Rabu, 03 Juni 2015

Memahami Posmodernisasi Pancasila

Memahami Posmodernisasi Pancasila

Sarjuni ;  Wakil Rektor III Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang; Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 01 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
GLOBALISASI ilmu dan budaya yang terjadi dewasa ini melahirkan sejumlah kejutan pemikiran dahsyat. Di tengah kesibukan kita melacak dan memahami konsep-konsep dan format modernisme dengan segala implikasinya, muncul konsep posmodernisme, dengan karakter dasar: dekonsruksi, pluralisme, dan relativisme. Posmodernisasi Pancasila dimaksudkan sebagai proses menjadikan karakter dasar filsafat postmodernismuntuk ‘’membaca’’Pancasila.

Upaya itu supaya bisa ideologi terbuka dengan sistem filsafatnya yang utuh dan komprehensif, serta selalu relevan dengan upaya bangsa kita kembali meneguhkan Pancasila sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orde Baru telah menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menjustifikasi dan mempertahankan kekuasaan. Pemerintah satu-satunya yang berhak menafsirkan Pancasila, dengan hasil yang bersifat dogmatis. Tiap tafsir Pancasila yang berbeda dianggap perbuatan anarkis yang harus dibasmi.

Pola itu akhirnya mereduksi Pancasila dari ideologi jadi sebuah mitos, dan selalu dipahami dalam kerangka politis-ideologis demi kepentingan kekuasaan. Akhirnya, nilai-nilai Pancasila hanya menjadi menara gading yang tidak mampu berdialektika dengan realitas empirik di masyarakat.

Dalam wacana posmodernisme, dekonstruksi dimaksudkan sebagai upaya membongkar, mengkaji ulang konsep pemikiran. Dalam kaitannya dengan Pancasila, dekonstruksi dimaksudkan untuk mengkaji ulang berbagai tafsir atas Pancasila yang keluar dari konteks yang dicita-citakan pendiri negara.

Cita-cita itu yakni sebagai faktor pemersatu (common dominator) bangsa kita. Dekonstruksi tentu saja mengharuskan ada keterbukaan tafsir untuk senantiasa menerima kritik dan dialog intelektual-kritis.

Dengan demikian, Pancasila mampu mengantisipasi permasalahan pada segala zaman. Ia memiliki kejelasan dan ketegasan landasan nilai, wawasan visi, namun tetap terbuka dan tanggap terhadap pembaruan. Pancasila sebagai ideologi harus membuka diri terhadap masuknya inspirasi dan aspirasi anggota masyarakat.

Pengembangan pemikiran baru yang relevan dari masa ke masa merupakan indikator bahwa Pancasila telah membudaya dan diamalkan masyarakat. Syaratnya, secara struktural kita harus memperhatikan tiga dimensi, yakni idealistis, normatif, dan realistis (Kaelan; 2002).

Sistem Ide

Ideologi Pancasila tak boleh bersifat utopis, atau hanya menjadi sistem ide yang jauh dari realitas empirik, tapi juga bukan ideologi pragmatis yang hanya menekankan aspek praksis tanpa idealisme. Dekonstruksi membawa konsekuensi munculnya pluralitas dan pluriformitas pemahaman Pancasila.

Pluralisme dalam pengertian filsafat ontologi menunjukkan bahwa hakikat kebenaran atau kenyataan itu serbamajemuk. Bagi bangsa kita, pluralitas itu tercermin dalam keanekaragaman etinis, budaya, agama, bahasa, dan adat-istiadat yang berkembang dari Sabang sampai Merauke.

Konsekeuensi logisnya, pluralitas visi dan aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat itu harus diterima sebagai kewajaran yang tumbuh dan berkembang secara alami (Koento Wibisono; 1999:8). Demikian juga pluralitas dan pluriformitas pemahaman Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Hal ini karena suatu pemikiran tak pernah lepas dari pemikiran lain yang mendahului, artinya seorang yang berpikir selalu menggunakan hasil pemikiran sudah ada. Pemikiran filosofis mana pun tidak pernah berangkat atau mulai dari titik nol, tapi dari problematika pemikiran yang berkembang saat itu ataupun sebelumnya. Pluralisme dan pluriformitas pemahaman atas Pancasila membawa konsekuensi pada kemunculan relativitas pemahaman.

Mungkin saja pemahaman seseorang benar, tapi belum tentu pemahaman orang lain salah. Hal ini karena Pancasila sebagai sistem filsafat mempunyai arti dan makna dalam dan luas ketimbang yang secara harfiah dituliskan lewat kata-kata.

Namun di tengah penerimaan pluriformitas dan relativitas pemahaman terhadap Pancasila, harus ada unformitas pemahaman bahwa hubungan sila-sila saling mengikat dan merupakan kesatuan, dengan sila Ketuhanan sebagai komandannya dan sila Keadilan Sosial sebagai tujuan kemerdekaan. Bukan Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila atau bahkan Ekasila (gotong royong), sebagaimana dulu ditawarkan Bung Karno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar