Menggugat Rencana PLTN Mini
Nengah Sudja ; Sekretaris
Komisi
Persiapan
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (1970-1980-an)
|
KOMPAS, 19 Juni 2015
Badan Tenaga Nuklir
Nasional mencanangkan pembangunan reaktor daya non-komersial atau reaktor daya eksperimental di Kompleks
Puspitek Serpong, Banten, pada 2015. RDE yang pada dasarnya pembangkit
listrik tenaga nuklir mini diklaim mampu menghasilkan listrik 10-30 megawatt
dan diharapkan beroperasi sebelum 2019.
Kepala Badan Tenaga
Nuklir Nasional (Batan) Djarot Susilo Wisnubruto dalam siaran persnya
menjelaskan, reaktor daya eksperimental (RDE) merupakan suatu strategi
pemerintah untuk mengenalkan reaktor nuklir yang menghasilkan listrik
sekaligus dapat digunakan untuk eksperimen/riset.
Djarot mengklaim bahwa
RDE yang dipilih adalah generasi ke-4 yang memiliki teknologi keselamatan tinggi dibandingkan
dengan RDE generasi sebelumnya. Lebih jauh dikatakan, RDE merupakan
pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) mini yang pada masa depan dapat diaplikasikan
di daerah yang tidak membutuhkan daya besar, terutama di wilayah bagian tengah dan timur.
Publik perlu penjelasan
Pernyataan bahwa
teknologi RDE yang dipilih adalah generasi ke-4 perlu mendapatkan klarifikasi
dari Batan. Apa benar sudah ada RDE
generasi ke-4? Pemakaian istilah teknologi generasi ke-1, ke-2, ke-3, dan
ke-4 selama itu ditujukan untuk PLTN komersial, bukan untuk reaktor riset.
Adapun PLTN komersial sejauh ini baru mencapai generasi ke-3+ dan masih pada
tahap konstruksi, seperti European Pressurised Reactor (EPR) untuk PLTN
Olkiluoto 3 di Finlandia dan PLTN Flamanville di Perancis.
Dari berbagai
literatur terbaru, teknologi PLTN generasi ke-4 masih dalam fase desain dan
pengembangan. Diperkirakan dalam dua dekade ke depan baru masuk tahap
komersial. Oleh karena itu, pernyataan Kepala Batan akan membangun RDE
generasi ke-4 adalah klaim yang tidak berdasar dan, bahkan, bisa
dikategorikan pembohongan publik.
Dalam konteks
pengembangan teknologi, proses
pembangunan suatu produk lazimnya melalui empat tahap. Tahap pertama
berupa gagasan atau pemikiran, tetapi sudah
terbayang bentuk teknologi untuk masa depan.
Tahap kedua pembuatan
dan pengujian komponen-komponen di laboratorium dilanjutkan dengan
pengembangan prototipe sebagai upaya pembuktian teknologi dan terbayang
kemungkinan untuk diproduksi. Tahap ketiga produksi dan komersialisasi, di
mana teknologi diproduksi dan dipasarkan karena dari uji coba prototipe
terbukti bekerja sesuai dengan yang direncanakan. Tahap keempat adalah
pengujian lanjutan selama umur operasi teknologi.
Teknologi PLTN
generasi ke-1 sampai ke-3, yang telah beroperasi sejak tahun 1950-an, saat
ini dinilai sangat mahal dan tidak layak secara ekonomis serta secara teknis
tidak aman dan berbahaya. Pilihan PLTN
pun mulai ditinggalkan banyak negara maju:
Austria, Italia, Swiss, Spanyol, Swedia, Belgia, Denmark, dan
Jerman. Pembangunan PLTN di AS juga
terhambat karena alasan keekonomian walaupun pemerintah memberikan berbagai
insentif untuk mendorong investasi.
Pembangunan RDE
direncanakan Batan seharusnya tahap
kedua walaupun sesungguhnya Batan tidak membuat dan melakukan
pengujian komponen RDE di tingkat lab. Mengingat proyek ini menggunakan
anggaran negara, publik tentu berhak tahu apa kajian yang menjadi dasar
usulan tersebut? Teknologi apa yang hendak dipakai dan bagaimana prospek
kelayakan tekno-ekonomisnya? Bagaimana kajian sosial, lingkungan, dan
risikonya? Karena menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), sudah selayaknya berbagai dokumen yang menjadi dasar perencanaan
dapat diakses dan dikritik oleh publik.
Rusia dan APBN RI
Baru-baru ini juga
diberitakan bahwa pekerjaan desain RDE telah dimenangi oleh pihak Rusia.
Meninjau status teknologi PLTN mini,
saat ini publik berhak curiga apakah
proyek ini merupakan bentuk riset teknologi pihak asing (Rusia) yang
justru dibiayai dengan APBN Republik Indonesia?
Batan juga mengklaim
Indonesia paling siap mengoperasikan PLTN di ASEAN karena telah berpengalaman mengoperasikan tiga reaktor
riset. Sayangnya, Batan tidak menjelaskan
perbedaan mendasar antara reaktor riset dan reaktor daya. Reaktor riset yang desain bejana reaktornya
terbuka, bertekanan, dan bersuhu rendah lebih mudah dioperasikan dan berisiko
rendah dibandingkan dengan reaktor daya (PLTN) yang desain bejananya
tertutup, beroperasi dengan tekanan 150 atmosfer, dan suhu tinggi 350 derajat
celsius untuk dapat menghasilkan uap
yang memutar turbin/generator listrik.
Pada reaktor daya
terdapat risiko critically accident yang dapat mengakibatkan pelelehan teras
PLTN dan berdampak mengerikan serta terbukti terjadi pada reaktor PLTN yang
beroperasi saat ini. Risiko ini tidak pada reaktor riset.
Batan sepertinya
mencoba meredam risiko RDE dengan menyamarkannya sebagai reaktor riset.
Apakah kajian risiko dipertimbangkan sehingga PLTN mini ini dengan mudah
ditetapkan akan dibangun di Serpong yang dalam kawasan radius 5 km dihuni lebih dari 200. 000 orang? Apakah
warga di Serpong, Bintaro, Tangerang, dan Jakarta dapat menerima dan
menyetujui risiko kecelakaan PLTN mini?
Kelayakan tekno-ekonomi
Batan menyatakan
pembangunan PLTN kecil ini akan siap beroperasi pada 2019. Kalau tahap kedua
pembangunan prototipe benar dapat diselesaikan pada 2019, berapa tahun
diperlukan lagi untuk melakukan uji coba operasi untuk membuktikan kelayakan
tekno-ekonominya?
Asumsikanlah
setelah 10 tahun baru akan diketahui
keberhasilan atau kegagalannya. Kalau gagal, berapa nilai kegagalan itu? Pada
setiap anggaran kegiatan, seperti untuk membuat studi kelayakan, pembangunan
proyek prototipe, biaya operasi, dan pemeliharaan selama operasi diasumsikan
10 tahun. Kemudian dilakukan audit pertanggungjawaban kelayakan
tekno-ekomisnya. Setelah itu, berapa tahun lagi diperlukan untuk sampai pada
tahap ketiga untuk memproduksinya secara besar-besaran.
Di media massa dapat
dibaca Pengumuman Lelang Pengadaan Jasa Konsultasi Penyusunan Dokumen Desain
Rekayasa Awal RDE sebesar Rp 49 miliar untuk penyusunan Desain Rekayasa Awal. Kalau ini baru biaya awal, tentunya
biaya lainnya masih ada lagi. Berapa
perkiraan seluruh anggaran yang diperlukan untuk perencanaan dan konstruksi
RDE? Karena menggunakan APBN, demi asas good
governance, rencana anggaran ini sepatutnya dibuka kepada publik, mengikuti model e-budget Provinsi DKI
Jakarta.
Alternatif RDE
Pertanyaan lanjutan:
kapan akhirnya RDE ini dapat diaplikasikan, sejak perancanangan tahun 2015,
lalu beroperasi tahun 2019, dan selesai percobaan uji kelayakan. Diasumsikan
baru setelah 2029, RDE baru bisa diaplikasikan secara massal ke daerah-
daerah yang terpencil, seperti yang dijanjikan Kepala Batan.
Coba bandingkan, jika
pemerintah menggunakan anggaran untuk RDE dalam 10 tahun mendatang untuk
mengembangkan teknologi energi terbarukan sehingga bisa menyediakan
listrik di daerah-daerah terpencil
dengan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan setempat. Strategi ini
tentunya lebih cepat meningkatkan elektrifikasi dan mengatasi pemadaman
listrik di wilayah terpencil di seluruh negeri ini ketimbang menunggu hasil
RDE.
Galileo Galilei
(1564-1642), ilmuwan dan perintis ilmu modern, pendorong terjadinya perubahan
budaya dari abad kegelapan ke abad pencerahan (bersama Copernicus, Newton),
pernah menyatakan, kalau ingin maju, "Ukur semua, dan yang tak dapat
diukur buat jadi terukur."
Rencana RDE ini pun
harus dapat diukur dengan presisi sehingga persoalan akan jadi lebih
transparan dan jelas. Dengan demikian, publik dapat menilai rencana
pembangunan PLTN ini berlandaskan pada data, informasi, dan fakta, bukan
gosip. Semoga bangsa ini cepat maju dan dapat memenuhi kebutuhan listriknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar