Minggu, 21 Juni 2015

De-Soekarnoisasi dan Adu Domba

De-Soekarnoisasi dan Adu Domba

Iwan Santosa  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 20 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Semasa memimpin Indonesia, Presiden Soekarno berulang kali mengajarkan pentingnya membangun bangsa yang satu, setara dalam keberagaman. Namun, seiring berakhirnya Orde Lama, sejumlah gagasan dan peran Soekarno sempat disamarkan. Tempat kelahiran Bung Karno pun sempat muncul dalam dua versi, Blitar dan Surabaya, Jawa Timur.

Tidak hanya tentang Soekarno, penggelapan sejarah juga dilakukan terhadap sejumlah teman seperjuangan Soekarno. Hal ini, antara lain, terlihat dari hilangnya nama empat rekan Soekarno di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Nama empat orang itu tak ada dalam buku sejarah nasional sejak 1977.

Sejarawan dari Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada, mengatakan, pada era Orde Lama, empat tokoh Tionghoa tersebut ada dalam buku sejarah nasional Indonesia. "Setelah 1977, nama empat tokoh Tionghoa tersebut hilang dan justru bertambah ada tiga tokoh Arab dan satu tokoh Indo-Eropa, PF Dahler. Padahal, aslinya di BPUPKI hanya AR Baswedan mewakili masyarakat Peranakan Arab, PF Dahler mewakili golongan Peranakan Eropa, dan ada empat orang Tionghoa mewakili kelompok Peranakan dan Totok," kata Didi.

Padahal, tokoh seperti Liem Koen Hian berdiskusi mendalam dengan Soekarno soal dasar negara. Dalam rapat BPUPKI, Liem Koen Hian juga sudah mengusulkan kebebasan pers. Namun, usulan tersebut tidak diakomodasi lebih lanjut. "Bisa dibilang Liem Koen Hian itu bapak kebebasan pers," ujar Didi.

Pada edisi selanjutnya buku sejarah nasional Indonesia pasca 1998, empat tokoh Tionghoa dalam BPUPKI itu masih hilang.

Sejarawan Daradjadi asal Pura Mangkunegaran, Surakarta, yang menulis buku Geger Pacinan, menuturkan, keberadaan laskar Koalisi Jawa-Tionghoa melawan VOC pada 1740-1743 juga hilang dari buku sejarah nasional yang terbit pada masa Orde Baru. Padahal, kisah perjuangan bersama masyarakat Jawa dan Tionghoa itu masih ada di buku sejarah nasional yang terbit pada 1963. "Panglima Tionghoa Kapitan Sepanjang yang memimpin pasukan Koalisi Jawa-Tionghoa hilang dari sejarah. Padahal, teman seperjuangannya, yaitu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyowo, jadi pahlawan Indonesia," kata Daradjadi.

Dikaburkan

Tidak hanya ingatan terkait kebersamaan dan keberagaman dalam perjalanan sejarah Nusantara hingga masa awal Republik Indonesia, kiprah dan sumbangsih Soekarno juga sempat dikaburkan.

"Bahkan, sempat ada upaya menggantikan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila dengan menyebut Muhammad Yamin sebagai sosok yang pertama kali mengemukakan konsep Pancasila. Itu merupakan upaya pemutarbalikan fakta yang vulgar," ujar sejarawan Bonnie Triyana.

Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mencatat, pada masa Orde Baru juga sempat muncul dua alinea tambahan di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

Dua alinea yang ada di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang dicetak berkali-kali semasa Orde Baru itu diduga ingin bermaksud membenturkan Soekarno dengan Hatta dan Sjahrir.

Alinea tersebut adalah "Tidak ada yang berteriak 'kami menghendaki Bung Hatta'. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada."

Alinea sisipan berikutnya adalah "Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan 'pemimpin' ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatra dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seseorang dari Sumatra. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia."

Menurut Asvi, dua alinea di atas tidak ada dalam naskah asli buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang terbit dalam bahasa Inggris.

Terkait perawatan kesehatan yang dinikmati Presiden Soekarno, Asvi Warman mencatat, salah seorang dokter yang merawat Soekarno di hari-hari terakhirnya sebagai "tahanan rumah" adalah seorang dokter hewan. Urine Soekarno ditengarai juga diperiksa di laboratorium Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

"Ada surat Pangdam Siliwangi Mayjen HR Darsono yang melarang semua warga Jawa Barat untuk mengunjungi atau dikunjungi Soekarno," ujar Asvi.

Hal tragis lainnya, Soekarno ternyata tidak sanggup membayar biaya perawatan gigi di hari-hari terakhir hidupnya. Dokter gigi Oei Hong Kian berulang kali merawat gigi Soekarno secara sukarela. Terkadang, saat dirawat Oei Hong Kian, putra-putri Soekarno secara sembunyi-sembunyi mengunjungi ayah mereka.

Bonnie Triyana mengingatkan, Orde Baru cenderung punya kepentingan untuk menuliskan sejarah berdasarkan penafsiran sendiri, terlebih menyangkut masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.

Kini, hal seperti itu jangan terulang lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar