Pesantren
Islam Nusantara
Munawir Aziz ; Koordinator
Media dan Informasi Rabithah Ma’-ahid Islamiyyah (RMI, Asosiasi Pesantren NU)
Jawa Tengah; Peneliti tentang Islam Nusantara
|
SUARA MERDEKA, 01 Juni 2015
PESANTREN selama ini
jadi salah satu pilar kokoh kemerdekaan dan kemandirian negeri ini. Jaringan
ulama pesantren pula yang membangun pilar perjuangan untuk kemerdekaan bangsa
ini.
Pada awal abad XX,
ulama pesantren membentuk jaringan dan membangun rasa nasionalisme untuk
melawan rezim kolonial. Tapi kontribusi besar pesantren dan jaringan ulama
tidak banyak diakomodasi dalam narasi pengetahuan yang diciptakan oleh
penguasa, terutama Orde Baru.
Kontribusi besar
pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pergerakan kebangsaan inilah yang
perlu kembali direnungkan saat ini. Ketika bangsa ini menghadapi tantangan
moral generasi muda dan ancaman perpecahan NKRI, kita perlu bercermin pada
pesantren.
Sebagai lembaga
pendidikan, pesantren terbukti menghasilkan pejuang kemerdekaan dan
orang-orang besar sebagai ulama, pendidik, cendekiawan, politikus, atau
pemimpin bangsa. Gerakan #AyoMondok yang diinisiasi Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI, asosiasi pondok pesantren NU)
merupakan agenda penting untuk kembali mengenalkan pesantren sebagai
episentrum pendidikan nasional dan gerakan kebangsaan.
Tentu #Ayo-Mondok
bukan sekadar selebrasi gagasan melainkan perlu diikuti pembenahan internal
dan manajemen pesantren supaya kontekstual dengan zaman ini, dengan
pertumbuhan signifikan kelas menengah. Pada masa kampanye Pilpres 2014, Joko
Widodo berjanji berpihak pada kepentingan pesantren.
Dia mengungkapkan
tentang penetapan Hari Santri, sebagai wujud keberpihakan terhadap kearifan
lokal, tradisi Islam Nusantara, dan legitimasi politik terhadap komunitas
pesantren. Menurut Jokowi, ”Santri
adalah kearifan lokal. Jadi kalau kita buat penetapan Hari Santri, berarti
kita telah memberikan penghargaan lebih tinggi terhadap santri, yakni
menjadikan kearifan nasional” ungkap Jokowi.
Sejarah Islam
Nusantara dan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran santri dan
pesantren. Keduanya menjadi instrumen penting penyebaran agama.
Catatan-catatan sejarah, semisal Ma Huan dan inskripsi makammakam di Jawa
menyebut bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada kisaran abad XI-XIV.
Pada titik inilah,
Islam mulai menjadi bagian dari dinamika agama di Nusantara, yang terkait
dengan gerak misi Buddha dan Hindu di Jawa dan Sumatra. Santri mulai
mencatatkan sejarahnya ketika Walisongo menjadi juru dakwah dengan strategi
damai.
Walisongo, yang
merupakan misi keagamaan dan politik Ottoman kemudian berjejaring dengan
ulama-ulama dari Campa dan India. Inilah yang menjadi model transformasi
Islam ke seluruh Nusantara. Silang koneksi Ottoman, Arab, Tiongkok, India,
dan Nusantara jadi bagian dari sejarah politik keagamaan di negeri ini.
Hingga, proses lahirnya Islam Indonesia yang bertahan hingga kini dengan
segenap variannya.
Politik Kebangsaan
Pada masa revolusi,
jaringan santrikiai berperan penting memperjuangkan kemerdekaan dan melawan
kolonial. Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asyíari (1871-1947) pada 22 Oktober 1945
menggerakkan ribuan santri untuk berjuang bersama dalam pertempuran 10
November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa (Bizawie; 2013).
Lagi-lagi, peran sejarah santri ini tersisih dari naskah sejarah Indonesia
modern. Lalu, bagaimana santri dimaknai dalam kontestasi politik saat ini?
Kiprah KH Abdurrahman Wahid (19- 40-2009) menjadi penanda penting.
Gus Dur yang
meneruskan jejak perjuangan ayahanda (KH Wahid Hasyim, 1914-1953) dan
kakeknya, tampil sebagai santri yang tidak hanya menguasai pengetahuan agama
tapi juga berhasil mentransformasikan ilmunya dalam strategi politik
kebangsaan. Peran sejarah santri sering dipinggirkan dalam wacana pengetahuan
ataupun politik penguasa. Pada era Jokowi-JK, santri dan komunitas pesantren
dapat menjadi bagian penting dari upaya pemerintah menerjemahkan konsep
revolusi mental.
Dalam tradisi santri,
revolusi mental bergerak secara dinamis tanpa terjebak pada isu-isu
ideologis. Revolusi mental sudah jadi bagian dari tradisi sejarah santri,
dengan perlawanan kontinu terhadap kolonialisme ataupun upayaupaya yang
menghancurkan bangsa. Santri juga bisa menjadi agen untuk menebar Islam yang
ramah dan mengampanyekan Islam yang rahmatan lil lamin.
Di
titik ini, risiko akibat gesekan ideologi antarkelompok Islam ataupun
ideologi lintas agama bisa diredam. Gerakan #AyoMondok yang diinisiasi RMI
dan jaringan pesantren di negeri ini perlu didukung sebagai langkah strategis
berkontribusi dalam sistem pendidikan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar