Bangga
Sesama Second Generation
Azrul Ananda ; Dirut
Jawa Pos Koran
|
JAWA POS, 03 Juni 2015
Apa alat ukur
kesuksesan second generation?
Mungkin bukan perusahaan yang membesar, juga bukan mengalahkan orang tua…
***
Saat ini, teman saya
satu generasi, Mas Iwan Setiawan Lukminto, sedang berada di Monaco. Bos muda
Sritex Solo itu menjadi wakil Indonesia dalam ajang Ernst & Young World Entrepreneur of the Year 2015.
Bangga rasanya melihat
ada teman sesama second generation
mencapai prestasi itu. Apalagi saya tahu betul acaranya, karena pada 2002
dulu ikut mengantarkan ayah saya mengikuti ajang yang sama.
Mas Iwan dan saya
kurang lebih satu angkatan. Beberapa kali dulu saling sharing, ruwetnya jadi generasi kedua, apalagi yang memiliki
orang tua superhebat dengan bayangan superbesar.
Mas Iwan pernah
mengumpamakan perjalanannya seperti ’’memelihara kambing’’.
Kurang lebih begini:
Dulu, ayah memelihara kambing kecil sambil membangun sebuah rumah yang terus
membesar. Setiap hari, kambing itu semakin besar, dan rumahnya semakin
bertingkat. Selama bertahun-tahun, sang ayah mampu menggendong kambing yang
terus membesar menaiki tangga yang terus semakin tinggi. Dia tidak
merasakannya, karena dia terus menekuninya.
Tiba-tiba, sang anak
sekarang harus langsung menggendong kambing yang besar, berjalan menaiki
tangga tinggi ke lantai teratas…
Kalau anaknya tidak
kuat, jangankan berjalan naik tangga, dikasih kambingnya sudah nggeblak…
***
Berkali-kali sudah
saya bicara ke orang, dan akan berkali-kali lagi saya bicara ke orang: Jadi second generation itu tidak seenak
yang dibayangkan.
Kami ini kaum
minoritas, dan orang sering memandang kami dengan filter yang bisa bikin
salah persepsi. Repotnya lagi, kami kadang juga tidak bisa dengan mudah
bicara kepada orang lain.
Hanya sesama second
generation (atau third, atau fourth, mungkin) bisa memahami satu sama lain.
Pada intinya, second
generation selalu menghadapi risiko persepsi ini: Kalau sukses, yang dipuji
orang tuanya. Kalau gagal, yang disalahkan anaknya!
Sekarang, pada usia
mendekati 40, saya –dan teman-teman seangkatan– memang sudah bukan second
generation yang muda lagi. Tapi, ke mana-mana pergi, saya sering bertemu
generasi-generasi baru second generation.
Khususnya mereka yang
baru lulus kuliah, usia masih early twenties, dan mulai menghadapi apa yang
saya dan teman-teman seangkatan hadapi sekitar 10–15 tahun lalu.
Panjangnya selisih
waktu tidak mengubah sumber permasalahan (kalau mau dianggap sebagai masalah)
para second generation: Satu, orang tua sendiri. Dua, orang-orang di
sekeliling orang tua.
Dan saya rasa, sampai
ke depan pun akan sama…
Dan untuk
mengatasinya, juga tidak ada pilihan. Harus dihadapi dan dijalani. Mau kuliah
di universitas terbaik di Indonesia, terbaik di Australia, terbaik di
Amerika, belum tentu ada kelas khusus untuk mengatasinya.
Orang tua, menurut
saya, merupakan kendala utama. Mari fokus ke yang satu ini.
Kadang lucu juga
dengar atau lihat banyak contoh: Orang tua ingin menggantikan, tapi orang tua
tidak memberikan ruang gerak untuk membuat keputusan. Lebih penting lagi,
tidak memberikan ruang gerak untuk membuat kesalahan.
Ada teman saya
misalnya, punya rangkaian bisnis keluarga yang luar biasa banyak. Dia
memegang satu unit misalnya, kalau gagal dan hancur pun, kekayaan keluarga
tidak akan terganggu. Eh, tetap saja dia kesulitan punya ruang gerak untuk
berkreasi atau memutuskan.
Sering, saya diminta
jadi pembicara. Khususnya kalau temanya anak muda atau second generation
seperti ini. Sering saya menolak, karena memang tidak hobi jadi pembicara.
Kadang ketika hadir ke
acara-acara itu, berkali-kali saya ditanya tip atau trik ’’menyiasati’’ orang
tua. Khususnya ketika ingin berbuat sesuatu, tapi dilarang atau dihalangi
orang tua.
Saya biasanya tanya
balik kepada penanya: ’’Kamu yakin apa yang ingin kamu lakukan itu benar dan
baik?’’
Kalau dia bilang
yakin, saya akan bilang: ’’Ya jalani saja terus. Cuek saja sama larangan
orang tua. Kalau perlu, bohongi saja dulu sementara, hahaha… Asal dalam hati
yakin itu benar, dan yakin akan meraih hasil yang baik.’’
Nanti, lanjut saya,
kalau benar-benar baik, orang tua tentu akan bangga, kan? Akan senang, kan?
Dan akan lebih percaya kepada kita…
Lha kalau gagal? Ya
sudah. Paling dimarahi. Emangnya mau dipecat jadi anak? Gak gampang lho
mengurus perubahan kartu keluarga…
Apakah ayah saya marah
saya cerita seperti ini? Dia berkali-kali kok saya bohongi. Toh jadinya
perusahaan juga tidak bangkrut. Dan saya sampai sekarang baik-baik saja, kan?
Asal niatnya baik. Dan
yakin hasilnya baik. Dan kita menunjukkan kerja keras dan niat untuk meraih
hasil yang baik itu. Plus siap menghadapi konsekuensi kalau gagal.
Bohong no problem.
Orang tua kita tidak selalu benar.
***
Satu hal yang tidak
bisa kami elakkan sebagai second
generation: Keluar dari bayang-bayang orang tua. Sampai kapan pun, kami
adalah anak mereka. Kami berhasil, kami gagal, kami adalah anak mereka.
Kami harus bangga
dengan bayang-bayang yang mereka buat, karena bayang-bayang itulah yang melindungi
kami dari kesusahan primer (dan sekunder).
Pak Irwan Hidayat, bos
Sido Muncul, pernah mengingatkan saya: ’’Azrul,
kamu boleh bilang apa saja tentang orang tua kamu. Tapi, kamu tidak pernah
boleh melupakan kamu datang dari mana…’’
Lalu, apa alat ukur
kesuksesan second generation? Mau
perusahaan makin besar? Bisa saja begitu. Mau bikin sesuatu yang mengalahkan
buatan orang tua? Bisa juga begitu. Berkarya untuk nusa dan bangsa? Wuih
abstrak sekali…
Saya rasa, semua second generation punya keinginan yang
sama. Keinginan yang mungkin melebihi segala pencapaian. Dan itu keinginan
yang sangat manusiawi, yang sama dengan kebanyakan orang lain, apa pun
situasi kehidupan dan latar belakangnya.
Keinginan itu adalah:
Membuat orang tua bangga (Ya, kadang-kadang orang tua saya bohongi, tapi saya
tetap ingin mereka bangga. Hehehe…).
Pekan ini, Mas Iwan
mewakili Indonesia dalam sebuah kontes dunia di Monaco. Acara puncaknya 6
Juni nanti. Trenyuh rasanya mengetahui bahwa 1 Juni, yang jatuh minggu ini
pula, adalah hari ulang tahun almarhum ayahnya, Pak Lukminto.
Saya
dan teman-teman lain sangat bangga ada sesama second generation mencapai prestasi luar biasa. Tapi, yang lebih
hebat, dan mungkin belum tentu bisa kami lakukan sebagai sesama second generation: Mas Iwan mampu
membuat keluarga bangga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar