tongkat ajaib di tangan pansel
Di sekitar kekelaman ini, publik sedang
menunggu hasil kerja Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK yang muncul secara
mengejutkan. Kita tidak tahu apa yang ada di benak Presiden Jokowi. Namun,
tidak salah untuk mengatakan harapan terakhir untuk melihat KPK yang
berwibawa, yang disegani dan konsisten, yang tidak terbius hasrat untuk
berkuasa dari para pimpinannya, ada di tangan kesembilan anggota Pansel.
Tentu saja, Tim Pansel-searah dengan gagasan
Editorial Harian Umum Media Indonesia
- Pansel Hebat untuk KPK Hebat
(26/5) - ialah orang-orang terbaik untuk menjalankan tugas mahapenting ini.
Belajar dari persoalan yang membelit KPK selama ini. Sekurang-kurangnya ada
dua persoalan paling penting yang patut menjadi perhatian Pansel dan
pemerhati pemberantasan korupsi di Tanah Air. Pertama, persoalan personal.
Tim Pansel harus benar-benar meneliti rekam
jejak dari setiap kandidat yang masuk dalam radar mereka. Paling tidak,
mereka harus memiliki rekam jejak dari setiap calon dalam hitungan 15 atau 10
tahun ke belakang. Hal ini penting untuk mendeteksi jaringan yang dimiliki
setiap kandidat pimpinan KPK. Kandidat sudah semestinya harus benar-benar
bersih dari sengkarut politik dan hukum yang kemungkinan dapat merusak
kinerjanya di kemudian hari.
Kedua, persoalan struktural-kelembagaan. Sejak
semua keputusan politik utama ada di tangan lembaga perwakilan rakyat,
keberadaan KPK juga tidak terlepas dari afiliasi politik di Senayan.
Adalah hal yang sangat berbahaya ketika
penentuan pimpinan KPK berlandaskan asas tukar-menukar kepentingan politik
atau pembagian jatah kekuasaan. Di sini, Tim Pansel harus mengawal
keseluruhan proses hingga titik kandidat terakhir ditentukan menjadi pimpinan
kolektif KPK. Tim Pansel kiranya dapat menggunakan tongkat wewenang untuk
menghadirkan keajaiban baru pemberantasan korupsi.
Merancang perlawanan
baru
Menarik apa yang ditulis oleh Tony Robinson di
Pressenza, International Press Agency
(6/4/2015), dalam kesaksiannya tentang pemberantasan korupsi di Kenya. Dia
menulis dengan judul, `In Kenya's war
on corruption: some you win, some you lose.' Sangat benar bahwa tentang
perang melawan korupsi, ada saatnya kita menang, tapi mungkin sebagian besar
belum mencapai kemenangan, bahkan mengalami kekalahan secara tragis.
Namun, apakah perang itu harus dihentikan
hanya karena cerita satu kekalahan dalam pertempuran?
Jika kita berpikir bahwa siapa yang sedang
dihadapi KPK yang sedang gontai ini, dalam bahasa Pareto, dua kelompok elite
yang hanya sedang berganti jam berkuasa, perang melawan kejahatan akibat the abuse of power tetap jadi jalan
sunyi bagi kaum prodemokrasi di negeri ini. Jika pemaknaan semacam ini tidak
menempati titik kesadaran Tim Pansel Pimpinan KPK, perang suci melawan
korupsi akan terus memburai hingga menjadi buih-buih yang melenyap di
himpitan kemaruk kekuasaan. Tim Pansel harus mengawal perang baru melawan
elite fasis di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar