Rabu, 17 Juni 2015

Mengantisipasi Risiko Pelemahan Rupiah

Mengantisipasi Risiko Pelemahan Rupiah

Sunarsip  ;  Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
JAWA POS, 16 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

AKHIR-AKHIR ini tren nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah. Tercatat, nilai tukar rupiah per 11 Juni 2015 melemah sebesar 6,76 persen (year-to-date/ytd) dibanding posisi 2 Januari 2015. Banyak faktor yang menjadi penyebab pelemahan rupiah. Dari sisi eksternal, rencana normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed, yang akan menaikkan suku bunga acuannya (policy rate) telah mendorong terjadinya pembalikan arus capital flow (reversal) modal asing sehingga memperlemah nilai tukar rupiah.

Sedangkan dari sisi internal, rendahnya kinerja ekonomi dalam kuartal I 2015 serta tingginya laju inflasi memperlemah nilai tukar rupiah. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 hanya 4,71 persen, melambat dari 5,01 persen pada kuartal sebelumnya. Angka kuartal I tersebut terendah sejak kuartal IV 2009. Secara quarter-to-quarter (qtq), perekonomian mengalami kontraksi 0,18 persen pada kuartal I 2015. Kondisi itu terbilang langka karena di setiap kuartal I, secara qtq, ekonomi Indonesia biasanya tumbuh positif meski tidak besar. Sementara itu, inflasi yang diproyeksikan dapat ditekan ke level 4±1 persen, hingga Mei 2015 ini, masih bertengger di 7,15 persen (year-on-year/yoy). Tingginya inflasi, secara riil, juga ”memaksa” nilai tukar rupiah harus melemah.

Pelemahan rupiah telah menimbulkan dampak yang luas bagi perekonomian. Sisi positifnya, pelemahan rupiah meningkatkan ekspor. Sayang, efek positif terhadap kenaikan ekspor tergerus akibat pelemahan permintaan (demand) dan turunnya harga komoditas. Data dari Bank Indonesia (BI), indeks harga 8 komoditas unggulan ekspor kita melemah sekitar 18,64 persen pada kuartal I 2015. Di sisi lain, melemahnya pertumbuhan ekonomi negara utama tujuan ekspor seperti Tiongkok juga mengakibatkan ekspor kita belum pulih. Pada kuartal I 2015, ekspor masih mengalami koreksi meski lebih rendah daripada koreksi di kuartal sebelumnya. Untung, penurunan ekspor itu masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penurunan impornya sehingga neraca perdagangan kita masih surplus USD 3,09 miliar pada kuartal I 2015.

Pelemahan rupiah telah mendorong aktivitas impor menjadi menurun karena tingginya harga barang-barang impor. Pelemahan impor itu memberikan dampak negatif bagi kegiatan investasi kita. Terlebih, kini pemerintah sedang giat menggenjot kegiatan investasi di sektor infrastruktur. Kegiatan investasi membutuhkan impor barang modal yang besar. Ketika harga impor barang modal meningkat (akibat pelemahan rupiah), kegiatan investasi pun terhambat. Dan terbukti, selama kuartal I 2015, investasi menurun menjadi 4,36 persen lebih rendah daripada kuartal I 2014 sebesar 4,7 persen meskipun lebih tinggi daripada kuartal IV 2014 sebesar 4,27 persen.

Untuk mencegah pelemahan nilai tukar rupiah, BI mempertahankan BI rate di posisi 7,5 pesen. Menurut BI, kebijakan itu sejalan dengan stance kebijakan moneter yang dipertahankan tetap ketat untuk menjaga inflasi di kisaran 4±1 persen pada 2015 serta mengarahkan defisit neraca berjalan ke kisaran 2,5 persen–3 persen PDB dalam jangka menengah. Kebijakan BI tersebut di satu sisi cukup berhasil menahan laju penurunan rupiah terhadap USD. Itu terlihat dari pelemahan nilai tukar rupiah yang relatif lebih baik daripada sejumlah mata uang emerging markets lainnya.

Namun, kebijakan BI itu juga telah memberikan dampak negatif bagi sektor keuangan, khususnya perbankan. Sekalipun tekanan suku bunga mulai mereda, ketatnya likuiditas perbankan masih mengakibatkan terjadinya ”perang suku bunga”. Suku bunga deposito bank-bank acuan LPS (suku bunga pasar, SBP) sepanjang kuartal pertama 2015 masih mengalami kenaikan sebesar 11 basis points (bps), meski menurun dibanding 17 bps pada periode yang sama tahun lalu. Sejak awal April 2015, SBP menurun 10 bps. Masih tingginya suku bunga simpanan itu harus ditanggung bank dalam bentuk peningkatan biaya dana (cost of fund).

Tingginya suku bunga simpanan (deposito) mengakibatkan kemampuan kredit (lending) perbankan juga menurun. Itu tecermin dari tingginya rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR). Per Maret 2015, posisi LDR di level 87,6 persen. Itu berarti, ruang ekspansi tinggal sekitar 5 persen. Kondisi perekonomian yang kurang kondusif mengakibatkan korporasi menekan laju ekspansi (dan permintaan kredit), terlebih di saat suku bunga kredit juga masih tinggi. Di sisi lain, tingkat bunga yang tinggi mengakibatkan meningkatnya daya tarik deposito sebagai salah satu alternatif investasi. Posisi itu mengakibatkan perbankan menanggung dua risiko sekaligus: tingginya biaya dana dan melemahnya pendapatan bunga dari sisi kredit.

Bukan hanya itu. Pelemahan ekonomi, tekanan nilai tukar, dan suku bunga yang tinggi telah mengakibatkan meningkatnya kesulitan bagi para debitor untuk memenuhi kewajibannya. Berdasar data, kredit yang dikategorikan bermasalah (kolektibilitas 3–5) masih cenderung tinggi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 26,6 persen sepanjang kuartal I 2015. Tingkat pertumbuhan itu jauh di atas pertumbuhan rata-rata kredit yang kolektibilitasnya lancar sebesar 10,6 persen. Pertumbuhan kredit kolektibilitas ”perbatasan” (kolektibilitas 2) juga cukup tinggi (rata-rata sebesar 23,7 persen) yang mengindikasikan ancaman kredit macet masih signifikan dalam beberapa periode ke depan. Dengan kondisi seperti itu, risiko yang dihadapi perbankan pun bertambah dari risiko likuiditas ke risiko kredit.

Jelas bahwa efek dari pelemahan nilai tukar rupiah ini telah berada dalam posisi yang cukup mengkhawatirkan. Terlebih, potensi pelemahan diperkirakan masih terjadi seiring dengan tidak adanya kepastian terkait dengan kebijakan kenaikan suku bunga AS. Kondisi ini harus diantisipasi, baik oleh otoritas moneter, fiskal, maupun kebijakan sektoral pemerintah. BI perlu mengevaluasi efektivitas kebijakan moneternya karena faktanya beragam upaya dan kebijakan yang telah dilakukan terbukti belum mampu mengangkat nilai tukar rupiah dan menekan laju inflasi. Pemerintah (termasuk fiskal) juga perlu segera menyelesaikan problem internalnya yang terbukti telah menghambat penyerapan kinerja anggarannya.

Sementara itu, dunia usaha (korporasi) sebaiknya tidak diam melihat situasi terkait dengan ketidakjelasan prospek nilai tukar rupiah ini. Korporasi yang memiliki eksposur tinggi terhadap impor dan utang luar negeri sebaiknya segera melakukan langka-langkah mitigasi risiko terkait dengan nilai tukar, salah satunya dengan melakukan transaksi lindung nilai (currency hedging).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar