Rabu, 24 Juni 2015

Meredam Risiko Ketidakpastian

Meredam Risiko Ketidakpastian

Firmanzah  ;   Rektor Universitas Paramadina Guru Besar FEB Universitas Indonesia
                                                    KORAN SINDO, 22 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Banyak penelitian di berbagai negara dan kawasan yang menunjukkan aktor ekonomi akan mengambil posisi wait and see ketika berhadapan situasi yang penuh ketidakpastian. Mereka hanya akan mulai meningkatkan investasi atau konsumsi apabila dirasa ada kepastian yang memadai, khususnya investment return bagi pengusaha dan job-security bagi konsumen. Menahan diri untuk berinvestasi atau berbelanja sampai melihat kejelasan perekonomian suatu negara, lazim terjadi di saat seperti ini. Akibat dari ini, siklus ekonomi akan semakin melambat karena mesin ekonomi baik dari sisi produksi maupun konsumsi kian terbatas ruang ekspansinya.

Bagi pengambil kebijakan ekonomi, rumusan kebijakan untuk meredam persepsi ketidakpastian sangatlah diperlukan agar optimisme yang mendorong produksi dan konsumsi pulih kembali. Mengelola risiko ketidakpastian dan optimisme para pelaku ekonomi menjadi tantangan utama ekonomi saat ini. Risiko ketidakpastian saat ini dihadapi tidak hanya oleh Indonesia tetapi hampir semua negara.

Sekarang ini sangat sulit untuk memprediksi secara persis ke mana perekonomian dunia dan regional akan bergerak. Bahkan, banyak lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, OECD, dan ADB yang terus-menerus merevisi secara berkala target pertumbuhan ekonomi dunia, regional maupun suatu negara. Terintegrasinya perekonomian dunia baik melalui mekanisme perdagangan, lalu lintas modal maupun investasi-fisik membuat gejolak di suatu negara berdampak, baik langsung maupun tidak langsung, ke negara atau kawasan lain.

Dinamika dan kompleksitas ekonomi global semakin meningkat dan membuat ketidakpastian semakin tinggi. Dampak psikologis maupun ekonomis akan ketidakpastian perlu diantisipasi agar efeknya tidak memperburuk kondisi ekonomi domestik. Salah satu sumber ketidakpastian perekonomian global adalah ketidakpastian keputusan The Fed untuk meningkatkan suku bunga acuan di Amerika Serikat.

Pertemuan terakhir Komite Pasar Terbuka Bank Sentral AS (FOMC) pada 16-17 Juni 2015 mengindikasikan penyesuaian suku bunga akan dilakukan tahun ini namun tidak secepat dugaan awal. Gubernur Bank Sentral AS Jannet Yallen menyatakan, ”No decisions has been made by the committee about the right timing of an increase, but certainly an increase this year is possible.” Pernyataan ini diartikan kenaikan suku bunga tidak akan terjadi pada Juni tetapi menciptakan spekulasi dilakukan pada September tahun ini.

Bagi Indonesia, situasi ini berarti memperpanjang masa ketidakpastian (extending uncertainty period) dan membuat kita harus menghadapi gejolak di pasar uang dan pasar modal sampai akhir tahun ini. Akibatnya, baik BI maupun pemerintah harus pandai dalam mengelola ekspektasi dari para pelaku pasar. Dari sisi eksternal, ekonomi Indonesia masih akan menghadapi penurunan harga dan permintaan sejumlah komoditas ekspor nasional.

Menurunnya, kinerja negara tujuan ekspor utama seperti China membuat permintaan ekspor komoditas nasional mengalami tekanan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal I/2015 ekspor nonmigas nasional tercatat sebesar USD33,43 miliar atau turun 8,23% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Tercatat sejumlah komoditas seperti batu bara, kakao, CPO, dan karet mengalami penurunan harga internasional.

Kapan harga komoditas dunia akan kembali pada posisi yang tinggi juga menambah kadar ketidakpastian bagi produsen dalam negeri. Selain itu, perlambatan kinerja industri berbasis sumber daya alam juga meningkatkan rasio tidak tercapainya kinerja perbankan yang memberikan porsi pembiayaan cukup besar ke sektor ini. Kondisi ekonomi internasional dan domestic membuat posisi wait and see dari para pelaku industri. Hal ini tecermin dari data BPS tentang neraca perdagangan Mei 2015.

Meskipun terdapat surplus neraca perdagangan secara akumulatif Januari-Mei 2015 sebesar USD3,75 miliar, surplus ini lebih disebabkan penurunan yang lebih tajam dari impor dibandingkan penurunan ekspor. Impor bahan baku dan barang modal Januari-Mei 2015 turun sebesar 18,91% dan 14,62% dibandingkan dengan tahun lalu.

Dengan masih terbatasnya kapasitas industri dalam negeri untuk substitusi- impor, penurunan impor bahan baku dan barang modal menjadi indikasi awal persoalan baru bagi industri dalam negeri. Tren depresiasi nilai tukar mata uang rupiah akan meningkatkan biaya produksi. Kondisi ini diperparah dengan melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga di dalam negeri. Dari sisi konsumsi, sejumlah data menunjukkan adanya perlambatan.

Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia baru-baru ini menunjukkan nilai saldo bersih tertimbang (SBT) hanya sebesar 13,7% pada kuartal I/2015 dan lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar 84,0%. Perlambatan pertumbuhan kredit konsumsi disumbang oleh penurunan kredit multiguna sebesar 39,5% dan kredit kendaraan bermotor 3,2%.

Sementara sejumlah data sektor riil yang dikeluarkan oleh beberapa asosiasi seperti ritel, properti, dan Gaikindo juga menunjukkan perlambatan dari sisi konsumsi. Besar kemungkinan yang terjadi lantaran posisi wait and see konsumen yang berujung pada penundaan konsumsi yang membuat terjadinya penurunan konsumsi dalam negeri.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan tren pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit selama kuartal I 2015. Dibandingkan kuartal sebelumnya, pertumbuhan kredit kuartal I 2015 sebesar 0,15% sementara pertumbuhan DPK mencapai 2,04%. Data ini menunjukkan kecenderungan konsumen menahan konsumsi dan cenderung waitandsee dengan menaruh dana mereka ke tabungan.

Ditengah situasi perekonomian dunia yang penuh ketidakpastian, otoritas moneter dan fiskal semakin dituntut untuk membuat kebijakan yang mampu meredam kecemasan para pelaku pasar terhadap prospek perekonomian. Dari sisi fiskal, kebijakan yang mendorong daya beli masyarakat melalui keringanan pajak atau stimulus fiskal ke sejumlah industri padat karya perlu dilakukan.

Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif listrik golongan 450 volt ampere (VA) dan 900 volt ampere (VA) untuk tahun depan perluditinjauulang. Meski dampak ekonomis rencana ini baru dirasakan tahun depan, dampak psikologis rencana ini akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Rencana kebijakan ini akan semakin menurunkan optimisme konsumen tentang daya beli mereka di tahun depan.

Justru yang sekarang ini kita butuhkan adalah membangun optimisme baik bagi produsen maupun konsumen untuk memitigasi kecemasan terhadap ketidakpastian ekonomi global dan nasional. Kita perlu memberikan stimulus kepada produsen dan konsumen untuk keluar dari posisi wait and see.

Membangun sentimen positif melalui kebijakan yang bersifat relaksasi (pelonggaran LTV, pengenaan barang mewah tidak kena pajak, tax holiday) maupun peningkatan kemudahan perizinan investasi perlu dipercepat. Stimulus kepada UMKM maupun industri padat karya juga perlu segera dikeluarkan oleh pemerintah untuk membantu meringankan beban akibat fluktuasi nilai tukar, beban cost of fund, dan tekanan daya beli masyarakat yang masih tinggi.

Sementara itu, kebijakan yang berpotensi menurunkan optimisme dan semakin meningkatkan kecemasan para pelaku pasar perlu dihindari untuk meredam risiko ketidakpastian ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar