Inovasi Butuh Nyali, Pusat Harus Peduli
Redhu Setiadi ;
Peneliti JPIP, memperoleh
gelar master of public administration (MPA) dari University of Delaware, AS
|
JAWA POS, 15 Juni 2015
MULAI kemarin (14/6) hingga besok, Gelar
Inovasi Pelayanan Publik tingkat nasional diadakan di GOR Delta Surya,
Sidoarjo. Dalam ajang tersebut, dipamerkan ratusan inovasi pelayanan publik
dari berbagai institusi pemerintahan. Yang membanggakan, sebagian besar
inovasi tersebut lahir dari pemerintah kabupaten/kota di Indonesia.
Terobosan-terobosan daerah tersebut muncul sebagai solusi untuk mengatasi
permasalahan lokal dan mengoptimalkan potensi daerah.
Dorongan untuk menumbuhkembangkan inovasi
pelayanan publik di daerah kali ini datang dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB). Sejak 2014, kementerian itu
menyelenggarakan kompetisi inovasi pelayanan publik (sinovik). Targetnya,
setiap tahun minimal ada satu inovasi dari setiap lembaga publik (one agency one innovation).
Apresiasi terhadap inovasi-inovasi daerah pada
awal-awal era desentralisasi justru banyak dilakukan lembaga-lembaga non
pemerintah. Salah satunya The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) lewat
program Otonomi Awards sejak 2002.
Pemerintah pusat selama ini terlalu sibuk
membuat ”sangkar besi” lewat berbagai peraturan, petunjuk pelaksanaan
(juklak), petunjuk teknis (juknis), dan berbagai aturan yang mengungkung
kebebasan daerah untuk melayani warganya. Akibatnya, sebagian besar daerah
lebih fokus mengikuti peraturan pusat daripada memikirkan bagaimana membuat
pelayanan publik yang inovatif dan bermanfaat bagi masyarakat. Birokrasi
menjadi sangat ketat mengikuti peraturan (rule-based
bureaucracy), namun tidak responsif terhadap kebutuhan dan masalah lokal.
Padahal, ujung tombak pelayanan publik yang
sebenarnya adalah pemerintah daerah. Tidak percaya? Ambil dan perhatikan KTP
Anda! Semua penduduk Indonesia, bahkan seorang presiden sekalipun, berKTP dan
teregistrasi di kabupaten/kota. Jika ada jalan yang rusak, puskesmas yang
kotor, dan sekolah yang roboh, komplain warga pastilah dialamatkan kepada
pemkab/pemkot tempat mereka tinggal. Padahal, urusan jalan, misalnya,
kewenangannya dibagi menjadi tiga: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Itulah wujud pemerintahan yang paling dekat dengan warga negara.
Reformasi birokrasi di tingkat pusat tidak
akan terasa maknanya manakala masyarakat di kabupaten/kota tidak melihat
perbaikan pelayanan publik di sekitarnya. Pesan yang selama ini sampai di
telinga masyarakat, reformasi birokrasi di pusat hanya identik dengan
perbaikan struktur dan gaji para pengurusnya (remunerasi PNS), namun belum
menyentuh secara substansial pihak yang diurusi (masyarakat).
Mengikuti berbagai aturan pusat yang mengikat
atau memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat merupakan dilema
bagi pemerintah kabupaten/kota saat ini. Pemerintah pusat kadang membuat
keputusan secara general (one size fits
all policy) tanpa memperhatikan karakteristik dan praktik-praktik baik
yang telah ada di daerah. Hal itu sejalan dengan hasil riset JPIP tentang
Keberlanjutan Inovasi (2014). Dalam riset terungkap bahwa salah satu faktor
signifikan yang mematikan inovasi daerah adalah aturan pusat yang cenderung
gebyah-uyah.
Contoh paling baru tentang hal itu adalah
pemberlakuan UU Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan) yang mematikan
inovasi pelayanan di puskesmas. Dalam lima tahun terakhir, JPIP menemukan
puskesmas-puskesmas yang dikelola dengan sangat inovatif di Jawa Timur.
Misalnya, ada yang sudah dilengkapi dengan dokter spesialis anak, kandungan,
bedah mulut, mata, dan poli khusus HIV/AIDS. Beberapa di antaranya juga sudah
berstatus puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar) yang
merupakan pelayanan untuk menanggulangi kasus-kasus kegawatdaruratan dalam
persalinan.
Namun, dengan berlakunya BPJS Kesehatan,
inovasi-inovasi tersebut harus tamat karena fungsi puskesmas dikembalikan
sebatas fasilitas kesehatan dasar. Padahal, selama ini manfaatnya sudah
dirasakan masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pelosok dan
berpenghasilan rendah.
Rupanya, praktik-praktik buruk pelayanan di
beberapa daerah yang diberitakan media massa justru menjadi rujukan untuk
membuat peraturan yang mematikan praktik-praktik baik pelayanan di sejumlah
daerah.
Sebagai rekomendasi, penting bagi pemerintah
pusat untuk membuat peraturan yang justru mendorong keberagaman inovasi di
daerah. Pemerintah pusat pun sebaliknya mendorong penyebarluasan dan
replikasi inovasiinovasi ke daerah lain.
Sudah tepat kiranya jika Kemen PAN-RB
mendorong lahirnya inovasi-inovasi pelayanan publik di tingkat lokal. Sebab,
dengan banyaknya aturan pusat yang mengikat (UU, PP, peraturan menteri, surat
edaran menteri, dll), pimpinan daerah beserta bawahannya butuh nyali yang
besar untuk membuat inovasi di daerah. Tentu, akan sangat positif jika
ikhtiar para penerobos kebuntuan pelayanan publik tersebut mendapat apresiasi
dari pemerintah pusat.
Koordinasi antarlembaga di pusat mutlak
diperlukan agar tidak terjadi peraturan yang saling menegasikan. Di satu
sisi, Kemen PAN-RB mendorong daerah untuk berinovasi. Namun, di sisi lain,
Kemendagri, Kemenkes, Kemendiknas,
Kemenkeu, BPK, dan lain-lain justru
menciutkan nyali pemerintah daerah untuk membuat inovasi pelayanan. Semoga
nyali daerah untuk berinovasi semakin besar karena pemerintah pusat pun mulai
peduli. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar